Selasa, 08 Desember 2020

Resensi : Perempuan di Titik Nol



Penulis : Nawal el-Saadawi
Genre : Non-fiksi
Penerjemah : Amir Sutaarga
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia
Halaman : XIV + 156 halaman
ISBN : 979-461-040-2
   Novel yang ditulis oleh Nawal el-Saadawi ini menceritakan kisah seorang wanita bernama Firdaus, Nawal bertemu dengan Firdaus saat kunjungannya kepenjara dimana Firdaus dikurung sembari menunggu masa hukum matinya atas tindakannya membunuh seseorang, Nawal berusaha beberapa kali untuk mewawancarai Firdaus, namun penolakanlah yang ia dapat, hingga akhirnya pada suatu waktu Nawal menyerah dan memutuskan berhenti mencoba mewawancarai Firdaus, namun yang terjadi justru Firdaus akhirnya setuju dan menyuruh Nawal masuk kedalam selnya, di dalam sel penjaga Firdaus, Nawal merasa terkejut dengan suasanya di dalam sel tersebut, hingga akhirnya Firdaus menceritakan masa hidupnya hingga alasan mengapa ia membunuh seseorang.
   Firdaus disini adalah seorang wanita pekerja seksual yang sudah tidak lagi percaya dengan pria, penyebab utama mengapa ia tidak percaya dengan pria adalah lingkungannya sejak kecil, ia memiki ayah yang sangat kasar dan lebih sayang anak laki-lakinya, saudara Firdaus banyak dan satu persatu mati karena penyakit, jika saudara perempuannya mati, ayah akan menyantap makan malamnya, ibu akan membasuh kakinya, kemudian ia akan pergi tidur, seperti setiap malam. Apabila yang mati itu seorang anak laki-laki, ia akan memukul ibu, kemudian makan malam dan merebahkan diri untuk tidur. Pada saat kecil pamannya juga melecehkannya tanpa Firdaus sadari karena usianya saat itu yang masih sangat belia, dan pertemuannya dengan beberapa orang yang berujung memanfaatkan tubuhnya juga menjadi salah satu faktor mengapa ia tidak lagi percaya dengan pria manapun.
    Novel ini sangat menggambarkan kondisi wanita di timur tengah yang mana kedudukannya lebih rendah dari seorang pria, seorang istri digambarkan harus sangat patuh pada suaminya, dan harus mengikuti segala ucapan suaminya, bahkan ketika Firdaus kabur kerumah pamannya ketika mendapati kekerasan fisik dari suaminya, sang pamannya justru berkata bahwa hal tersebut sangatlah wajar, bahkan pamannya berkata juga demikian. Hingga akhirnya Firdaus pun memilih menjadi pelacur yang ia rasa lebih bebas daripada menjadi istri yang dipenjarakan oleh suaminya, sebagai pelacur ia merasa lebih bebas dalam menentukan kapan ia mau bekerja dan mendapatkan pendapatan atas dirinya sendiri.
  Beberapa tahun sebelum merilis Perempuan di Titik Nol, Nawal pada awalnya bekerja sebagai Direktur Pendidikan dan Kesehatan, Pemimpin Redaksi majalah kesehatan, namun ia dipecat dari posisinya ketika merilis “Woman and Sex” pada tahun 1972. Pasca dipecat ia bekerja sebagai psikiater dan sempat bertugas di penjara Qanatir yang pada akhirnya melahirkan buku Perempuan di Titik Nol.
   Perempuan di Titik Nol sendiri pada awalnya banyak mengalami penolakan daro berbagai penerbit karena konten didalamnya, berkat perjuangan Nawal novel tersebut akhirnya bisa terbit, di Indonesia sendiri novel ini di terbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia, sejatinya sastra Arab di Indonesia kurang dikenal dan hanya sedikit yang di terjemahkan kebahasa Indonesia, alasan Yayasan Obor Indonesia menerjemahkan Perempuan di Titik Nol ke bahasa Indonesia selain untuk mengenalkan sastra Arab ke Indonesia, juga karena di Indonesia sendiri permasalahan serupa di novel tersebut juga kerap terjadi, seperti seorang istri masih belum sepenuhnya dapat dilindungi dari poligami tanpa persetujuan sang istri, lembaga-lembaga di Indonesia juga masih didominasi oleh pria. Pembantupun sebagian besar adalah seorang wanita, mereka bahkan kurang mendapat haknya dan menerus bekerja sebagai pembantu hingga penghujung hidup mereka.
   Terlepas dari diskriminasi terhadap kaum wanita, di novel ini penggambaran pria sangatlah digambarkan sebagai mahluk yang serakah dan kejam, novel ini hanya menyorot keburukan pria dan seakan mencuci otak para pembaca agar membenci pria, sangat memojokkan kaum pria yang mana seharusnya digambarkan juga kebaikannya.
   Secara keseluruhan novel ini sangat menarik untuk dibaca dan dapat memberikan gambaran seorang pekerja seksual dari sudut pandangnya sendiri serta kekerasan terhadapt wanita dari sudut pandang korban, namun yang kurang dari novel ini adalah penggambaran pria oleh penulis yang terkesan sangat kejam dan serakah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar