Minggu, 09 Mei 2021

Resensi : Max Havelaar

Penulis : Multatuli (Eduard Douwes dekker)
Penerbit : Qanita
Halaman : 579 halaman
ISBN : 978-602-1637-45-6

Max Havelaar merupakan novel karya Multatuli merupakan seorang asal Belanda yang bekerja sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda selama 18 tahun. Novel ini merupakan ringkaian pengalamannya selama menjabat di Hindia Belanda, yang mana tecipta karena keresahaannya pada kondisi Indonesia saat itu dengan mengemasnya melalui tokoh Max Havelaar.

Cerita diawali melalui karakter Droogstoppel yang menemukan tulisan milik Sjalman berpotensi untuknya karena banyak berisi mengenai kopi, karena usaha kopi miliknya. Namun, apa yang ditemukannya tidak hanya pembahasan tentang kopi, tapi juga kekajaman tanam paksa yang diterapkan di Hindia Belanda, yang mana meenyebabkan kemelaratan yang tampak menyedihkan.

Novel karya multatuli satu ini dipercaya telah mengubah alur kolonialisme di Indonesia, hal tersebut diucapkan langsung oleh salah satu penulis pamor di Indonesia yaitu Pramoedya Ananta Toer, karena berkat adanya novel ini akhirnya kondisi Indonesia pada saat itu tereekspos di dunia, dan Belanda pun mau tidak mau harus melaksanakan politik balas budi. Berawal dari situ muncul satu persatu pejuang berintelektual Indonesia.

Sayangnya, walaupun sangat bersinggungan langsung dengan perjuangan bangsa, buku ini tidak menjadi kajian wajib di setiap sekolah dan hanya cenderung dikutipkan saja dalam mata pelajaran sejarah sebagai buku yang membantu perjuangan. Berbeda dengan berbagai negara lainnya diluar sana yang mana buku setipe seperti ini dijadikan sebagai kajian wajib di beberapa tingkat pendidikan, bahkan buku yang tidak bersinggungan langsung dengan perjuangan pun banyak pula yang menjadi kajian wajib.

Bahkan buku Max Havelaar ini sendiri selain tidak menjadi kajian wajib, secara sisi penerjamahan juga tidak dilakukan secara optimal, terbukti dari hanya sedikit versi terjemahan bahasa Indonesia dari buku ini dan seluruhnya juga tidak diterjemahkan secara optimal, terbukti dari beberapa bagian yang kurang pas ketika dibaca. Seperti  pada bagian puisi yang  terasa kurang nyaman dibaca karena diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan ala kadarnya, saat dibaca pun terasa kurang  pas.

Secara cerita, buku ini memiliki memiliki cerita menarik dan runtut, namun secara  penokohan terdapat kekurangan  ketika  transisi antara Droogstoppel menuju Max Havelaar yang kemungkinan besar akan  menyebabkan pembaca kebingungan atas transisinya signifikan.

Secara eksternal, Multatuli dapat dipuji keberaniannya dalam mempublikasikan kekejaman yang terjadi di Hindia Belanda, cara penulisannya pun juga tidak dilebih-lebihkan dan berkesan seimbang dengan  menyampaikan fakta apa adanya dari kedua sisi, hal tersebutlah yang menyebabkan buku  ini  secara berhasil diyakini oleh berbagai pihak saat itu, ditambah dengan keberanian Multatuli yang menantang segala pihak jika ada yang merasa apa yang ditulisnya berisi kebohongan, pada akhirnya pun tidak ada satu pihak pun yang menentang keaslian isinya.

Novel  ini sangat layak dibaca oleh siapapun walaupun di luar Indonesia pula, selain karena isinya yang tak lekang oleh waktu, novel ini juga berisi sejarah yang perlu diketahui oleh berbagai pihak karena berisi kekejaman kolonialisme yang mana tidak hanya terjadi di Indonesia saja, melainkan berbagai negara di dunia. Oleh karena itu diharapkan dengan membaca buku ini, pembaca dapat mengetahui keburukan yang ditimbulkan dari kolonialisme secara nyata.

Walaupun hingga saat ini belum menjadi bacaan wajib dan diterjemahkan secara baik di Indonesia, bukan berarti kita harus menghindari novel ini, karena novel ini sendiri  merupakan bagian sejarah penting bagi bangsa kita, yaitu titik balik dari proses kebangkitan bangsa (walaupun hingga saat ini belum mencapai titik kebangkitan), oleh karena itu kita harus mengetahui hal apa yang menjadi pemicunya.

Secara sampul, versi terbitan Qanita ini tampak kurang efektif karena bukan menyorot tokoh utama dari novel ini melainkan tokoh yang tidak memegang peran sentral dalam novel ini, selain itu sampul tersebut kurang memberi gambaran mengenai kondisi Hindia Belanda saat itu, walaupun begitu versi asli dari novel ini juga tak memberikan gambaran jelas mengenai Hindia Belanda saat itu sehingga hal tersebut bukanlah masalah besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar