Sabtu, 21 Agustus 2021

Kejanggalan Pada Arab Spring dan Penguasaan kembali Taliban



  17 Agustus lalu bertepagan dengan hari kemerdekaan Indonesia, Taliban secara berhasil mengambil alih pemerintahan Afghanistan. Kejadian ini tentu menuai banyak pro dan kontra dari berbagai pihak dikarenakan mengingat kondisi pada penguasaan Taliban pada periode sebelumnya (1996-2001) yang dianggap represif. Yang mana pada saat itu diberlakukan berbagai aturan yang mengekang, seperti melarang wanita bekerja dan bersekolah, membatasi pers dan mengatur terkait pakaian.

  Pada periode yang kali ini, cukup banyak dukungan tertuju kepada Taliban jika dibandingkan sebelumnya, hal tersebut dikarenakan janji-janji yang diberikan pada press conference pada 17 Agustus lalu. Beberapa janji yang mendatangkan dukungan adalah janji untuk membebaskan wanita untuk menempuh pendidikan maupun bekerja, serta akan memperbaiki kerjasama antar negara terutama dibidang ekonomi dengan menerapkan ekonomi terbuka. China yang mana merupakan negara yang tidak mengakui berakhir menerima kerjasama tersebut.

  Namun, Amerika sebagai pihak yang sempat menumbas Taliban pada kekuasaan periode sebelumnya menolak mengakui Afghanistan kekuasaan Taliban, dengan dalih kejadian yang terlibat dikekuasaan sebelumnya. Bentuk penolakan dilakukan melalui pemulangan perdana menteri Amerika beserta tentara yang berada disana. Tidak hanya itu bahkan sebelum Taliban mengambil alih kekuasaan Amerika juga turut menekan Taliban dengan berbagai cara kekerasan salah satunya adalah melalui pengeboman.

 Tindakan Amerika yang ikut campur tersebut tidak hanya terjadi di Afghanistan saja, melainkan di berbagai negara Asia lainnya. Salah satu kejadian yang terhangat adalah demonstrasi masyarakat kepada presiden Filipina Duterte terkait tindakan penumpasan bandar narkoba dan tetkait Laut China Selatan pula. Dalam hal ini Amerika tidak berada dalam pihak pemerintahan melainkan masyarakat. Hal ini sekali lagi merupakan suatu keanehan dikarenakan posisi Duterte yang anti-Amerika. Dengan ini Amerika seakan menyetir pandangan masyarakat Filipina yang sebelumnya cendetung anti-Amerika pula.

Salah satu kejadian lainnya yang cukup mirip adalah Arab Spring. Kejadian yang berlangsung sejak 2010 tersebut cukup mirip dengan yang terjadi di Afghanistan baru-baru ini. Tidak hanya karena sama-sama mayoritas islam, namun juga karena keterlibatan Amerika di dalamnya.

Arab Spring merupakan aksi revolusi untuk menumpas kepemimpinan diktator di timur tengah. Yaitu dengan membawa demokrasi. Kejadian ini terjadi di berbagai negara timur tengah, baik Libya, Mesir, Tunisia dan lainnya. Namun, hingga kini aksi-aksi yang berrlangsung sejak 2010 tak kunjung memberikan hasil baik.
Arab Spring berawal dari aksi bakar diri seseorang yang bernama Mohamed Bouazizi di Tunisia sebagai bentuk kekesalan atas pemerintah. Kekesalan yang disampaikannya adalah ketika dirinya dirazia ketika tidak memiliki surat izin berjualan. Berawal dari situ satu-persatu demonstrasi terjadi di Tunisia dan menyebar di negara Arab lainnya.

Korban dari Arab Spring sejauh ini diperkirakan lebih dari 61.000 jiwa. Korban tersebut beberapa ditimbulkan oleh kekerasan kepada demonstran oleh aparat pemerintah. Seperti halnya di Arab saudi.

Pada saat itu di Arab Saudi sendiri terdapat larangan bagi yang melakukan demonstrasi dengan ancaman dipenjara. Namun, yang terjadi justru lebih parah dari hal tersebut, yaitu adanya penyerangan yang bahkan menimbulkan kematian tidak hanya kepada demonstran bahkan terdapat pula kepada jurnalis asal Amerika hingga meninggal.

Anehnya, hal ini tidak mendapat kecaman dari pihak Amerika. Dikutip dari democratics debate di Amerika yang terjadi pada 2018 pemandu debat membawakan hasil bukti dari CIA atas tindakan Arab Saudi kepada jurnalis Amerika tersebut yang bahkan atas persetujuan Raja Salman. Pada saat itu Biden menjanjikan akan memberi tindak keras kepada Arab Saudi.

Pada 2021 di masa kepemimpinannya, Joe Biden mengungkapkan bahwa tidak memberi tindak tegas kepada Arab Saudi, dan bersamaan dengan itu Amerika menyatakan akan melakukan recalibrate dengan Arab Saudi.

Berdasarkan berbagai kejadian diatas kita dapat mengetahui bahwa dalam campur tangan Amerika di suatu konflik tindakan yang diambil kerap bedasar keuntungan pula, seperti halnya pemanfaatan Opium di Afghanistan, campur tangan dalam Laut China Selatan, dan mempertahankan kerjasama dengan Saudi Arabia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar