Rabu, 07 Juli 2021

Sang Penari



Sang penari, merupakan film yang rilis pada 10 November 2011 disutradarai oleh Ifa Isfansyah. Film ini menceritakan mengenai perjalanan dua tokoh Srintil dan Rasus yang diceritakan dengan alur mundur, tidak seperti film romansa pada umumnya, film yang satu ini lebih condong ke arah romansa kelam, yang mana kedua tokohnya memiliki prinsip dan tujuan yang berbeda, Srintil yang tidak inging berhenti menjadi penari ronggeng dan Rasus yang bergabung ke kemiliteran.

Film ini didasari pada novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, yang terbit pada tahun 1982, masa orde baru. Secara adaptasi banyak yang beranggapan film ini cukup berbeda dengan sumbernya, dari segi penceritaan dan kefrontalan dalam menggambarkan suasana didalamnya, terutama disisi pergerakan partai komunis yang tak digambarkan secara eksplisit di novelnya.

Secara meluas, film ini tidak hanya berkisah mengenai romansa antara penari ronggeng dan seorang tentara, namun juga pergerakaan partai komunis. Jika dilihat berdasarkan latar waktunya, film ini berlatar pada tahun 1960-1975 dan dibagi menjadi 3 bagian, pada tahun 1960, 1965, dan 1975. Film ini cukup menggambarkan pergerakan partai komunis dalam skala kecil yaitu didaerah perdesaan, yang mengambil kejadian pra G30SPKI, saat G30SPKI, dan pasca G30SPKI.

Jika mengambil sisi pergerakan partai komunis, film ini menampilkan partai tersebut lebih secara netral, tidak seperti kebanyakan film terkait partai komunis lainnya yang lebih menekankan pada keburukan partai komunis saja, sedangkan film yang satu ini tidak serta-merta menggambarkan adegan dengan pergerakan tersebut dengan penuh darah, namun juga pergerakan-pergerakan lainnya seperti pada saat upaya memerahkan desa Dukuh Paruk.

Disitu terlihat secara jelas peran Bakar sebagai penyebar ajaran partai komunis, walaupun dirinya melakukannya dengan cara manipulatif, seperti dengan memberikan iming-iming bantuan, hingga menanfaatkan warga desa Dukuh Paruk yang buta huruf.

Di film tersebut juga menampilkan budaya leluhur yang justru dapat berujung destruktif, salah satunya yaitu tari ronggeng itu sendiri, seperti apa yang diucapkan berbagai tokoh di film ini berkali-kali yang mana seorang penari ronggeng juga harus bisa mengontrol laki-laki dalam artian bisa memuaskan hasrat seksual laki-laki secara fisik. Kita akan berkali-kali dihadapi dengan tokoh Srintil yang merasa tidak nyaman dengan kondisinya tersebut, karena apa yang diinginkannya adalah menari bukan memenuhi hasrat laki-laki yang tidak dikenalnya, itulah yang menyebabkan pergolakan batin dalam dirinya disepanjang film.

Bagian lainnya adalah kepercayaan mistik warga desa Dukuh Paruk yang sangat mengagungkan makam leluhurnya, dapat kita lihat dalam berbagai adegan, ketika terdapat masalah yang menimpa desa, apa yang mereka utamakan adalah mengunjungi makam tersebut untuk meminta bantuan. Hal ini juga berhubungan dengan kondisi desa Dukuh Paruk yang cukup terisolasi dari dunia luar, tampak dari warganya yang buta huruf dan tidak adanya sekolah yang tampak di film tersebut.

Dari sisi sinematografis, film ini secara sukses menghidupkan cerita didalamnya nampak seperti halnya Indonesia Pada tahun 60an dan 70an, hal tersebut nampak dari penggunaan filter warna yang nampak mentah seperti rekaman film lawas, yang mana tentu akan menyebabkan penonton terbawa dengan suasana pada tahun itu.

Selain itu, penggunaan bahasa daerah di film ini juga semakin membuatnya tampak lebih natural, perpaduan bahasa Jawa dan Indonesia cukup menggambarkan suasana di desa, walaupub tentunya bagi penonton non-Jawa akan cukup kesulitan mencerna arti dari tiap kata yang diucapkan oleh tokoh dalam film ini.

Yang cukup unik  dari film ini adalah berbeda dengan film terkait komunis yang kerap sempat dilarang tayang lainnya, film ini terbebas dari hal tersebut walaupun sempat beberapa kali menampilkan kekerasan dari tentara kepada orang-orang yang dianggap bagian dari PKI.

Ahmad Tohari sebagai penulis Ronggeng Dukuh Paruk mengapresiasi sutradara film ini karena telah secara berani menampilkan adegan-adegan yang sensitif terkait komunis, dan sutradara dari film ini mengatakan bahwa dengan tidak adanya larangan tayang film ini merupakan sebuah kemajuan, jika kita berkaca pada kejadian-kejadian lalu yang mana kerap kali karya yang menampilkan partai komunis dibredel.

Akhir kata, film ini sangat layak ditonton baik sebagai hiburan maupun secara historis, latar dan pergerakan komunis serta budaya yang terdapat di film ini dapat dibilang akurat, sehingga tidak menimbulkan misinformasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar