Senin, 09 Agustus 2021

Resensi : Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan


Penulis : Soe Hok Gie
Genre : non-fiksi
Penerbit : Bentang
Halaman : 319 Halaman

Soe Hok Gie  merupakan mahasiswa hingga dosen di Universitas Indonesia, ia dikenal melalui tulisan-tulisannya yang bernuansa sejarah, hal tersebut bukanlah tanpa alasan dikarenakan dirinya merupakan mahasiswa fakultas sastra. 

Buku ini merupakan versi publikasi dari skripsi Soe Hok Gie, yang terbit pada tahun 1997 dengan pengantar Ahmad Syafii Ma’arif, dan tentunya beserta perbaikan dalam tata bahasa pula. Karena buku yang satu ini adalah karya skripsi Soe Hok Gie, oleh karena itu berisikan hal-hal yang bersifat objektif. Dan fokus dari buku ini adalah gejolak dalam tubuh PKI itu sendiri, dari pra-proklamasi hingga peristiwa pemberontakan Madiun.

Pada buku ini konflik berputar pada internal PKI, dan tokoh-tokoh yang paling sering muncul antara lain, Alimin, Musso, Tan Malaka dan lainnya. Salah satunya adalah pada saat peristiwa pra-proklamasi terutama saat Alimin memutuskan melakukan pemberontakan kepada Belanda, yang mana ditolak tegas oleh Tan Makalaka karena terlalu terburu-buru. Tidak hanya Tan Malaka, bahkan pihak Moskow sendiri pada saat itu menolak keras. 

Permasalahan lainnya adalah kesalahan pemuda Indonesia pada saat itu dalam mengartikan revolusi. Hal itu tergambarkan dari sikap-sikap mereka yang terlalu sembrono dan terlalu cepat mengamini hal-hal yang berbau perlawanan. Salah satunya ada ketika para pemuda menuduh seorang wanita mata-mata hanya dikarenakan memukul ibu tua, padahal fakta sebenarnya sangatlah berbeda dari yang mereka duga, hal tersebut merupakan bentuk sikap mengamini terlalu cepat, dan kurang memandang sisi lain. Begitu pula sikap mengartikan seks bebas sebagai bentuk revolusi, hingga paksaan yang mereka lakukan kepada Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan.

Sikap tersebut bukan berarti telah hilang dari pemuda Indonesia saat ini walaupun pada masa dan kondisi yang sangat berbeda, tidak dapat kita pungkiri, bahkan diantara kita sendiri terlalu terburu-buru dalam melakukan “perlawanan” dalam artian mengambil suatu sikap dalam suatu hal. Serta mengamini segala sesuatu dengan mudahnya. Salah satunya adalah Pancasila, tidak hanya pemuda bahkan orang tua sekali pun banyak yang terlalu mengagungkan Pancasila, tentu bukanlah hal yang burung jika dibarengi dengan pengkajian plus minusnya, namun sayangnya yang kerap kali terjadi hanya bagus-bagusnya saja. Pancasila pun perlahan ibarat sesuatu kekuasaan tertinggi yang tidak bisa diganggu gugat, padahal mau sebaik apa pun pasti ada borok di dalamnya.

Seperti kata Fahrudin Faiz, Pancasila itu bukan kanan, bukan kiri serta bukan tengah pula. Pancasila disesuaikan dengan arah yang diinginkan oleh berkuasa saat itu. Oleh karena itu tidak wajar jika dibilang sempurna.

Jika berdasarkan sampulnya, buku ini cukup menarik, dikarenakan didominasi warna hitam dan merah yang cukup identik dengan komunis serta plakat tanda kekiri dan lurus yang cukup menggambarkan judul dan isinya.

Secara isi, Soe Hok Gie menyampaikannya tidak secara kaku, terlihat dari latar waktu kejadian yang tidak ditempatkan melakui sub-judul, melainkan diselipkan sehingga memiliki sensasi yang cukup mirip dengan membaca novel, hal lainnya adalah minimnya detail kejadian justru menjadi nilai plus dalam buku ini. Karena secara berhasil mengurangi kekakuan isi buku. 

Bagi saya sendiri, buku ini sangat layak di baca terutama sejak pelajar menengah atas, dikarenakan  banyak dari kejadian pada buku ini termasuk dalam kurikulum pelajaran Sejarah pada tahap menengah atas, namun tentunya isi dari buku ini berbeda dengan buku paket yang terlalu banyak kejadian kontroversal di dalamnya, sehingga diharapkan melalui buku ini dapat ditemukan hal yang berbeda dan dapat digunakan sebagai pembanding dengan buku paket sekolah.

Karena kurikulum pelajaran sejarah di sekolah menengah pada saat ini cukup miris, dikarenakan ketakutan berlebih serta trauma atas pemberontakan PKI menyebabkan generasi muda saat ini tidak dapat akses sejarah yang sesungguhnya dari yang diajarkan sekolah. Bersama dengan tulisan ini saya turut berharap akan perbaikan kurikulum pelajaran sejarah pada masa kini, alih-alih membatasi pengetahuan pelajar akan lebih baik jika diungkap faktanya saja asalkan harus disertai dengan pengarahan oleh pendidik pula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar