Jumat, 24 September 2021

Resensi : 1984



Penulis : George Orwell (Eric Arthur Blair)
Genre : fiksi
Penerbit : Bentang Pustaka
Halaman : 390 halaman

1984, merupakan buku dystopia karangan Eric Arthur Blair atau kerap disapa George Orwell. George Orwell merupakan penulis kelahiran India pada tahun 1907 dan wafat pada 1950, walaupun begitu ia cukup mempunyai darah Inggris. Semasa hidupnya George melewati berbagai kejadian dalam skala antar negara, semisal Great Depression dan Perang Dunia 1 serta Perang Dunia 2. Karena pengalaman tersebut tulisannya sarat akan peperangan, seperti pada buku Animal Farm, dan tentunya 1984 pula.

1984 bukanlah buku yang sepenuhnya fiksi, melainkan berisi apa yang ditakutkan Orwell berdasarkan berbagai peperangan yang dilewatinya, oleh karena itu dalam suatu sisi pengisahan dalam buku ini tampak sangat nyata. Begitu pula background George Orwell yang juga berperan sebagai jurnalis membuatnya tahu betul apa yang terjadi di sekitarnya.

Winston, merupakan tokoh utama dalam buku ini, ia adalah seorang anggota partai yang cukup ketat, hal tersebut dikarenakan negara yang tengah dilanda konflik peperangan antar negara. Dalam hal ini, banyak sekali pengekangan dalam berbagai macam bentuk terhadap warga negara tersebut. Cerita bermulai ketika Winston memutuskan menabrak satu persatu larangan yang diberlakukan.

Buku ini, sangat mencerminkan pemerintahan yang otoriter dan dikuasai oleh oligarki, hal ini bukanlah tanpa alasan dikarenakan sang penulis George secara tidak langsung memaksudkan menampilkan partai yang di dalam buku ini sebagai partai komunis. Banyak sekali hal yang menekankan kesan otoriter dalam buku ini, seperti adanya teleskrin yang memantau gerak-gerik setiap masyarakat terutama anggota partai, hingga adanya Ministry of Truth yang bertugas ‘mengubah’ kenyataan sesuai kehendak partai yang berada dalam kekuasaan.

Salah satu hal yang cukup menarik dalam buku ini adalah konsep bahasa di dalamnya yang tidak umum, yang mana dalam buku ini bahasa tersebut disebut New Speak. Bahasa tersebut merupakan bahasa yang dikembangkan oleh partai otoriter tersebut untuk menggantikan Old Speak. Sekilas nampak biasa saja, namun pergantian tersebut memberi dampak yang sangat besar.

Tentu kita sadar, bahwa bahasa sangatlah penting untuk berkomunikasi, hal tersebut dikarenakan untuk mempermudah kita dalam menyampaikan segala sesuatu, namun tanpa kita sadari apa yang kita ungkapkan tergantung oleh bahasa yang kita ungkapkan. Semisal “Free” dan “Freedom” memiliki makna yang berbeda dan sangat penting dibedakan untuk memperjelas apa yang ingin kita ungkapkan.

Dalam New Speak yang terdapat dalam buku ini, bahasa telah dimodifikasi sekian rupa agar dapat membatasi apa yang diungkapkan oleh masyarakat, sehingga kekuasaan partai tersebut tetap bertahan. Contohnya, dalam bahasa New Speak, tidak ada bahasa spesifik untuk mengungkapkan kejahatan seperti korupsi, nepotisme, otoriter dan sebagainya, yang tersedia hanyalah kata kejahatan saja. Tentunya dengan begitu, masyarakat akan semakin sulit untuk menentangnya karena keterbatasan bahasa dalam pengungkapannya. Hal tersebut, berakhir pada bahasa yang seharusnya digunakan untuk menyampaikan apa yang ingin kita ungkapkan dan sarat dengan kebebasan justru menjadi pengekang kebebasan.

Secara penyampaian, George Orwell secara berhasil menyampaikan isi cerita secara mengalir dan mudah dicerna seperti halnya karya Animal Farm. Sayangnya, penokohan dalam buku inu terkesan sangat kurang, dikarenakan George Orwell lebih memfokuskan pada detail kejadian maupun tempat kejadiannya, sehingga karakter-karakter dalam buku ini justru hamya sebagai penunjang kejadian-kejadian tersebut.

Buku ini cocok dibaca oleh mereka yang menggeluti hukum, sejarah maupun sastra, walaupun buku ini memiliki latar yang sepenuhnya fiksi, tetapi kejadian yang terdapat di dalamnya merupakan sesuatu yang realistis dan sangat bisa terjadi, sehingga bisa dianalisis lebih lanjut dan dikomparasikan dengan kondisi berbagai negara saat ini. Apa yang terdapat di buku ini tidak hanya mengenai negara maupun moral, namun juga memikiki hal yang sangat jarang kita temui dalam karya sastra yang berputar pada konflik negara otoritwr, yaitu bahasa. Buku ini memberi gambaran gamblang mengenai bahasa, baik penerapannya dan sebarapa besar dampak bahasa dalam kesejahteraan suatu negara atau peradaban.

Minggu, 29 Agustus 2021

Lintas Adat Jawa dan Madura



Agama Jawa, merupakan buku hasil penelitian yang dilakukan oleh Clifford Geertz. Buku yang terbit pada 1960 ini berisi penelitiannya pada tahun 1952 – 1956 yang dilakukannya di Mojokuto. Penelitian yang dilakukannya berfokus pada unsur adat dan keagamaan terutama pada 3 golongan Jawa yaitu, Priyayi, Santri dan Abangan.

Penyampaiannya pun dipecah bersasarkan 3 golongan tersebut. Dari Abangan yang digambarkan melakukan Slametan, Sunatan dll. Santri yang identik dengan kelompok agama seperti Muhammadiyah, dan Nadhalatul Ulama, dan Priyayi yang lekat dengan gelar-gelar kehormatan.

Penelitian yang berdasarkan tahun 1950an itu jika dibandingkan dengan kejadian antara Mataram dengan Madura pada 1670an terdapat benang merah diantaranya terutama pada 3 golongan Jawa pada tahun 1950an tersebut.

DIkutip dari buku Trunojo karya Ganal Komandoko, yang berisi perjuangan Trunojoyo dalam meruntuhkan kekuasaan Mataram yang dipimpin oleh Sunan Amangkurat, yang mana terdapat banyak penolakan dikarenakan terlalu mengikut campurkan Belanda dalam segala urusan dan melakukan kerjasama, namun didalihkan penguasaan Mataram atas Belanda. Hal tersebut berkebalikan dengan kondisi Mataram sebelumnya yang mana sangat menolak keras kehadiran Belanda.

Karena kondisi Mataram yang menyebabkan rakyat terutama rakyat Madura bersedih, ditambah duka atas tiadanya dua petinggi Madura yang dicintai, yaitu Panembahan Cakraningrat dan Demang Melayukusuma. Tiadanya Raden Demang Kusuma menyebabkan rakyat mengharapkan Trunojoyo selaku anaknya meneruskan kepimimpinannya di Madura.

Trunojoyo yang dipercayai sebagai keturunan raja-raja Majapahit turut memperkuat harapan rakyat. Dalam hal ini, Trunojoyo dapat dikategorikan sebagai Priyayi, seperti yang digambarkan oleh Geertz, yaitu memiliki garis keturunan dan gelar kehormatan.

Sedangkan rakyat kebanyakan disini dapat dikategorikan seperti Abangan, begitu pula dengan golongan yang memberontak terhadap Sunan Amangkurat dapat dikaterogikan sebagai Santri, walaupun berbeda dengan Priyayi yang cukup fleksibel, secara posisi kedua golongan tersebut cukup mirip dengan beberapa golongan di Madura pada 1670an dalam beberapa aspek kecil.

Adat yang dilakukan pada masa penelitian tahun 1950an tersebut juga banyak yang tetap berlaku hingga saat ini, walaupun beberapa dari adat tersebut banyak yang mengalami perubahan maupun nyaris hilang, dan tentunya adat-adat ini merupakan yang umum di Jawa, tapi tidak berarti sepenuhnya berbeda dengan adat di daerah yang berlokasi di luar Jawa.

Adat-adat tersebut seperti Slametan, Sunatan, penggunaan weton, mengubur ari-ari bayi dan semacamnya. Mengubur ari-ari bayi, tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Jawa saja melainkan oleh daerah lain pula, salah satunya adalah di daerah Madura. Prosesnya pun tidak jauh berbeda, yaitu dikubur, diberi penanda atau semacam kurungan/pencegah hewan lain menggalinya, serta disinari oleh lampu setiap malam hingga selama sekitar 35 hari.

Sekilas kebiasaan turun-menurun tersebut tidak nampak sebagai sebuah hal yang logis, namun jika dihubungkan dengan kodrat manusia yang berasal dari tanah, maka tak salah rasanya jika ari-ari sebaiknya dikuburkan, selain bagian dari tubuh manusia, juga karena sudah tak berfungsi pasca seorang bayi dilahirkan. Begitu pula dengan lampu/penerangan, jika dipikir secara logis dapat berfungsi sebagai pencegah adanya hewan yang berusaha menggalinya. 

Begitu pula Slametan, ritual yang diadakan baik ketika ditimpa hal buruk maupun baik tersebut, bahkan hingga sekarang masih dilakukan bahkan bisa dibilang nyaris dipenjuru Indonesia. Slametan, pada awalnya bertujuan untuk mengumpulkan seluruh masyarakat sekitar maupun arwah untuk saling berkumpul bersama untuk mengucapkan doa. Selain itu, diakhir ritual para masyarakat yang datang juga disuguhi dengan makanan. Jika dilihat dari sudut pandang sosial, slametan merupakan ritual yang terlepas dari kedudukan seseorang, baik kaya maupun miskin, yang mana berbagai macam lapisan berduduk bersama dan mendapatkan perlakuan yang sama pula baik tempat maupun suguhan.

Walaupun begitu ada pandangan berbeda dari kalangan Muhammadiyah, yang mana cukup mempermasalahkan Slametan, bukan dari sisi doanya melainkan dari sisi menyuguhkan makanan. Bagi kalangan Muhammadiyah slametan yang didasarkan atas ditimpa hal buruk tidak seharusnya ditambah dengan memberi konsumsi kepada para masyarakat yang menghadiri melainkan sebaliknya, masyarakat lah yang seharusnya memberi konsumsi kepada pengundang.

Yang terakhir adalah Sunatan atau Khitan. Secara sudut agama khitan memang diwajibkan bagi laki-laki Terutama yang sudah dewasa. Khitan merupakan proses pemotongan daging yang berada di ujung alat kelamin laki-laki, jika dilihat dari sisi medis khitan merupakan hal yang baik untuk dilakukan, karena dapat mencegah penyakit atas kotoran yang terakumulasi di daging ujung alat kelamin laki-laki.

Prosesi Sunatan, umumnya adalah melakukan pemotongan daging baik menggunakan alat tajam seperti pisau, gunting maupun metode laser. Pasca melakukan khitan umumnya seseorang tersebut (jika masih anak-anak) akan dikunjungi untuk dijenguk dan diberikan uang atas hal tersebut. Hal ini tentunya akan berdampak berkurangnya rasa takut bagi anak-anak yang akan dikhitan karena terdapat sesuatu hal baik yang menanti mereka.

Sebenarnya khitan tidak dilakukan kepada kaum laki-laki saja melainkan pada kaum perempuan pula. Perbedaannya adalah perempuan bagian yang dikhitan adalah bagian ujung klitoris. Secara medis banyak pihak yang menentang diadakannya khitan kepada perempuan, karena berbeda dengan laki-laki yang membawa dampak positif, khitan pada perempuan justru  dapat menyebabkan efek negatif, antara lain pendarahan maupun turunnya sensitifitas seksual. Di Mesir bahkan terdapat aturan yang melarang diadakannya khitan kepada kaum perempuan karena membahayakan, sedangkan di indonsia sendiri sejauh ini belum ada aturan ketat yang mengatur terkait khitan terutama larangan khitan kepada kaum perempuan.


Sabtu, 21 Agustus 2021

Kejanggalan Pada Arab Spring dan Penguasaan kembali Taliban



  17 Agustus lalu bertepagan dengan hari kemerdekaan Indonesia, Taliban secara berhasil mengambil alih pemerintahan Afghanistan. Kejadian ini tentu menuai banyak pro dan kontra dari berbagai pihak dikarenakan mengingat kondisi pada penguasaan Taliban pada periode sebelumnya (1996-2001) yang dianggap represif. Yang mana pada saat itu diberlakukan berbagai aturan yang mengekang, seperti melarang wanita bekerja dan bersekolah, membatasi pers dan mengatur terkait pakaian.

  Pada periode yang kali ini, cukup banyak dukungan tertuju kepada Taliban jika dibandingkan sebelumnya, hal tersebut dikarenakan janji-janji yang diberikan pada press conference pada 17 Agustus lalu. Beberapa janji yang mendatangkan dukungan adalah janji untuk membebaskan wanita untuk menempuh pendidikan maupun bekerja, serta akan memperbaiki kerjasama antar negara terutama dibidang ekonomi dengan menerapkan ekonomi terbuka. China yang mana merupakan negara yang tidak mengakui berakhir menerima kerjasama tersebut.

  Namun, Amerika sebagai pihak yang sempat menumbas Taliban pada kekuasaan periode sebelumnya menolak mengakui Afghanistan kekuasaan Taliban, dengan dalih kejadian yang terlibat dikekuasaan sebelumnya. Bentuk penolakan dilakukan melalui pemulangan perdana menteri Amerika beserta tentara yang berada disana. Tidak hanya itu bahkan sebelum Taliban mengambil alih kekuasaan Amerika juga turut menekan Taliban dengan berbagai cara kekerasan salah satunya adalah melalui pengeboman.

 Tindakan Amerika yang ikut campur tersebut tidak hanya terjadi di Afghanistan saja, melainkan di berbagai negara Asia lainnya. Salah satu kejadian yang terhangat adalah demonstrasi masyarakat kepada presiden Filipina Duterte terkait tindakan penumpasan bandar narkoba dan tetkait Laut China Selatan pula. Dalam hal ini Amerika tidak berada dalam pihak pemerintahan melainkan masyarakat. Hal ini sekali lagi merupakan suatu keanehan dikarenakan posisi Duterte yang anti-Amerika. Dengan ini Amerika seakan menyetir pandangan masyarakat Filipina yang sebelumnya cendetung anti-Amerika pula.

Salah satu kejadian lainnya yang cukup mirip adalah Arab Spring. Kejadian yang berlangsung sejak 2010 tersebut cukup mirip dengan yang terjadi di Afghanistan baru-baru ini. Tidak hanya karena sama-sama mayoritas islam, namun juga karena keterlibatan Amerika di dalamnya.

Arab Spring merupakan aksi revolusi untuk menumpas kepemimpinan diktator di timur tengah. Yaitu dengan membawa demokrasi. Kejadian ini terjadi di berbagai negara timur tengah, baik Libya, Mesir, Tunisia dan lainnya. Namun, hingga kini aksi-aksi yang berrlangsung sejak 2010 tak kunjung memberikan hasil baik.
Arab Spring berawal dari aksi bakar diri seseorang yang bernama Mohamed Bouazizi di Tunisia sebagai bentuk kekesalan atas pemerintah. Kekesalan yang disampaikannya adalah ketika dirinya dirazia ketika tidak memiliki surat izin berjualan. Berawal dari situ satu-persatu demonstrasi terjadi di Tunisia dan menyebar di negara Arab lainnya.

Korban dari Arab Spring sejauh ini diperkirakan lebih dari 61.000 jiwa. Korban tersebut beberapa ditimbulkan oleh kekerasan kepada demonstran oleh aparat pemerintah. Seperti halnya di Arab saudi.

Pada saat itu di Arab Saudi sendiri terdapat larangan bagi yang melakukan demonstrasi dengan ancaman dipenjara. Namun, yang terjadi justru lebih parah dari hal tersebut, yaitu adanya penyerangan yang bahkan menimbulkan kematian tidak hanya kepada demonstran bahkan terdapat pula kepada jurnalis asal Amerika hingga meninggal.

Anehnya, hal ini tidak mendapat kecaman dari pihak Amerika. Dikutip dari democratics debate di Amerika yang terjadi pada 2018 pemandu debat membawakan hasil bukti dari CIA atas tindakan Arab Saudi kepada jurnalis Amerika tersebut yang bahkan atas persetujuan Raja Salman. Pada saat itu Biden menjanjikan akan memberi tindak keras kepada Arab Saudi.

Pada 2021 di masa kepemimpinannya, Joe Biden mengungkapkan bahwa tidak memberi tindak tegas kepada Arab Saudi, dan bersamaan dengan itu Amerika menyatakan akan melakukan recalibrate dengan Arab Saudi.

Berdasarkan berbagai kejadian diatas kita dapat mengetahui bahwa dalam campur tangan Amerika di suatu konflik tindakan yang diambil kerap bedasar keuntungan pula, seperti halnya pemanfaatan Opium di Afghanistan, campur tangan dalam Laut China Selatan, dan mempertahankan kerjasama dengan Saudi Arabia.

Senin, 09 Agustus 2021

Resensi : Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan


Penulis : Soe Hok Gie
Genre : non-fiksi
Penerbit : Bentang
Halaman : 319 Halaman

Soe Hok Gie  merupakan mahasiswa hingga dosen di Universitas Indonesia, ia dikenal melalui tulisan-tulisannya yang bernuansa sejarah, hal tersebut bukanlah tanpa alasan dikarenakan dirinya merupakan mahasiswa fakultas sastra. 

Buku ini merupakan versi publikasi dari skripsi Soe Hok Gie, yang terbit pada tahun 1997 dengan pengantar Ahmad Syafii Ma’arif, dan tentunya beserta perbaikan dalam tata bahasa pula. Karena buku yang satu ini adalah karya skripsi Soe Hok Gie, oleh karena itu berisikan hal-hal yang bersifat objektif. Dan fokus dari buku ini adalah gejolak dalam tubuh PKI itu sendiri, dari pra-proklamasi hingga peristiwa pemberontakan Madiun.

Pada buku ini konflik berputar pada internal PKI, dan tokoh-tokoh yang paling sering muncul antara lain, Alimin, Musso, Tan Malaka dan lainnya. Salah satunya adalah pada saat peristiwa pra-proklamasi terutama saat Alimin memutuskan melakukan pemberontakan kepada Belanda, yang mana ditolak tegas oleh Tan Makalaka karena terlalu terburu-buru. Tidak hanya Tan Malaka, bahkan pihak Moskow sendiri pada saat itu menolak keras. 

Permasalahan lainnya adalah kesalahan pemuda Indonesia pada saat itu dalam mengartikan revolusi. Hal itu tergambarkan dari sikap-sikap mereka yang terlalu sembrono dan terlalu cepat mengamini hal-hal yang berbau perlawanan. Salah satunya ada ketika para pemuda menuduh seorang wanita mata-mata hanya dikarenakan memukul ibu tua, padahal fakta sebenarnya sangatlah berbeda dari yang mereka duga, hal tersebut merupakan bentuk sikap mengamini terlalu cepat, dan kurang memandang sisi lain. Begitu pula sikap mengartikan seks bebas sebagai bentuk revolusi, hingga paksaan yang mereka lakukan kepada Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan.

Sikap tersebut bukan berarti telah hilang dari pemuda Indonesia saat ini walaupun pada masa dan kondisi yang sangat berbeda, tidak dapat kita pungkiri, bahkan diantara kita sendiri terlalu terburu-buru dalam melakukan “perlawanan” dalam artian mengambil suatu sikap dalam suatu hal. Serta mengamini segala sesuatu dengan mudahnya. Salah satunya adalah Pancasila, tidak hanya pemuda bahkan orang tua sekali pun banyak yang terlalu mengagungkan Pancasila, tentu bukanlah hal yang burung jika dibarengi dengan pengkajian plus minusnya, namun sayangnya yang kerap kali terjadi hanya bagus-bagusnya saja. Pancasila pun perlahan ibarat sesuatu kekuasaan tertinggi yang tidak bisa diganggu gugat, padahal mau sebaik apa pun pasti ada borok di dalamnya.

Seperti kata Fahrudin Faiz, Pancasila itu bukan kanan, bukan kiri serta bukan tengah pula. Pancasila disesuaikan dengan arah yang diinginkan oleh berkuasa saat itu. Oleh karena itu tidak wajar jika dibilang sempurna.

Jika berdasarkan sampulnya, buku ini cukup menarik, dikarenakan didominasi warna hitam dan merah yang cukup identik dengan komunis serta plakat tanda kekiri dan lurus yang cukup menggambarkan judul dan isinya.

Secara isi, Soe Hok Gie menyampaikannya tidak secara kaku, terlihat dari latar waktu kejadian yang tidak ditempatkan melakui sub-judul, melainkan diselipkan sehingga memiliki sensasi yang cukup mirip dengan membaca novel, hal lainnya adalah minimnya detail kejadian justru menjadi nilai plus dalam buku ini. Karena secara berhasil mengurangi kekakuan isi buku. 

Bagi saya sendiri, buku ini sangat layak di baca terutama sejak pelajar menengah atas, dikarenakan  banyak dari kejadian pada buku ini termasuk dalam kurikulum pelajaran Sejarah pada tahap menengah atas, namun tentunya isi dari buku ini berbeda dengan buku paket yang terlalu banyak kejadian kontroversal di dalamnya, sehingga diharapkan melalui buku ini dapat ditemukan hal yang berbeda dan dapat digunakan sebagai pembanding dengan buku paket sekolah.

Karena kurikulum pelajaran sejarah di sekolah menengah pada saat ini cukup miris, dikarenakan ketakutan berlebih serta trauma atas pemberontakan PKI menyebabkan generasi muda saat ini tidak dapat akses sejarah yang sesungguhnya dari yang diajarkan sekolah. Bersama dengan tulisan ini saya turut berharap akan perbaikan kurikulum pelajaran sejarah pada masa kini, alih-alih membatasi pengetahuan pelajar akan lebih baik jika diungkap faktanya saja asalkan harus disertai dengan pengarahan oleh pendidik pula.

Rabu, 07 Juli 2021

Sang Penari



Sang penari, merupakan film yang rilis pada 10 November 2011 disutradarai oleh Ifa Isfansyah. Film ini menceritakan mengenai perjalanan dua tokoh Srintil dan Rasus yang diceritakan dengan alur mundur, tidak seperti film romansa pada umumnya, film yang satu ini lebih condong ke arah romansa kelam, yang mana kedua tokohnya memiliki prinsip dan tujuan yang berbeda, Srintil yang tidak inging berhenti menjadi penari ronggeng dan Rasus yang bergabung ke kemiliteran.

Film ini didasari pada novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, yang terbit pada tahun 1982, masa orde baru. Secara adaptasi banyak yang beranggapan film ini cukup berbeda dengan sumbernya, dari segi penceritaan dan kefrontalan dalam menggambarkan suasana didalamnya, terutama disisi pergerakan partai komunis yang tak digambarkan secara eksplisit di novelnya.

Secara meluas, film ini tidak hanya berkisah mengenai romansa antara penari ronggeng dan seorang tentara, namun juga pergerakaan partai komunis. Jika dilihat berdasarkan latar waktunya, film ini berlatar pada tahun 1960-1975 dan dibagi menjadi 3 bagian, pada tahun 1960, 1965, dan 1975. Film ini cukup menggambarkan pergerakan partai komunis dalam skala kecil yaitu didaerah perdesaan, yang mengambil kejadian pra G30SPKI, saat G30SPKI, dan pasca G30SPKI.

Jika mengambil sisi pergerakan partai komunis, film ini menampilkan partai tersebut lebih secara netral, tidak seperti kebanyakan film terkait partai komunis lainnya yang lebih menekankan pada keburukan partai komunis saja, sedangkan film yang satu ini tidak serta-merta menggambarkan adegan dengan pergerakan tersebut dengan penuh darah, namun juga pergerakan-pergerakan lainnya seperti pada saat upaya memerahkan desa Dukuh Paruk.

Disitu terlihat secara jelas peran Bakar sebagai penyebar ajaran partai komunis, walaupun dirinya melakukannya dengan cara manipulatif, seperti dengan memberikan iming-iming bantuan, hingga menanfaatkan warga desa Dukuh Paruk yang buta huruf.

Di film tersebut juga menampilkan budaya leluhur yang justru dapat berujung destruktif, salah satunya yaitu tari ronggeng itu sendiri, seperti apa yang diucapkan berbagai tokoh di film ini berkali-kali yang mana seorang penari ronggeng juga harus bisa mengontrol laki-laki dalam artian bisa memuaskan hasrat seksual laki-laki secara fisik. Kita akan berkali-kali dihadapi dengan tokoh Srintil yang merasa tidak nyaman dengan kondisinya tersebut, karena apa yang diinginkannya adalah menari bukan memenuhi hasrat laki-laki yang tidak dikenalnya, itulah yang menyebabkan pergolakan batin dalam dirinya disepanjang film.

Bagian lainnya adalah kepercayaan mistik warga desa Dukuh Paruk yang sangat mengagungkan makam leluhurnya, dapat kita lihat dalam berbagai adegan, ketika terdapat masalah yang menimpa desa, apa yang mereka utamakan adalah mengunjungi makam tersebut untuk meminta bantuan. Hal ini juga berhubungan dengan kondisi desa Dukuh Paruk yang cukup terisolasi dari dunia luar, tampak dari warganya yang buta huruf dan tidak adanya sekolah yang tampak di film tersebut.

Dari sisi sinematografis, film ini secara sukses menghidupkan cerita didalamnya nampak seperti halnya Indonesia Pada tahun 60an dan 70an, hal tersebut nampak dari penggunaan filter warna yang nampak mentah seperti rekaman film lawas, yang mana tentu akan menyebabkan penonton terbawa dengan suasana pada tahun itu.

Selain itu, penggunaan bahasa daerah di film ini juga semakin membuatnya tampak lebih natural, perpaduan bahasa Jawa dan Indonesia cukup menggambarkan suasana di desa, walaupub tentunya bagi penonton non-Jawa akan cukup kesulitan mencerna arti dari tiap kata yang diucapkan oleh tokoh dalam film ini.

Yang cukup unik  dari film ini adalah berbeda dengan film terkait komunis yang kerap sempat dilarang tayang lainnya, film ini terbebas dari hal tersebut walaupun sempat beberapa kali menampilkan kekerasan dari tentara kepada orang-orang yang dianggap bagian dari PKI.

Ahmad Tohari sebagai penulis Ronggeng Dukuh Paruk mengapresiasi sutradara film ini karena telah secara berani menampilkan adegan-adegan yang sensitif terkait komunis, dan sutradara dari film ini mengatakan bahwa dengan tidak adanya larangan tayang film ini merupakan sebuah kemajuan, jika kita berkaca pada kejadian-kejadian lalu yang mana kerap kali karya yang menampilkan partai komunis dibredel.

Akhir kata, film ini sangat layak ditonton baik sebagai hiburan maupun secara historis, latar dan pergerakan komunis serta budaya yang terdapat di film ini dapat dibilang akurat, sehingga tidak menimbulkan misinformasi.

Jumat, 02 Juli 2021

Resensi : Dunia Sophie


Penulis : Jostein Gaarder
Genre : Fiksi
Penerbit : Mizan
ISBN : 978-979-433-574-1

Jostein terkenal akan penceritaan dalam novelnya yang menggunakan sudut pandang anak-anak, salah satunya ada novelnya yang satu ini, Dunia Sophie. Pria kelahiran tersebut 8 Agustus 1952 mulai dikebal setelah penjualan nov Dunia Sophie melunjak disertai dengan merebaknya terjemahan dari novel tersebut.

Dunia Sophie merupakan novel yang menceritakan perkembangan filsafat dari zaman Yunani hingga modern, yang dikemas dalam pertualangan si Sophie, anak berusia 14 tahun yang penuh akan rasa penasaran. Sophie mempelajari filsafat di usianya yang masih beli tersebut, salah satunya adalah filsafat ekstensialisme.

Filsafat ekstensialisme dalam novel ini dihadapkan pada sudut pandangan beberap filsuf, seperti Rene Descartes ataupun Jean Paul Sartre. Secara umum, pemikiran ekstensialisme ala Rene Descartes lebih disegani oleh berbagai orang, terutama pada ucapannya yang berbunyi “Aku berpikir maka aku ada”. Sedangkan Sartre berpikirian sebaliknya walaupun secara tersirat, ia meyakini bahwasanya eksistensi mendahului esensi.

Sartre mengungkapkan bahwa ekstensialisme adalah humanisme, ungkapan tersebut sempat disinggung sedikit di buku ini. Apa yang Sartre maksud dengan humanisme disini bukanlah humanisme yang seperti kebanyakan filsuf menjelaskannya. Namun, yang ia anggap humanisme disini adalah humanisme yang sesungguhnya, yang tidak terintervensi dengan hal diluar “human” itu sendiri. Oleh karena itu ia menganut ateisme.

Sartre mempercayai bahwasanya esensi tidak bisa mendahului eksistensi, entah itu bagi ekstensialisme kristen maupun ekstensialisme atheis. Untuk menciptakan esensi tersebut, harus ada pengada terlebih dahulu, yaitu eksistensinya. Esensi tersebut tercipta setelah eksistensi melakukan pengadaan yang mana tentunya juga memerlukan konstribusi dari eksistensi lainnya. Oleh karena itu eksistensi mendahului esensi.

Sartre juga menegaskan bahwasanya eksistensialisme bukanlah filsafat yang berserah pada keadaan, bukan seperti nihilsme. Justru ia menegaskan manusia adalah mahluk yang bebas, namun dibalik kebebasan tersebut terdapat harga yang harus dibayar, yaitu tanggung jawab akan kebebasan yang diambil.

Baik seseorang itu melakukan keputusan apa pun atau tidak mengambil keputusan sama sekali, terdapat pertanggung jawaban yang membebankannya. Oleh karena itu manusia adalah mahluk yang terbelenggu oleh kebebasannya sendiri.

Untuk menjadikan kebebasan tersebut hal yang tidak terlalu memberatkan, adalah dengan menjauhkan diri dari bad faith. Baid faith artinya merupakan kepercayaan yang buruk/korosif. Yang Sartre maksud adalah jangan fanatik pada suatu hal dan bentuklah diri berdasarkan keinginan diri yang murni.

Sartre menganggap, bahwa antara suatu orang dengan orang lainnya selalu terjadi konflik, yaitu saling mengobjekan orang lain. Ketika berbicara dengan orang lain tentunya kita akan memposisikan diri sebagai subjek dan orang lain sebagai objek, begitu juga sebaliknya. Itulah yang Sartre sebut sebagai konflik tak berujung.

Kita akan selalu menekankan apa yang faktual bagi kita secara subjektif, sehingga ketika berhadapan dengan orang yang berbeda, penyikapan kita akan berbeda pula, dengan cara mengusahakan faktual subjektif orang lain kepada kita terpenuhi bagi mereka. Itulah yang Sartre anggap sebagai bad faith.

Buku ini cocok sekali di baca bagi remaja, karena terdapat banyak filsafat yang bisa diterapkan, terutama bagi mereka yang sedang berusaha membentuk esensinya, karen terdapat banyak tokoh filsuf dibuku ini yang akan menjelaskan pembenaran akan suatu kejadian, yang mana bisa digunakan sebagai acuan oleh pembaca, namun tentu saja dengan memilahnya.

Filsafat jika diibaratkan adalah sebuah senjata, yang mana dapat bermakna baik jika digunakan dalam waktu yang tepat, serta begitu juga sebaliknya. Namun di buku ini penjelasan yang disampaikan tidak segamblang sebagaimana filsuf itu sendiri yang menjelaskannya melalui bukunya. Oleh karena itu perlu dilakukan pencarian lebih lanjut mengenai filsafat dalam buku ini.

Sabtu, 19 Juni 2021

Pemahaman Mengenai Ganja di Indonesia


Berdasarkan pemberitaan Tempo.co, beberapa waktu lalu  pada 11 Juni, Anji selaku musisi ternama diamankan dikarenakan dugaan memakai dan menyimpan ganja. Bersamaan sengan diamankannya Anji, barang bukti berupa ganja turut diamankan, beserta buku Hikayat Ganja yang nyaris diamankan pula, walau akhirnya tidak jadi dikarenakan tak dapat dijadikan barang bukti karena bersifat keilmuan sesuai dengan pasal 39 ayat (1) KUHAP

Hal tersebut disampaikan langsung oleh Erasmus Napitupulu, direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Ia menyayangkan hal tersebut, serta berharap ganja tak dipandang sebelah mata semata-mata sebagai narkoba saja melainkan memiliki dampak positif yaitu untuk pengobatan medis.

Berdasarkan kejadian tersebut, kita pada akhirnya mengetahui bahwasanya pengetahuan orang Indonesia mengenai ganja sangatlah, bahkan setingkat kepolisian sekalipun, hal tersebut bukanlah tanpa alasan karena berdasarkan UU saja, penggunaan ganja benar-benar dilarang bahkan untuk medis sekalipun, begitupula untuk sekadar meneliti saja dilarang, hal itu tertuang pada pasal 8 ayat (1) Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika.

Dilarangnya penelitian terhadap ganja tentu menyebabkan minimnya informasi terkait tanaman tersebut, yang mana semakin mengkungkung pengetahuan khalayak umum, sehingga semakin menyulitkan pemanfaatan tanaman tersebut untuk hal yang positif seperti untuk medis. Dengan begitu, yang tersisa hanyalah pengetahuan terkait keberbahayaannya saja yang mana menyebabkan kesalahan dalam penanganannya.
 
Kesalahan penanganannya tersebut kerap kali terjadi, dan hal tersebut baru saja dialami kembali, kali ini oleh BNN dalam melenyapkan bukti ganja, kejadian yang baru saja terjadi pada 6 April lalu. Pada saat itu BNN memutuskan membumi hanguskan ganja untuk melenyapkannya, sekilas akan tampak keheroikan mereka dalam menanganinya, namun sebenarnya cara tersebut bukanlah cara terbaik, karena asap yang ditimbulkan akan terhirup hingga pada akhirnya timbullah efek yang sama seperti pemakai ketika terhirup. Dari situ, timbullah kontradiksi yang mana tujuannya melenyapkan agar tidak dipakai, tetapi justru melenyapkannya dengan cara yang menyebabkan banyak orang mengalami efek yang sama dengan pemakai.

Dengan begitu, dilarangnya penelitian terhadap ganja sama saja dengan membiarkan ketidaktahuan terhadap tanaman tersebut, begitu juga dengan pemakaiannya untuk medis, padahal penggunaan ganja di luar sana untuk medis dilegalkan, namun tidak dengan di Indonesia, yang mana pada akhirnya pelarangan ini pun menimbulkan korban, salah satunya adalah apa yang dialami oleh istri Fidelis Arie Suderwato.

Apa yang dialami Fidelis 2017 lalu merupakan kejadian yang mengiris hati, dirinya pada saat itu mendapati istrinya terjangkit penyakit kronis yang mengharuskannya diobati dengan ganja, namun karena larangan penggunaan ganja untuk medis menyebabkan istrinya tidak mendapatkan pengobatan secara optimal, hingga akhirnya Fidelis pun mengambil jalan yang ilegal secara hukum, yaitu menanamnya sendiri di pekarangannya.

Naas, nasib buruk yang menimpanya, dirinya ditahan dikarenakan menyimpan ganja, walaupun apa yang dilakukannya merupaka  hal positif, namun UU yang berlaku berkata lain, sehingga dirinya mendekam di penjara meninggalkan istrinya yang pada akhirnya wafat karena tidak mendapatkan perawatan secara optimal.

Kejadian-kejadian tersebut tentunya menimbulkan berbagai gerakan legalisasi ganja, karena peraturan yang terdapat pada UU tersebut pada penerapannya justru menimbulkan kerugian, alih-alih mencegah timbulnya korban karena ganja yang terjadi justru sebaliknya, sudah sewajarnya berkaca dengan berbagai kejadian tersebut setidaknya ada pertimbangan untuk perubahan bunyi pasal terkait ganja tersebut, pelegalan di bidang medis beserta penelitian merupakan langkah awal yang seharusnya ditempuh.

Jumat, 18 Juni 2021

Resensi : Kontrak Sosial



Penulis : Jean Jaqcues Rousseau
Genre : Teori
Penerbit : Erlangga
Halaman : XXX + 124

Jean jacques rousseau lahir di jenewa swiss pada 28 juni 1712, pada saat itu ibunya meninggal tepat setelah melahirkannya. Memasuki usia 10 ayahnya meninggalkannya dari Jenewa, di 1728 ia turut meninggalkan jenewa di usianya yg memasuiki 16 tahun ia hidup dari berkelana dan bekerja apapun. Memasuki usia 38 namanya mendadak melejit setelah memenangkan lomba esay yang mana semenjak itu muncul karyanya satu persatu salah satunya adalah kontrak sosial yang banyak dijadikan acuan untuk menjustifikasi sistem pemerintahan.

Kontrak sosial terbit ketika Jean Jacques rousseau menetap di perancis, di tahun 1762. Teori yang ditawarkannya ini dipercaya turut memicu terjadinya revolusi prancis sekitar 20 tahun lebih setelahnya, yang mana karena kekuasaan tiran di perancis saat itu,mengapa begitu? Karena teori miliknya ini berisikan pandangannya terhadap keadilan yg sesungguhnya, pada dasarnya keterlibatan semua orang setara dalam membentuk pemerintahan, rouessau meyakini bahwa kepentingan bersama penting dalam hal ini, namun bukan berarti hal tersebut menghilangkan kepentingan pribadi, kepentingan pribadi tetaplah eksis. Namun hak akan sebagian ditukarkan atas dijaminnya keamanan atas dirinya dengan begitu kepentingan pribadi selama ada benefit yg didapatkan oleh dirinya.

Kita ambil contoh perundang-undangan, kita tidak perlu menanyakan satu-persatu persetujuan rakyat terkait perundang-undangan yang akan diterapkan, dengan catatan selama itu benar-benar dapat diterapkan secara setara kepada seluruh rakyat beserta ketentuan-ketentuan khusus yang dapat menyeimbangkan pula perundang-undangan tersebut.

Jean juga mempercayai setiap orang lahir dengan keadilan yg setara, baik kaya maupun miskin, karena pemerintah menyeimbangkan hal tersebut dengan memberikan bantuan kepada kaum yg miskin sehingga terjadi keseimbangan yg memungkinkan terjadinya perputaran sosial pula. Menurutnya keadilan juga tak memandang harta dan materil karena pada dasarnya keadilan tiap org berbeda dan tergantung pula pada cara hidupnya, selama hal tersebut terpenuhi maka keadilan terlaksana.

Contoh yang paling umum adalah pembagian pajak, pajak tidak dibebankan dalam bentuk setara kepada seluruh rakyat, melainkan mengikuti jumlah dan keberhargaan harta yang dimilikinya, dengan begitu semakin banyak dan keberhargaan harta yang dimiliki akan semakin banyak pula pajak yang perlu dibayarkan, begitu pula sebaliknya.

Di pelaksanaannya, tentu ada hal lain yang dipertimbangkan ketimbang keadilan secara umum semata, konsep moral juga harus diterapkan dengan benar oleh pemerintah, semisal adalah perang. Perang kerap kali dijustifikasikan oleh pemerintah itu sendiri dengan alasan dapat menguntungkan penduduk di negaranya, baik melalui harta ataupun wilayah. Namun, ada suatu hal yang menyebabkan hal tersebut tidak dapat dikatakan adil, tak hanya dapat merugikan penduduk di negara lainnya, hal ini pula menyebabkan rakyat yang mengikuti perang terpaksa harus beradu tembak dengan orang yang tak dikenalnya, dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa perang sebenarnya bukanlah permusuhan antar rakyat dengan rakyat negara lainnya, melainkan suatu negara dengan negara lainnya.

Sampul dari buku ini dapat dibilang standard hanya berisi dua warna hijau dan putih beserta sketsa sosok Rousseau di depannya. Mengingat buku ini terbitan lawas serta sebuah buku teori sehingga wajar saja jika sampul yang digunakan tidak banyak menggambarkan isinya.

Buku ini cocok dibaca bagi mahasiswa untuk mempelajari sistem pemerintahan, tidak hanya bagi hukum saja melainkan untuk lainnya pula, karena isi didalamnya bersifat umum dan terdapat penjelasan atas berbagai tulisan di dalamnya. Isi dari buku ini juga terorganisir dengan baik, banyaknya bab di buku ini turut membantu pembaca lebih memahami tulisan di dalamnya.

Walaupun begitu, masih tersisa kejanggalan setelah membaca buku ini, karena di buku ini Rousseau selalu memposisikan rakyat akan selalu setuju selama hal itu merupakan kepentingan umum, padahal dalam penerapannya hal tersebut tidak mudah, untuk mendapatkan persetujuan kerap kali rakyat merasakan perlu adanya benefit yang tampak langsung bukan benefit mendatang yang belum tentu didapatkan. Sehingga teori Rousseau yang satu ini masih dapat diperbarui dan diperbaiki.

Resensi : Pemberontak



Penulis : Albert Camus
Genre : Antologi Esai
Penerbit : Narasi dan Pustaka Promethea
Halaman : 576 Halaman
ISBN : (10) 979-168-544-4

 Albert Camus merupakan seorang yang menggagas filosofi absurdisme ditengah meluasnya nihilisme, hal itu dapat kita amati pada berbagai bukunya seperti Orang Asing ataupun Pemberontak. Albert Camus merupakaan seseorang yang lahir di Prancis pada tahun 1913 dan pernah mendapatkan penghargaan nobel pada tahun 1957. 

Pemikiran Albert Camus terkait absurdisme timbul karena perjalanan hidupnya yang penuh persimpangan, dari dirinya yang dikenal sebagai womaniser, dikhianati, mengikuti partai kiri dan banyak kejadian lainnya yang menimbulkan cara berpikirnya tersebut. Absurdisme bisa dibilang merupakan pencarian manusia atas sesuatu yang pada akhirnya berujung tak bermakna.

Di bukunya yang berjudul Pemberontak ini, berkisar sesuai judulnya itu sendiri yang disajikan dalam bentuk antologi esai, ia memberikan berbagai perumpamaan didalamnya. Banyak yang menganggap apa yang ditulisnya di buku tersebut merupakan gambaran situasi Eropa, padahal jika dicermati hal tersebut juga dapat menggambarkan situasi diluar Eropa, ambil contoh esainya yang membicarakan terkait revolusi.

Di esainya tersebut Albert Camus membandingkan antara pemberontak dengan revolusionis, ia menganggap keduanya hal yang bisa bersinggungan serta dalam posisi yang berbeda tidak bersinggungan. Albert Camus turut menuliskan bahwa revolusi Justru dapat menimbulkan pemerintahan otoriter, ia mengambil contoh kekuasaan hitler yang timbul akibat revolusi. Hal itu bukanlah tanpa alasan, karena pada dasarnya revolusi dilakukan oleh seorang politisi yang membangkang dari pemerintahan saat itu, sehingga ketika revolusi terlaksana, tentu saja politisi tersebut akan mendapatkan posisinya setelah itu. Berbeda dengan rakyat biasa yang akan sekadar menjadi pemberontak saja, walaupun akhirnya beberapa diantataranya mendapat posisi pula.

Hal tersebut juga terjadi di Indonesia pada masa pelengseran presiden Soeharto, seusai lengsernya Soeharto bukanlah utopia yang mereka dapatkan justru hal yang berulang kembali, jika kita melihat pada sejarah, pemerintahan yang terbentuk atas kekerasan tentunya akan menimbulkan pemerintahan yang tidak sehat, karena dari awal terbentuknya saja tidak melalui suatu hal yang baik.

Secara sampul buku ini memiliki sampul yang menarik, karena berisi ilustrasi berbagai orang secara abstrak yang tentunya dapat cukup menggambarkan absurdisme itu sendiri. Namun ada hal yang tidak mengenakkan dari sisi tulisan yang terdapat di sampul buku. Yaitu seperti kebanyakan buku dengan penulis terkenal lainnya, buku ini lebih menonjolkan nama penulisnya ketimbang judul buku itu sendiri, suatu hal yang kurang etis karena berkesan menjual nama penulisnya saja.

Secara kualitas kertas dan tulisan di dalam buku pun juga cukup buruk, kertas yang terdapat di buku ini terlalu kaku sekaligus rapuh, tidak cucuk untuk suatu buku yang tebal, begitu pula dengan tulisannya yang tidak rapi.

Buku ini cocok dibaca untuk mahasiswa, pokok pembahasan dalam buku ini cukup berat untuk dikonsumsi oleh pelajar yang masih menempuh pendidikan wajib.  Buku ini dapat mengubah pola berpikir dalam menyikapi segala suatu hal, baik dari hal yang dianggap jahat terdapat makna yang bisa dipetik didalamnya, begitu pun sebaliknya tindakan yang tampak baik pun terkadang berisi hal yang buruk di dalamnya.

Esai yang disampaikan oleh Albert Camus walaupun dianggap tidak teoritis, tetap saja dapat dengan mudah dipahami, maupun dilogikakan, karena penjabaran yang disampaikan pun masuk akal pula.



Sabtu, 12 Juni 2021

Mempertanyakan Profesionalitas McDonalds



Dilansir dari Tempo.co, dikabarkan bahwasanya berbagai gerai Mcdonalds Indonesia mendapatkan denda sebesar Rp. 50.000.000 dan diharuskan tutup selama 1×24 jam, karena menyebabkan timbulnya kerumunan yang mana tak dapat dibiarkan dikarenakan pandemi Covid-19 yang sedang melanda. Kerumunan tersebut berasal dari kalangan ojek online yang mendapatkan pesanan berupa BTS Meal yang merupakan paket terbatas hasil kerjasama McDonalds dengan BTS, lalu hal apa saja yang sebenarnya menyebabkan timbulnya kerumunan diberbagai gerai McDonalds terjadi?

Pakar Pemasaran Asnanto Firanto sempat memberikan tanggapannya terkait kejadian yang satu ini, dirinya berpendapat bahwasanya kejadian tersebut timbul karena kurangnya kesiapan pihak McDonalds Indonesia dalam menghadapi kemungkinan animo pelanggan, terbukti dari tidak terjadinya kejadian serupa di luar gerai McDonalds Indonesia terkecuali Malaysia, walaupun gerai McDonalds di luar Indonesia menawarkan paket BTS Meal pula.

Keluputan yang dilakukan McDonalds ini tentunya akan menciderai nama McDonalds yang sejak lama dikenal sebagai salah satu penyedia makanan saji terbaik hanya karena kesalahan dalam manajemen, jumlah gerai yang mengalami kejadian serupa pun cukup banyak, yaitu sebanyak 13 gerai. Dalam hal ini sebenarnya banyak sekali upaya yang dapat dilakukan pihak McDonalds agar kejadian serupa tak terulang kembali.

Mengingat periode paket BTS Meal ini berlangsung selama satu bulan, sudah seharusnya McDonalds mengeluarkan kebijakan batas pengambilan atau jumlah yang bisa dipesan perharinya. Karena, tentunya dengan animo yang sangat besar dan periode yang cukup panjang, McDonalds pastinya dapat membagi dari jumlah paket BTS Meal yang dipersiapkannya. Ditambah dengan fakta bahwa yang spesial dari paket satu ini adalah kemasannya bukan dari sisi makanannya, sehingga pihak McDonalds tidak perlalu khawatir terkait kelayakannya.

Begitupula dari segi pengiklanan, berdasarkan iklan yang McDonalds unggah di kanal Youtubenya, iklan tersebut hanya menampilkan tampilan paket BTS Meal beserta grup boyband tersebut yang menjelaskan isi dari paket tersebut. Tentu strategi tersebut , akan mengundang penggemar BTS untuk membeli paket tersebut. Tetapi, yang kurang dari iklan tersebut adalah kedalaman informasinya.

Iklan pada dasarnya berfungsi sebagai pemberi informasi bagi yang melihatnya, iklan yang disebarkan oleh McDonalds, kurang dalam satu ini. Pada iklan tersebut, hanya menampilkan isi dari paket BTS Meal saja, namun tidak menampilkan harga dan periode paket tersebut, sehingga banyak informasi fatal yang tidak diketahui bagi yang melihatnya. Dalam kasus ini, hal tersebut berujung pada menumpuknya pesanan tak lama setelah paket tersebut diluncurkan, dengan salah satu alasan takut akan kehabisan stok.

Kejadian tersebut bukanlah pertama kalinya McDonalds kurang antisipasi. Salah satu kejadian tersebut terjadi pada Oktober 2017 lalu, ketika McDonalds meluncurkan kembali The Schezuan Sauce, yaitu saus ekslusif yang terakhir produksi pada 1988. McDonalds, merilis kembali saus tersebut setelah salah satu kartun Amerika terkenal Rick and Morty menampilkan saus tersebut pada salah satu episodenya. Hal itu, menimbulkan penggemar kartun tersebut mengharapkan saus tersebut diproduksi ulang, yang pada akhirnya McDonalds merilis ulang saus tersebut.

 Saus yang dirilis pada 7 Oktober itu diserbu oleh berbagai orang yang menantikannya, bahkan banyak dari mereka yang menginap di tempat antrian. Namun, McDonalds kurang mengantisipasi jumlah orang yang menantikannya, terbukti dari salah satu cuitan  di Twitter yang mengatakan bahkan di salah satu gerai McDonalds Amerika terdapat 1000 lebih orang yang mengantri, dan berakhir kecewa karena hanya tersedia 70 saus saja, sehingga jauh dari terpenuhi.

Tindakan McDonalds yang satu ini tentu saja menyebabkan timbulnya kekecewaan yang teramat dari berbagai orang yang menantikannya, karena dalam hal ini McDonalds juga tidak menginformasikan seberapa banyak The Schezuan Sauce sebelum rilis kembali.

Kasus lainnya adalah ketika McDonalds meluncurkan paket spesial kolaborasi dengan Travis Scott pada September 2020 lalu, seperti sebelumnya, lagi-lagi McDonalds salah memperkirakan jumlah peminatnya, sehingga menyebabkan stok habis sebelum periode selesai yang tentunya menyebabkan kekecewaan.

Karena berbagai kejadian tersebutlah McDonalds mulai dicap tidak profesional, anggapan tersebut datang dari komentar orang-orang yang berasal dari berbagai negara pula, kita dapat melihat tanggapan tersebut salah satunya melalui postingan video South China Morning Post di kanal Youtubenya. Disitu kita dapat melihat banyak komentar yang mempertanyakan profesionalitas McDonalds dan menghubungkannya dengan berbagai kejadian lainnya yang salah satunya kejadian The Schezuan Sauce dan paket Travis Scott pula.

Berkaca dari dua kejadian tersebut sudah sepatutnya McDonalds berbenah, terutama dalam hal yang satu ini, karena kejadian serupa cukup sering terjadi ketika McDonalds melakukan kolaborasi dengan nama besar, sehingga menyebabkan McDonalds terkesan tutup mata dalam hal ini demi meraup profit sebesar-besarnya, kerumunan yang ditumbalkan karena BTS Meal tentunya ditakutkan dapat menimbulkan kluster baru Covid-19, bahkan walaupun diluar pandemi Covid-19 sekalipun sikap McDonalds yang satu ini tidak dapat dibenarkan.

McDonalds sebagai perusahaan yang telah dikenal luas sudah seharusnya memberikan pelayanan yang baik pula dan lebih profesional dalam memperkirakan kemauan pelanggannya serta tidak terfokus pada profit yang didapatkan saja, sehingga akan diuntungkan dari dua arah baik dari sisi pelanggan maupun dari sisi McDonalds sendiri.

Jumat, 28 Mei 2021

Resensi : To Kill a Mockingbird


Penulis : Harper Lee
Genre : Fiksi
Penerbit : Qanita
Halaman : 396 halaman
ISBN : 978 – 602 – 1637 – 87 – 6 

Novel karya Harper Lee ini menceritakan kehidupan di sekitar suatu keluarga yang berisi Scout sang tokoh sentral dalam novel ini, Jem kakaknya, Atticus ayahnya serta Calpurnia seorang kulit hitam yang menjadi pembantu bagi keluarga tersebut. Scout dalam bagian awal novel ini kerap digambarkan sebagai seseorang yang rasis berkat tindakannya terhadap orang-orang yang dirasanya berbeda. Baik teman sekelasnya, tetangganya bahkan pembantunya sendiri.

Hal tersebut bukanlah tanpa alasan mengingat buku ini berlatar pada tahun 1930 yang mana pada saat itu rasisme sedang marak terutama terhadap ras kulit hitam yang mana kerap diejek dengan sebutan “Nigga” atau “Nigger”. Di novel ini pun kata ejekan tersebut kerap kali muncul sepanjang jalannya cerita, bisa dibilang novel ini cukup menitikberatkan penceritaan di sisi tindakan rasis pada ras kulit hitam saat itu.

1930 merupakan masa dimana Amerika (latar tempat buku ini) mengalami Great Depression, yang mana menyebabkan banyak masyarakat yang merasa stres sehingga mencari kambing hitam untuk disalahkan, yaitu ras kulit hitam, begitu pula dengan di novel ini, ras kulit hitam kerap kali diidentikkan dengan keburukan oleh berbagai karakter di dalamnya hal tersebut memanglah terjadi bahkan di dunia nyata.

Penulisan cerita yang demikian tidak terlepas dari latar belakang penulis sendiri yang mana menjadi saksi hidup terhadap tindakan rasisme disekitarnya, bahkan latar tempat novel ini pun sama dengan asalnya yaitu Alabama. Tidak hanya itu, beberapa hal lainnya juga cukup berhubungan dengan dirinya, seperti nama tokoh Cunningham yang mana memiliki nama sama dengan ayahnya.

Kehebatan Harper Lee dalam menyampaikan cerita tersebut kedalam novel ini berhasil membuatnya mendapatkan penghargaan Pulitzer, serta apresiasi dari berbagai belah pihak. Bahkan buku bagian keduanya yang terbit 54 tahun setelahnya memperoleh penjualan di minggu pertama yang luar biasa bahkan melampaui penjualan novel Harry Potter.

Selain secara isi, judul dari novel ini juga memiliki makna yang mendalam, judul pada novel ini sempat di ucapkan oleh tokoh Atticus dalam novel ini ketika mengatakan sesuatu pada Jem, perkataan tersebut berbunyi “Kau boleh menembak apapun yang ada di langit, kecuali Mockingbird, karena ia hanya bersiul dan tak mengganggumu:”. Sekilas perkataan tersebut berkesan biasa saja dan tidak memiliki arti istimewa, namun hal tersebut akan berubah seusai membaca novel ini, karena akan muncul suatu makna istimewa setelah itu. Oleh karena itu sang penulis  secara sukses membuat judul yang berkesan memorable bagi pembacanya.

Secara sampul novel, novel ini hanya menampilkan seorang gadis yang memainkan ayunan, gadis tersebut adalah Scout. Gambar tersebut tampak tak memiliki banyak arti, namun cukup untuk menggambarkan sang tokoh sentral Scour dalam novel ini yang suka bermain.

Novel ini telah berusia lebih dari 60 tahun, namun isi dari novel ini tetap relevan dalam kehidupan sekarang dalam berbagai sisi, salah satu sisi yang cukup membuat hati teriris adalah sisi rasisme yang mana hingga saat ini tetap marak, begitupun kepada ras kulit hitam yang terdapat dalam novel ini, walaupun setelah sekian tahun isu tersebut tetap tak kunjung usai walaupun telah ditekan dalam berbagai cara. Namun di sisi lain banyak hal yang dapat dipetik dalam novel ini, salah satunya yaitu penyikapan dalam suatu situasi, seperti jika didalam novel ini yang porsinya cukup besar adalah terhadap rasisme dan parenting.

Oleh karena itu buku ini layak untuk dibaca oleh semua kalangan karena nilai-nilai yang bisa dipetik di dalamnya. Walaupun gaya penulisan Harpee Lee yang kerap menggunakan bahasa kasar atau berkesan tabu, hal tersebut tidak mengurangi kualitas dari novel ini, justru karena penulisan yang gamblang tersebutlah buku ini sangat layak dibaca bahkan untuk segala kalangan, karen tentunya akan mengungkapkan berbagai hal tanpa ditutup-tutupi atau sesuai dengan apa yang sebenarnya digambarkan.

Sabtu, 22 Mei 2021

Resensi : Menyingkap Kedok Hegemoni Kuasa Rama


Penulis : Abdul Ghofur dkk
Penerbit : Balai Bahasa Jawa Tengah (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan 2018
Halaman : VIII + 194 Halaman
ISBN : 978 – 602 – 53193 – 3 – 4

Buku ini merupakan buku antologi esai yang berisi sebanyak 18 karangan esai. Ke 18 esai tersebut memiliki esai berkisar antara bahasa hingga pendidikan serta dipilih melalui juri lomba penulisan esia bagi guru Jawa Tengah tahun 2018. Diharapkan melalui buku ini dapat memberi manfaat bagi masyarakat untuk dijadikan bahan atau acuan untuk pembangunan dibidang-bidang tersebut.

Esai di buku antologi esai ini berisi beragam kritikan di setiap esainya, dan yang paling tersorot adalah kritikan dibidang pendidikan di Indonesia, mengingat penulis dari esai ini merupakan guru sehingga kritikan tersebut memberi kesan yang lebih hebat karena ditulis langsung oleh orang-orang yang berkaitan dibidang tersebut.

Salah satunya terdapat di esai kedua yang membahas penerapan kurikulum 2013 di Indonesia dan potensinya di bidang sastra. Esai tersebut berisi kritikan terhadap kurikulum 2013 yang tidak fokus dalam pembelajaran sastra, salah satunya adalah tidak adanya pembedahan karya sastra dalam bentuk novel yang mana menyebabkan peserta didik tidak memeperoleh pengetahuan dan kemampuan di bidang sastra secara optimal dan mumpuni, begitu pula dengan banyaknya tuntutan di kurikulum 2013 menyebabkan guru melakukan cara apapun hanya untuk mencapai tujuan dan kurang terfokus pada prosesnya, hal ini juga menyangkut pada pembelajaran sastra.

TIdak seperti di berbagai negara lainnya, apresiasi sastra kurang di tekankan di Indonesia, hal tersebut terbukti dari para peserta didik yang hanya diberitahukan mengenai karya-karya novel berdampak di Indonesia tanpa mengenalkan lebih jauh bagian-bagian yang perlu diapresiasi dalam karya novel tersebut, contohnya novel Max Havelaar karya Multatuli yang hanya dikenalkan sebagai novel yang mengubah jalannya imperialisme di Indonesia tanpa mengkaji isinya bersama peserta didik bagian-bagian yang menyebabkan hal tersebut terjadi.

Keadaan tersebut membentuk peserta didik yang kurang mengenal tidak hanya karya sastra internasional bahkan karya sastra dari negerinya sendiri.
Esai selanjutnya yang  memberikan kritikan kepada Pendidikan adalah esai kelima dengan judul “Ketika Guru Salah Berbahasa : Sebuah Autokritik” berbeda dengan esai sebelumnya, esai yang satu ini berisi kritikan terhadap pendidik yang hanya memberikan didikan melalui pelajaran yang disampaikan namun secara tindakan justru sebaliknya.

Contoh tindakan tersebut terdapat pada perkataan guru yang kerap kali kita dengar ketika masih menduduki bangku pendidikan wajib, salah satunya adalah kalimat “Yang sudah, silahkan dikumpulin”, kata”dikumpulin” tersebut dapat menjadi pengaruh buruk bagi siswa apalagi jika disampaiikan langsung melalui mulut guru yang mengajarkan Bahasa Indonesia, karena tindakan tersebut tidak mencerminkan posisinya tersebut.

Hal tersebut didasari dari 4 aspek pembelajaran yaitu, menyimak (mendengarkan), berbicara, membaca dan menulis. Tindakan guru diatas sama saja dengan merusak aspek menyimak yang mana cukup fatal karena peserta didik tidak hanya belajar dari satu aspek saja melainkan ke-4 aspek tersebut. Jika dibiarkan dapat merembet pada aspek berbicara karena terbiasa terpapar oleh perkataan guru,pada dasarnya peserta didik belajar melalui meniru apa yang dilakukan pendidiknya.

Buku ini sangatlah cocok dibaca oleh berbagai kalangan terutama yang berkontribusi langsung dibidang pendidikan ataupun bagi mereka yang masih menjadi peserta didik. Buku ini dapat memberikan dampak dari berbagai arah, karena kritikan yang terdapat di buku ini tidak hanya menuju satu arah saja, melainkan berbagai arah, baik pendidik, peserta didik maupun orang tua.

Kumpulan 18 esai di buku ini tidak hanya dapat memberi dampak yang besar diberbagai bidang tersebut, tetapi juga memiliki isi yang menarik dan tergolong mudah untuk membaca, buku yang berbobot bukanlah buku yang hanya memiliki isi yang padat namun juga harus dibarengi dengan kemudahan untuk berbagai pihak, dalam buku ini, bahasa yang digunakan sangat mudah dipahami sehingga dapat ditarget untuk berbagaj pihak sekaligus, diharapkan buku semacam ini dapat terus bermunculan.

Kamis, 20 Mei 2021

Resensi : Kekerasan Budaya Pasca 1965


Penulis : Wijaya Herlambang
Genre : non-fiksi narasi
Penerbit : Marjin Kiri
Halaman : XIV + 334 halaman
ISBN : 978-979-1260-26-8

Buku Kekerasan Budaya Pasca 1965 merupakan buku karya Wijaya Herlambang yang berisi mengenai bagaimana pemerintah Orde Baru melegitimasi anti-komunisme pada saat itu melalui berbagai media, salah satunya melalui sastra. Wijaya membawakan hal tersebut melalui narasi yang menceritakan kejadian hingga terbentuknya hal tersebut secara runtut.

Upaya pemerintah Orde Baru dalam melegitimiasi anti-komunisme merupakan hal yang terjadi karena kejadian 1965 yang menimbulkan trauma hebat bagi masyarakat dan pemerintah Indonesia itu sendiri, pelegitimasian tersebut secara umum dianggap sebagai cara untuk mencegah kejadian serupa terulang kembali. Namun, dibalik kekhawatiran tersebut, terdapat hal negatif yang timbul akibat hal tersebut, yaitu pembenaran atas hal yang tidak seharusnya dibenarkan.

Upaya pemerintah tersebut pada pertama kalinya terjadi ketika Yayasan Obor Indonesia menerbitkan buku terjemahan tulisan-tulisan Albert Camus yang dikemas dengan judul Krisis Kebebasan dengan pengantar Goenawan Muhammad, hal tersebut berhasil membentuk Ideologi anti-komunisme.

Hal lainnya yang semakin mendukung terbentuknya legitimasi tersebut adalah bagaimana pemerintahan pada saat itu memanfaatkan berbagai cerita pendek yang diterbitkan mengenai kejadian 1965 sebagai alat untuk membenarkan perlakuan mereka yang membantai pengikut (dan diduga) komunis secara semena-mena.

Dan yang paling tampak adalah melalui film dan novel Pengkhianatan G30S/PKI yang mana secara terang-terangan mengubah fakta demi memperkuat kesan anti-komunisme dan memperkuat pula posisi pemerintahan pada masa Orde Baru dengan membuat PKI sebagai setan dan pemerintah Orde Baru sebagai pahlawannya, salah satu hal yang nampak kecil namun memberi kesan yang besar adalah penggambaran Aidit sebagai perokok yang mana sebenarnya Aidit bukanlah seorang perokok, bahkan cukup anti dengan rokok. Namun, film tersebut mengubahnya agar memberi kesan Aidit sebagai tokoh pemikir dan kotor.

Penggambaran lainnya yaitu beberapa bagian baik pada novel dan film yang menampilkan PKI seburuk-buruknya dengan secara implisit menggambarkan PKI sebagai penyebab kemiskinan, hingga menggambarkan PKI yang merobek-robek Al-Quran yang mana berkesan bertujuan untuk menarik perhatian pembaca ataupun penonton beragama Islam, hal tersebut merupakan tindakan yang sangat buruk karena memperalat agama untuk kepentingan politik.

Hal lainnya adalah dengan memposisikan pihak militer saat itu sebagai pihak pahlawan yang sangat patriotis, salah satunya adalah dimana adegan pencuilakan yang mana sebenarnya juga dilakukan oleh pihak militer pula diubah seakan-akan segala penculikan merupakan hal yang dilakukan oleh PKI atau simpatisan PKI dan tidak ada campur tangan dari pihak militer.

Buku ini secara isi memiliki isi yang sangat layak untuk dibaca, karena berisi sejarah yang sering diungkit namun dari sisi yang berbeda, ketakutan yang berlebih pada komunisme di buku ini dijelaskan secara rinci apa saja yang menyebabkan dan dampak apa yang ditimbulkan karenanya, penulis juga secara berani membeberkan fakta-fakta yang tidak banyak diketahui namun sulit untuk dipublikasikan karena ketakutan berlebih pada komunisme yang mana bisa saja menimbulkan hal yang berbahaya bagi penulis, namun upayanya dalam menulis dan mempublikasikan hal tersebut sangat layak untuk diapresiasi.

Selain itu, sang penulis berhasil membawakan cerita tersebut secara rinci dan nyaman untuk dibaca dengan gaya narasinya. Walaupun mencantumkan berbagai nama tokoh dan berbagai organisasi, penulis berhasil menuliskan nama-nama tersebut tanpa menyebabkan pembaca kebingungan, hal tersebut juga didukung oleh pihak penerbit yang juga menuliskan berbagai singkatan dari berbagai nama-nama dibuku ini disekitar halaman awal.

Buku ini sangat cocok dibaca oleh mahasiswa, karena buku ini akan menampilkan hal yang tidak banyak diketahui, sehingga sangat cocok untuk dibaca mereka-mereka yang sedang dalam masa rekontruksi pemikiran, yang mana buku ini sangat cocok untuk hal tersebut. Diharapkan dengan dibacanya buku ini dapat memperluas dan menimbulkan pemikirin kritis bagi pembacanya, terutama mahasiswa yang sedang dalam masa-masa penuh kebebasan dan dapat memberi dampak besar di masyarakat melalui tindakan-tindakan mereka yang beragam, baik secara gerakan fisik maupun non-fisik.


Minggu, 09 Mei 2021

Resensi : Max Havelaar

Penulis : Multatuli (Eduard Douwes dekker)
Penerbit : Qanita
Halaman : 579 halaman
ISBN : 978-602-1637-45-6

Max Havelaar merupakan novel karya Multatuli merupakan seorang asal Belanda yang bekerja sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda selama 18 tahun. Novel ini merupakan ringkaian pengalamannya selama menjabat di Hindia Belanda, yang mana tecipta karena keresahaannya pada kondisi Indonesia saat itu dengan mengemasnya melalui tokoh Max Havelaar.

Cerita diawali melalui karakter Droogstoppel yang menemukan tulisan milik Sjalman berpotensi untuknya karena banyak berisi mengenai kopi, karena usaha kopi miliknya. Namun, apa yang ditemukannya tidak hanya pembahasan tentang kopi, tapi juga kekajaman tanam paksa yang diterapkan di Hindia Belanda, yang mana meenyebabkan kemelaratan yang tampak menyedihkan.

Novel karya multatuli satu ini dipercaya telah mengubah alur kolonialisme di Indonesia, hal tersebut diucapkan langsung oleh salah satu penulis pamor di Indonesia yaitu Pramoedya Ananta Toer, karena berkat adanya novel ini akhirnya kondisi Indonesia pada saat itu tereekspos di dunia, dan Belanda pun mau tidak mau harus melaksanakan politik balas budi. Berawal dari situ muncul satu persatu pejuang berintelektual Indonesia.

Sayangnya, walaupun sangat bersinggungan langsung dengan perjuangan bangsa, buku ini tidak menjadi kajian wajib di setiap sekolah dan hanya cenderung dikutipkan saja dalam mata pelajaran sejarah sebagai buku yang membantu perjuangan. Berbeda dengan berbagai negara lainnya diluar sana yang mana buku setipe seperti ini dijadikan sebagai kajian wajib di beberapa tingkat pendidikan, bahkan buku yang tidak bersinggungan langsung dengan perjuangan pun banyak pula yang menjadi kajian wajib.

Bahkan buku Max Havelaar ini sendiri selain tidak menjadi kajian wajib, secara sisi penerjamahan juga tidak dilakukan secara optimal, terbukti dari hanya sedikit versi terjemahan bahasa Indonesia dari buku ini dan seluruhnya juga tidak diterjemahkan secara optimal, terbukti dari beberapa bagian yang kurang pas ketika dibaca. Seperti  pada bagian puisi yang  terasa kurang nyaman dibaca karena diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan ala kadarnya, saat dibaca pun terasa kurang  pas.

Secara cerita, buku ini memiliki memiliki cerita menarik dan runtut, namun secara  penokohan terdapat kekurangan  ketika  transisi antara Droogstoppel menuju Max Havelaar yang kemungkinan besar akan  menyebabkan pembaca kebingungan atas transisinya signifikan.

Secara eksternal, Multatuli dapat dipuji keberaniannya dalam mempublikasikan kekejaman yang terjadi di Hindia Belanda, cara penulisannya pun juga tidak dilebih-lebihkan dan berkesan seimbang dengan  menyampaikan fakta apa adanya dari kedua sisi, hal tersebutlah yang menyebabkan buku  ini  secara berhasil diyakini oleh berbagai pihak saat itu, ditambah dengan keberanian Multatuli yang menantang segala pihak jika ada yang merasa apa yang ditulisnya berisi kebohongan, pada akhirnya pun tidak ada satu pihak pun yang menentang keaslian isinya.

Novel  ini sangat layak dibaca oleh siapapun walaupun di luar Indonesia pula, selain karena isinya yang tak lekang oleh waktu, novel ini juga berisi sejarah yang perlu diketahui oleh berbagai pihak karena berisi kekejaman kolonialisme yang mana tidak hanya terjadi di Indonesia saja, melainkan berbagai negara di dunia. Oleh karena itu diharapkan dengan membaca buku ini, pembaca dapat mengetahui keburukan yang ditimbulkan dari kolonialisme secara nyata.

Walaupun hingga saat ini belum menjadi bacaan wajib dan diterjemahkan secara baik di Indonesia, bukan berarti kita harus menghindari novel ini, karena novel ini sendiri  merupakan bagian sejarah penting bagi bangsa kita, yaitu titik balik dari proses kebangkitan bangsa (walaupun hingga saat ini belum mencapai titik kebangkitan), oleh karena itu kita harus mengetahui hal apa yang menjadi pemicunya.

Secara sampul, versi terbitan Qanita ini tampak kurang efektif karena bukan menyorot tokoh utama dari novel ini melainkan tokoh yang tidak memegang peran sentral dalam novel ini, selain itu sampul tersebut kurang memberi gambaran mengenai kondisi Hindia Belanda saat itu, walaupun begitu versi asli dari novel ini juga tak memberikan gambaran jelas mengenai Hindia Belanda saat itu sehingga hal tersebut bukanlah masalah besar.

Minggu, 02 Mei 2021

Resensi : Orang Asing


Penulis : Albert Camus
Genre : fiksi
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Halaman : 124 halaman
ISBN : 978-979-461-862-2

Novel karya Albert Camus sastrawan asal Perancis yang satu ini merupakan novel yang menggambarkan konsep absurdisme melalui kisah karakter utamanya, Mersault. Kisah diawali dengan Mersault yang mendapati kabar bahwa ibunya telah wafat dari panti jompo tempat ibunya dititipkan olehnya, mendapati kabar tersebut, reaksi yang aneh muncul dari Mersault, tidak seperti kebanyakan ia justru tidak merasa berduka dan menganggap kematian ibunya biasa saja, dari situlah mulai cerita dimulai dimana pandangan orang lain terhadapnya semakin menganggapnya aneh sepanjang jalannya cerita.

Tokoh Mersault yang Albert Camus tulis dalam cerita ini merupakan sosok gambaran dari absurdisme itu sendiri, terlihat dari caranya menyikapi  sesuatu yang berbeda dengan orang secara umum. Begitu pula dengan diri Mersault yang merasa dirinya sebagai pengamat kehidupan orang-orang lain, yang menyebabkannya merasa seperti menjadi orang asing yang menolak kehidupan sebagaimana umunnya, dengan tindakan-tindakannya yang berbeda dan penyikapan terhadap kehidupan yang dianggapnya tidak berharga.

 Albert Camus juga secara implisit menulis bahwa nilai moral yang terdapat dimasyarakat tidak selamanya dapat digunakan untuk seluruh orang. Seperti Mersault yang dihakimi dengan oleh orang-orang dengan dalih moralitas.

Pemikiran Albert Camus yang unik  juga berhasil menjadikan novel Orang Asing sebagai novel pertamanya penghargaan nobel berkat pemikirannya mengenai absurdisme. Begitu pula gaya penulisan Albert Camus yang cukup berbeda dengan kebanyakan penulis pada masanya, yang mana kebanyakan penulis Prancis pada masa itu lebih dominan yang menceritakan tokoh yang bourjois tidak seperti Albert Camus yang menceritakan tokoh dengan keterbatasan ekonomi.

Sayangnya, cerita yang hanya terbungkus dalam 124 halaman saja ini menyebabkan cerita dari novel kurang tereksplor, seperti kisah Mersault yang terasa kurang komplit dan meluas sehingga cerita berkesan tergesa-gesa karena seharusnya masih bisa dieksplor lebih jauh, begitu pula dari tokoh lainnya yang hanya mendapat porsi sedikit seperti tetangga-tetangga mersault, Marie dan Ibunya sendiri yang mana hanya diceritakan sedikit dari sudut pandang beberapa karakter saja.


Sampul dari novel ini juga tidak kalah absurdnya dengan kisah yang disajikan, dengan pewarnaan yang sangat cerah dan gambaran abstrak dapat menyebabkan pembaca lebih tertarik dengan isinya. Gambar sesosok yang terletak di tengah sampul tampak mirip dengan Sishypus yang mana merupakan simbol dari absurdisme, namun bedanya yang terletak di sampul merupakan versi abstraknya.

Penggunaan simbol absurdisme sebagai sampul merupakan hal yang tepat, karena kisah Sishypus sendiri merupakan bentuk absurdisme, Sishypus merupakan tokoh mitologi yang mendapati hukuman mendorong batu kepuncak gunung secara berulang-ulang karena pada akhirnya jatuh kembali. Tindakannya yang sia-sia merupakan hal yang mirip dengan apa yang dipikirkan Mersault bahwa hidup tidak bermakna dan hanya kesia-siaan saja.

Novel ini sangat layak dibaca selain karena sampulnya, isi dari novel ini juga dapat memberi dampak besar terhadap pembaca mengenai berbagai hal, salah satunya yaitu konsep moralitas itu sendiri, berbagai kejadian yang terdapat di novel ini dapat menyebabkan pembaca mempertanyakan kebenaran dari konsep moralitas yang diterapkan secara umum tersebut, karena penerapannya yang justru dapat menjadi alat untuk menjerumuskan orang lain seperti apa yang dialami Mersault yang mana dituduh segala macam hal karena tidak merasa berduka ketika menghadiri kematian ibunya.

Walaupun begitu, novel ini kurang cocok dibaca bagi mereka yang sedang merasa tertekan atau ditik buruk dalam hidupnya, karena kisah yang disampaikan dalam novel ini berkesan kelam sehingga dapat menyebabkan pembaca yang sedang dalam kondisi demikian mengambil langkah yang salah setelah membaca novel ini.

Target pembaca yang paling cocok dengan novel ini adalah mahasiswa atau pekerja, selain karena isinya yang terlalu sensitif bagi pelajar yang masih mengenyam pendidikan wajib, novel ini juga dapat memberikan pembacanya pandangan baru mengenai penyikapan terhadap konsep moral dan hidup. Namun, karena penyampaiannya yang terkesan kelam menyebabkannya pemahaman yang cukup untuk mengartikannya.

Sabtu, 01 Mei 2021

Resensi : Candide


Penulis : Voltaire
Genre : fiksi
Penerbit : Liris Publishing
Halaman : 244
iSBN : 978-602-95978-0-6

Candide merupakan novel klasik karya Voltaire, seorang penulis berdarah Prancis yang terbit dipertengahan abad pencerahan, yaitu pada tahun 1759 . Sesuai judulnya, buku ini menceritakan kisah seorang laki-laki yang bernama Candide yang memegang keras ajaran gurunya bahwa dunia adalah versi terbaik dan  untuk terus bersikap optimis dan berpikir positif, sepanjang perjalanannya ia diterpa oleh berbagai kejadiaan naas terhadap dirinya dan orang disekitarnya yang menyebabkannya berkali-kali harus berusaha mempertahankan optimsime dan positivismenya.

Voltaire dalam novelnya yang satu ini menyampaikan kritikan kerasnya terhadap kondisi saat itu dari berbagai sisi, salah satunya yaitu agama. Ia berkali-kali menyinggung beberapa agama di dalam novelnya yang satu ini, novel ini seakan merupakan bentuk sindiran Voltaire terhada kepercayaan agama yang meyakini bahwa dunia adalah versi yang terbaik karena ciptaan tuhan secata tersirat.

Singgungan tersebut berhubungan  dengan kondisi Perancis pada saat Voltaire menulis novel ini, yang mana banyak memegang teguh hal tersebut, sehingga pada akhirnya Voltaire memutuskan menyampaikan sindirannya melalui novel satirenya ini yang berjudul Candide.

Voltaire dalam novel ini berkali-kali berusaha menekankan bahwa dunia sebenarnya adalah distopia melalui kisah yang ditulisnya yang mana berbagai kejadian buruk yang ditimpa oleh tokoh-tokohnya di novel ini, terutama Candide. Voltaire seakan berusaha meyakinkan pembacanya untuk berpikir bahwa dunia sebenarnya adalah distopia dan berkebalikan dengan apa yang disampaikan dalam agama, melalyi kisah-kisah yang dirancangnya untuk menggiring pembaca berpikir demikian pula.

Hal tersebut dapat kita cermati dari caranya memberikan gambaran terhadap berbagai kisah tokoh yang terdapat di novel ini, salah satunya yaitu sang tokoh utama itu sendiri Candide. Voltaire menggambarkan Candide sebagai tokoh yang bernasib sial dan kejadian buruk terus-menerus menimpa dirinya dan orang-orang yang ia anggap dekat, Candide yang awalnya sangat berpikir positif dan optimis perlahan Karena berbagai kejadian tersebut menjadi semakin goyah untuk mempertankan kedua sifatnya dan kepercayaan bahwa dunia adalah versi yang terbaik.

Begitu pula dengan optimisme dan positivisme yang selama ini kita anggap sebagai sifat yang baik, justru digambarkan sebagai hal yang berakhir mengkhianati dalam novel ini. Memang benar pada dasarnya kedua sifat tersebut umunya merupakan sifat baik, namun dapat menjadi pisau bermata dua jika berakhir pada ketergantungan dengan keduanya. 

Dari segi sampul, novel ini memiliki sampul yang berkesan klasik karena menggambarkan sekumpulan orang dengan pakaian ala abad-18 dan penggunaan cat air juga semakin memperkuat kesan tersebut. Sampul depan dari buku ini menggambarkan beberapa orang serta dicondongkan pada dua orang yang terdapat ditengah sampul, yaitu Candide dan Cunegonde tokoh sentral dalam novel ini. Penggunaan warna yang kelam turut dan ekspresi Candide yang digambarkan turut memperkuat isi dalam novel ini.

Secara isi, novel ini memiliki kisah yang menarik dan sedikit berkesan candaan walaupun kisah yang disampaikan di daΔΊamnya cukup kelam, hal tersebut terwujudkan berkat gaya penulisan yang klasik Voltaire serta versi terjemahan yang berkesan kurang bisa menjelaskan beberapa bagian dalam novel ini, ditambah dengan banyaknya referensi asing yang dituliskan Voltaire semakin mempersulit pembaca untuk memahami beberapa bagian dalam novel ini.

Kisah kelam yang terlalu cepat berganti-ganti antara satu tokoh dengan tokoh lainnya turut mengurangi kenyamanan dalam pembaca, karena kurang lebarnya penjembatan antara kisah satu sama lain sehingga justru berkesan seperti kisah “adu nasib” antara satu tokoh dengan tokoh lainnya.  Serta alur waktu  yang berantakan turut dapat menyebabkan pembaca kebingungan dengan kejadian  yang sedang  berlangsung

Terlepas dari keburukannya, novel karya Voltaire yang satu ini sangat layak untuk dibaca, terutama bagi mereka yang baru saja memasuki usia matang, karena novel ini dapat memberikan pandangan lain mengenai sifat optimisme, postivisme dan kepercayaan bahwa dunia adalah versi terbaik, melalui kisah panjang yang dialami Voltaire sehingga pada akhir cerita pembaca dihadapi dengan dua pilihan mempertahankan atau melepaskannya.

Resensi : Rezim Mao : Mao Zedong dan Dinasti Kekuasaannya

Penulis : Rizem Aizid
Genre : Sejarah
Penerbit : Palapa
Halaman : 244 Halaman
ISBN : 978-602-279-096-9

Buku karya Rizem Aizid ini merupakan buku yang menceritakan masa pemerintahan Mao Zedong serta dinasti-dinasti yang terdapat di China. Walaupun judulnya menakankan pada rezim Mao Zedong (RRT), buku ini tidak hanya berisi mengenai rezim tersebut, bisa dibilang sekitar 60% dari isi buku ini menceritakan mengenai dinasti-dinasti yang sempat ada di China. Dari masa dinasti Xia hingga Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Buku ini tidak hanya menceritakan kebijakan dan perilaku Mao Zedong, tetapi juga beberapa kejadian yang terjadi selama rezimnya berjalan. Salah satu kejadian besar saat rezim Mao Zedong yang tertulis dibuku ini yaitu ketika Mao Zedong melakukan Kampanye Seratus Bunga yang dilakukan sekitar tahun 1956.

Digerakan tersebut, Mao Zedong membuka ruang kritik terhadap pemerintah baik untuk pihak manapun. Pada saat itu, ia menyampaikan bahwa kritik terhadap pemerintahan merupakan hal yang baik. Hingga akhirnya karena hal tersebut terdapat banyak pihak yang menyampaikan kritikan pedasnya.

Kritikan tersebut pada akhirnya menjadi kritikan pedas. Kritikan pedas tersebut justru ditanggapi sebagai hal yang mengancam rezim bagi Mao Zedong, hal tersebut tampak dari tindakan Mao Zedong yang memutuskan membantai pihak-pihak kritis yang baginya mengancam.

Kejadian yang serupa dengan kejadian tersebut tidak hanya terjadi sekali saat itu saja, melainkan cukup banyak kejadian demikian terjadi selama rezim Mao Zedong.

Sebenarnya kejadian diatas tidak hanya terjadi direzim Mao Zedong, namun juga direzim-rezim lainnya. Bahkan, kejadian tersebut juga terjadi diluar RRT, tetapi bedanya kejadian serupa cenderung ditutupi-tutupi sehingga yang tampak di permukaan hanya sedikit. Tidak dapat kita pungkiri kejadian serupa juga tejadi di negeri kita sendiri.

Perilaku Mao Zedong juga cukup banyak ditulis dalam buku ini, dari penggambaran penulis yang menggambarkan beberapa perilaku menyimpang Mao Zedong, hingga tindakan yang diambil Mao Zedong dalam menyikapi suatu hal.

Sampul dari buku ini cukup menggambarkan isi dari buku ini sendiri, selain menampakkan gambar dari Mao Zedong itu sendiri, postur tubuh Mao Zedong yang tegak dan mengangkat salah satu tangannya seperti memposisikan salam fasis pada buku ini juga menampakkan posisinya sebagai pemimpin RRT.

Warna dari judul serta backgroundnya juga tampak sesuai, judul yang berwana kuning dan backgroundnya yang berwarna merah seakan menyimbolkan bendera RRT itu sendiri. Yang mana sesuai dengan judul dan isi dari buku ini.

Secara isi, buku ini memiliki isi yang layak untuk dibaca karena menceritakan rezim Mao Zedong secara padat dan jelas, informasi yang disampaikan mengenai rezim Mao Zedong dalam buku ini disampaikan apa adanya tanpa melebih-lebihkan. Walaupun begitu, Rizem Aizid selaku penulis buku ini secara sukses menggiring pembacanya untuk lebih terfokus pada sisi kebobrokan yang terjadi di RRT, baik dalam rezim Mao Zedong ataupun diluarnya.

Tidak hanya disampaikan melalui tulisan saja, buku ini juga memiliki gambar didalamnya untuk menguatkan isi dari buku ini sendiri, karena kebanyakan dari gambar yang digunakan dalam buku ini sangat bersinambung dengan tulisan disekitarnya, seperti penggunaan gambar peta untuk memperjelas yang terdapat di salah satu halaman dibuku ini.

Terlepas dari segala kelebihan tersebut, buku ini juga memiliki beberapa kekurangan yang dapat memperlemah buku ini sendiri. Kelemahan terbesar dari buku ini adalah hubungan antara judul dengan isinya.

Tidak seperti buku secara umum dan sewajarnya, isi dari buku ini kurang sesuai dengan judulnya, hal tersebut terlihat dari isinya yang kurang berfokus pada judulnya yaitu Rezim Mao Zedong. Alih-alih langsung berfokus pada Rezim Mao Zedong dan menekankan pembahasan dalam buku kesisi ReIm Mao Zesong secara sedalam mungkin, sepertiga bagian buku ini justru menceritakan mengenai sejarah RRT dari masa dinasti hingga terbentuknya RRT.

Hal tersebut bisa dibilang menjadi kekurangan buku karena usaha penulis dalam memasukkan kronologi tersebut justru menyebabkan posisi Rezim Mao Zedong sebagai inti menjadi melemah.


Resensi : Catatan Perang Korea




Penulis : Mochtar Lubis
Genre : non-fiksi
Penerbit  : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Cetakan : Edisi 2 Cetakan 1
Halaman : xxviii + 154 halaman        
ISBN : 978-979-461-771

Catatan Perang Korea merupakan buku yang dihasilkan berdasarkan pengalaman Mochtar Lubis selama masa penugasannya untuk meliput Perang Korea pada tahun 1950 yang mana ditugaskan langsung oleh PBB. Mochtar Lubis merupakan seorang wartawan asal Indonesia yang bahkan telah berperan dalam dunia tersebut semenjak masa pendudukan Jepang di Indonesia, bahkan kualitasnya dapat disandingkan dengan wartawan asing, terbukti dari penghargaan Masgsaysay yang diterimanya berhasil mengantarkannya ke Korea hingga akhirnya terbentuklah buku Catatan Perang Korea.

Buku Catatan Perang Korea merupakan buku yang menceritakan perjalanan Mochtar Lubis selama meliput perang yang terjadi di Korea pada tahun 1950. Ia menceritakan berbagai hal, dari pengalamannya bersama tentara dan wartawan yang ditugaskan disana, hingga dampak terhadap masyarakat yang terdampak perang. Dari buku ini pada akhirnya Mochtar Lubis sampai pada kesimpulan bahwa perang bukanlah suatu solusi yang baik, perang merupakan hal yang dapat mengiris kemanusiaan, terbukti dari sekumpulan rakyat Korea yang ia temui saat itu.

Penekanan Mochtar Lubis di buku Catatan Perang Korea terhadap kemanusiaan merupakan hal yang unik, karena pada umumnya yang di liput pada masa peperangan merupakan propaganda atas sekumpulan pasukan yang bertugas disana, sedangkan Mochtar Lubis mengambil dari sisi yang berbeda dan jarang terjamah oleh wartawan lainnya.

Dampak dari perang yang diberitakan umumnya mengenai kerusakan secara fisik serta tentara yang ditugaskan itu sendiri. Jarang sekali berita mengenai perasaan rakyat ataupun kondisi non-fisik ditekankan. Media kerap kali menekankan apa yang nampak secara visual, hal yang terus berlangsung tersebut akan menyebabkan audiens hanya berfikir mengenai visualnya saja dan mengesampingkan yang non-visual.

Oleh karena itu, buku yang disampaikan oleh Mochtar Lubis ini dapat dibilang unik, karena ia mencampur aduk sesuatu secara yang nampak (visual) serta yang tidak nampak (non-visual), sehingga pembaca buku ini dapat lebih merasakan kejadian-kejadian yang disampaikan oleh penulis.

Sampul yang terdapat di buku ini juga nampak cukup menarik, selain menampilkan sang penulis Mochtar Lubis itu sendiri, sampul dari buku ini juga menampilkan backgound dibalik foto Mochtar Lubis yang mana menampilkan bangunan yang hancur serta gosong karena dampak perang, serta seseorang yang tampak kumal dan tertutup oleh debu. Sampul yang digunakan dalam buku ini semakin menguatkan isi dari buku ini sendiri yang mana sebagian besar menceritakan mengenai dampak dari perang.

Gaya penulisan yang digunakan Mochtar Lubis dibuku ini dapat dibilang mudah dipahami, selain dari runtutnya peristiwa yang ia jabarkan dalam buku ini, Mochtar Lubis juga secara berhasil menyulap kejadian sejarah yang notabene tidak dapat dengan mudah dipahami karena berbagai latar belakang tiap tokoh serta lokasi dan runtutan peristiwa yang tidak banyak diketahui menjadi mudah dipahami dengan caranya yang menyelipkan informasi beserta fakta-fakta mengenai berbagai tokoh dan lokasi isepanjang tulisan dibukunya ini.

Sayangnya Mochtar Lubis memberi akhir yang berkesan anti-klimaks dibukunya yang satu ini, karena ia tidak benar-benar menceritakan konflik perang Korea hingga tuntas, bahkan tidak sampai Mochtar Lubis itu nenyelesaikan tugasnya disana dan  kembali ke Indonesia. Selain itu apa yang disampaikan di buku Catatan Korea ini terlalu padat serta tidak berisi banyak informasi, sehingga pembaca akan merasa ada sesuatu yang kurang dari buku ini.

Secara keseluruhan, walaupun terlalu padat dan tidak menceritakan secara komplit, buku ini tetap sangat layak dibaca terutama bagi kalangan pelajar, karena buku ini sendiri menampilkan sisi lain dan pemicu dari Korea selatan dan Korea utara saat ini, yang mana kedua negara tersebut memiliki ciri khasnya tersendiri, Korea Selatan dengan industri hiburannya, dan Korea Utara dengan negaranya yang tertutup. Di buku ini kedua hal tersebut akan terbedah dan nampak kepada pembaca hal-hal yang memicu serta sisi lain dari kedua sisi negara tersebut yang jarang diketahui.

Minggu, 07 Maret 2021

Resensi : Atheis

Pengarang : Achmad k. Mihardja
Genre : fiksi
Penerbit : Balai Pustaka
Halaman : 232 halaman
ISBN : 979-407-185-4

Novel karya Achmad K. Mihardja yang terbit pertama kali pada tahun 1949  ini merupakan novel yang menceritakan kehidupan seorang tokoh yang bernama Hasan. Hasan di novel ini digambarkan sebagai seseorang yang agamis dan berasal dari keluarga yang agamis pula, namun kepercayaannya terhadap agamanya perlahan memudar semakin berjalannya waktu semenjak pertemuannya dengan seorang pria yang bernama Rusli, sejak saat itulah kehidupan Hasan berubah secara drastis.

Tidak hanya bercerita mengenai Hasan, novel ini juga menceritakan berbagai tokoh disekitar Hasan dengan karakter yang kuat, Achmad K. Mihardja tidak hanya sekadar menambahkan karakter, tetapi juga memberi setiap karakternya latar belakang yang kuat sehingga para pembaca dapat merasakan karakter-karakter yang dituliskan oleh Achmad K. Mihadrja di novel Atheis ini. Dari Hasan yang agamis namun perlahan  terombang-ambing, Rusli yang pandai berbicara dan mempengaruhi, Anwar sang aktivis berjiwa bebas hingga Kartini seorang wanita yang mandiri.

Novel terbitan tahun 1949 ini merupakan novel yang sangat menarik baik dari segi cerita maupun penokohannya, setiap lembarnya seakan mengajak para pembaca untuk memikirkan kembali apa yang selama ini diyakini, yang mana dalam novel ini ditekankan pada segi teisme. Isu yang ditulis di novel ini pun merupakan isu yang jarang dibahas pada novel umumnya, mengingat isu yang ditulis di novel ini merupakan isu yang sukar dibahas karena dianggap tabu. Namun, Achmad K. Mihardja secara berani membawakan hal yang dianggap tabu tersebut yang dikemas dalam novel  berjudul Atheis ini.

Dari segi cover, novel ini memiliki cover yang didominasi oleh warna hijau dengan judul berwarna kuning dan beberapa garis berwarna merah yang nampak seperti bercak darah. Warna hijau disini mempresentasikan agama yang dipeluk oleh Hasan (Agama Islam), karena warna hijau sendiri merupakan warna kesukaan nabi besar Muhammad SAW. Sedangkan warna merah menggambarkan kondisi Hasan yang semakin kehilangan kepercayaan terhadap agama yang dipeluknya.

Secara simbolis, cover dari novel ini  tampak cocok dengan isi novel, terutama setelah membaca buku. Namun Sayangnya, pengguna warna yang pekat dan warna merah yang tampak seperti bercak darah tersebut tentunya akan menyebabkan calon pembaca merasa kurang nyaman dengan tampilan cover mengerikan yang disajikan sehingga memungkinkan calon pembaca memutuskan untuk tidak membacanya. Bisa dibilang cover yang terdapat pada novel ini cenderung dapat terlihat menarik hanya setelah membaca seluruh cerita dari novel ini, sebaliknya cover yang disajikan pada novel ini akan tidak tampak menarik bagi calon pembaca yang tidak tahu sama sekali cerita yang terdapat pada novel ini.

Terlepas dari kekurangannya, novel ini memiliki bahasa yang sangat mudah dipahami walaupun terbit pada tahun 1949, berbeda dari kebanyakan novel yang terbit pada sekitar waktu novel ini terbit. Bahkan walaupun telah lama terbit, isu yang dibawa dalam novel ini merupakan isu yang masih relevan bahkan dalam kehidupan saat ini, 70 tahun setelah novel ini pertama diterbitkan. Begitu pula dengan alur maju mundur yang digunakan oleh Achmad ΔΆ. Mihardja, walaupun menggunakan alur maju mundur yang cenderung sulit untuk dipahami, alur maju mundur dari novel Atheis ini justru sangat mudah dipahami. Penggambaran dari latar dan tokoh di novel ini juga sangat mendetail, apalagi ditambah dengan beragam sudut pandang yang ada menyebabkan pembaca dapat benar-benar mengetahui apa yang dirasakan oleh berbagai karakter dalam novel yang berjudul Atheis ini.

Novel Atheis ini  sangat cocok dibaca karena isu tidak umum yang dibawakannya, serta isi dari cerita yang menyebabkan para pembacanya akan menanyakan kembali segala sesuatu hal yang telah lama dipercayai, terutama bagi para pembaca yang sedang dalam masa pencariannya dalam beragama, novel ini tentu saja akan sangat membantu para pembaca agar tidak meyakini secara dogmatis, melainkan meyakini karena pencarian disertai bukti yang menguatkan kepercayaan dalam agama yang dipeluk.

Kamis, 25 Februari 2021

Budaya Thrifting


Thrifting  merupakan kegiatan memburu pakaian murah/bekas yang bertujuan agar tampil fashionable tanpa mengeluarkan dana yang banyak. Target utama dari thrifting biasanya merupakan pakaian vintage, berbahan dan tampak bagus atau pakaian yang memiliki nilai sejarah.

Penggemar thrifting sendiri pada awalnya kerap dianggap sebelah mata, karena pakaian bekas yang diburu oleh mereka dianggap menjijikkan atau murahan, namun baru-baru ini thrifting justru mulai digandrungi oleh para kawula muda. Bisa dibilang karena terdapat banyak sekali pakaian langka yang terdapat di thrift shop dengan harga miring dan sangat terjangkau. Kakak saya sendiri bahkan mendapatkan official merchandise dari “Adventure Time” dengan harga tidak sampai Rp. 50.000.

Karena terdapat banyaknya pakaian langka tersebut thrifting mulai semakin banyak digemari, tidak hanya untuk dipakai sendiri bahkan juga sebagai ladang bisnis. Contohnya Sunday Market yang digelar di Surabaya Town Square merupakan pasar dari pakaian bekas yang telah disortir dan dibersihkan secara mendetail, kisaran harga di pasar tersebut bermacam-macam dan murah tergantung kualitas pakaiannya. Pakaian yang terdapat di pasar tersebut sejatinya dapat diperoleh jauh lebih murah, jika di Surabaya sendiri lokasi terkenal yang menjadi sasaran utama para penggemar thrifting adalah Tugu Pahlawan atau Gembong, Kedua lokasi tersebut bagaikan surganya penggemar thrifting di Surabaya.

Saya sendiri belum pernah mengunjungi Gembong tetapi sempat melaksanakan thrifting di Tugu Pahlawan  beberapa kali, pakaian yang dijajakan di situ dimulai dari pagi petang. Terdapat banyak sekali merk ternama yang dijajakan di sana dan umumnya merk luar. Pakaian yang sejatinya berharga jutaan rupiah dapat dibeli dengan harga yang sangat miring di lokasi tersebut yaitu puluhan ribu rupiah. 

Terdapat berbagai cara untuk mendapatkan harga termurah dari pakaian yang diincar, salah satunya adalah dengan mengenakan pakaian yang biasa saja, berdasarkan pengalaman saudara saya, terdapat perbedaan besar tergantung pakaian yang dikenakan, contohnya adalah ketika memakai sepatu yang bagus penjual akan menolak menurunkan harga hingga jauh, namun ketika mengenakan sandal jepit penjual akan merasa lebih setara dan proses tawar menawar menjadi lebih nyaman. Ada juga yang menggunakan bahasa daerah sesuai dengan penjual agar mendapatkan harga murah dengan alasan berasal dari daerah yang sama.

Kenyamanan yang diperoleh dari melakukan thrifting tidak hanya pakaian yang diperoleh, tetapi rasa puas ketika mencari dan mendapatkan barang yang diincar merupakan salah satu penunjang mengapa thrifting sangat digemari, apalagi ditambah dengan pandemi yang melanda menyulitkan banyak orang dalam segi finansial, thrifting disini dapat menjadi solusi bagi mereka agar mendapatkan pakaian berkualitas dengan hanya mengeluarkan sedikit dana saja.

TIdak hanya itu, thrifting juga dapat meminimalisir limbah pakaian yang kian tahun kian bertambah, bahkan diperkirakan pada tahun 2050 mendatang limbah yang dihasilkan dari pakaian akan meningkat sebanyak tiga kali lipat. Dengan melakukan thrifting sama saja dengan mendukung gerakan zero waste dalam segi pakaian, selain mendapat keuntungan bagi diri sendiri, kegiatan thrifting juga dapat berperan dalam mengurangi limbah pakaian.

Sayangnya karena menjamurnya kegiatan thrifting baru-baru ini menyebabkan banyak thrift shop yang mulai menyalahi arti dari thrifting itu sendiri, pakaian bekas yang pada awalnya hanya berkisar puluhan ribu mulai sering dijual berkali-kali lipat oleh berbagai thrift shop dengan alasan memiliki nilai sejarah yang berusaha mendapat keuntungan sebesar-besarnya dari pakaian yang dijualnya.

Sabtu, 23 Januari 2021

Resensi : Cerita dari Jakarta


Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Genre : fiksi
Penerbit : Hasta Mitra
Halaman : 206 halaman
ISBN : 979-8659-25-2
    Cerita dari Jakarta merupakan antologi cerita pendek dari Pramoedya Ananta Toer, buku ini berisi sebanyak 12 cerita pendek didalamnya, antara lain : Jongos dan Babu, Ikan-ikan yang Terdampar, Berita dari kebayoran, Rumah, Keguguran Calon Dramawan, Nyonya Dokter Hewan Suharko, Tanpa Kemudian, Makhluk di Belakang Rumah, Maman dan Dunianya, Kecapi, Biangkeladi, dan Gambir. Kumpulan cerita pendek tersebut memiliki kesamaan menceritakan mengenai kehidupan orang-orang di Jakarta. Cerita yang pertama mengenai keturunan hamba turun menurun hingga titik penghabisan, cerita kedua mengenai Idulfitri dan Namun yang sedang kelaparan dan mencari ilham agar bisa makan, cerita ketiga mengenai kehidupan Aminah selepas kabur dari rumah, cerita keempat mengenai obrolan dengan orang Arab, cerita kelima mengenai Hamid sang dramawan, cerita keenam mengenai Suharko dan istrinya, cerita ketujuh mengenai Nana dan pelaku yang menggarongnya, cerita Kedelapan mengenai kehidupan babu, cerita kesembilan mengenai kehidupan Maman selepas kepergian adiknya, cerita kesepuluh mengenai seorang pria dan kehidupannya di masa lampau, cerita kesebelas mengenai Tuan Kariumum yang populer, cerita keduabelas mengenai Hasan si tukang angkut.
     Pramoedya melalui buku ini menunjukkan kemampuannya sebagai penulis cerita pendek, secara umum Pram lebih dikenal melalui karya besarnya, seperti tetralogi pulau buru, namun dengan adanya buku ini dapat menunjukkan bahwa tidak hanya hebat dalam menulis novel namun juga seorang yang ahli dalam menulis cerita pendek. Selain itu, cerita pendek yang terdapat di buku ini juga merupakan karya yang telah ia buat jauh sebelum ia merilis berbagai karya besarnya yang telah banyak dikenal saat ini, dengan kata lain cerita pendek yang terdapat di buku ini merupakan karya yang telah dibuat oleh Pram bahkan sebelum dirinya dikenal secara luas. Salah satu cerita pendek di buku ini yang menarik perhatian saya adalah Maman dan Dunianya, di cerita pendek tersebut digambarkan apa yang mendasari bisnis yang Maman dirikan dan bagaimana hal tersebut berpengaruh terhadapnya. Di cerita tersebut, pengalaman tragis dan kesedihan yang Maman rasakan sejak lama disulap oleh Maman menjadi sesuatu yang membantunya bergerak lebih lanjut, kebaikan yang ia lakukan karena rasa kehilangannya mengarah kembali padanya.
   Cerita Nyonya Dokter Hewan Suharko juga cukup menarik, menceritakan mengenai kehidupan Suharko beserta barang-barang kunonya yang penuh akan kenangan dengan mendiang istrinya. Suharko di cerita ini digambarkan sebagai seseorang yang tidak ingin mengikuti perkembangan zaman dari segi perabotan, yang ternyata ia memiliki alasannya tersendiri mengapa tidak ingin mengganti perabotannya.
    Buku antologi cerita pendek milik Pramoedya ini tidak hanya memiliki cerita mengenai berbagai karakter namun juga berbagai kondisi manusia yang dikemas menjadi 12 cerita pendek tersebut, tidak hanya bercerita mengenai kondisi namun juga alasan mengapa hal tersebut bisa terjadi melalui gaya narasi Pram. Bahkan hingga saat ini pesan yang terkandung dalam berbagai cerita yang terdapat di buku ini masih relevan. Seperti perjalanan bisnis yang dijalani oleh Maman, kecintaan Dokter Suharko terhadap perabotannya yang penuh kenangan, dan kehidupan Hasan sebagai tukang angkut.
   Sayangnya buku yang penuh dengan kosa kata ini juga cukup menyulitkan pembacanya dalam memahami cerita, untuk memahami setiap cerita terkadang pembaca perlu membaca berkali-kali dan mengecek arti dari setiap kosa kata yang belum dikenali. Cover veris Hasta Mitra dari buku ini juga terlihat tidak menarik, karena hanya terdapat tulisan judul dan sub-judul saja dengan latar belakang putih serta tidak diikuti dengan ilustrasi dari berbagai cerita dan sebagainya. Untungnya Hasta Mitra  telah merevisi buku ini dengan mengganti ejaannya agar sesuai dengan ejaan EYD yang berlaku saat ini sehingga memudahkan pembaca dalam memahami cerita, selain itu Hasta Mitra juga memberi apresiasi yang cukup baik dengan menuliskan berbagai karya milik Pramoedya yang pernah diterbitkan serta berbagai penghargaan yang diperolah oleh Pramoedya melalui berbagi karyanya yang pernah diterbitkan.