Jumat, 11 Desember 2020

Resensi : Bumi Manusia


Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Genre : fiksi
Penerbit : Lentera Dipantara
Halaman : 551 Halaman
ISBN : 978-979-97312-3-4
   Buku pertama dari tetralogi pulau buru ini menceritakan kisah Minke seorang pribumi siswa HBS yang mengagumi ratu yang cantik, pada suatu kesempatan ia ditantang oleh kawannya yang bernama Robert Suurhof untuk mendatangi seseorang yang cantik bernama Annelies. Pertemuannya dengan Annelies dan Nyainya yang bernama Ontosoroh tersebut mengubah kehidupannya secara sepenuhnya dan  ia menghadapi berbagai masalah yang dihadapi mereka bersama-sama.
    Buku ini ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer saat menjadi tahanan orde baru di pulau buru karena pada saat itu Pram memiliki hubungan dengan Lekra, organisasi yang menganut sayap kiri dan berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mana sangat dilarang saat itu. Pada masa tahanan Pram di pulau buru ia menulis tetralogi buku dan yang pertama adalah Bumi Manusia. Bumi Manusia sendiri pernah dilarang beredar pada masa orde baru oleh Mahkamah Agung karena dianggap menyebarkan ideologi Komunis, sedangkan buku ini sendiri sama sekali tidak menyinggung ideologi Komunis, bisa dibilang keputusan pelarangan tersebut merupakan keputusan yang sangat tidak berdasar. Banyak yang menganggap keputusan pelarangan tersebut karena pemerintah pada saat itu takut dengan pandangan-pandangan Pram yang bisa saja meruntuhkan pemerintahan saat itu.
    Buku ini juga pernah difilmkan pada tahun 2019 dan disutradarai oleh Hanung Bramantyo, Hanung sendiri telah lama memimpikan menyutradarai film yang berdasarkan buku Pram tersebut, ia bercerita bahwa pada saat umur 17 tahun ia membaca buku ini secara sembunyi-sembunyi karena pada saat itu buku tersebut masih dilarang peredarannya. Soesilo Toer sendiri selaku adik Pram mengatakan bahwa Hanung merupakan orang yang pemberani, karena berani mengadaptasi buku Bumi Manusia kedalam format film.
   Tokoh utama buku ini, Minke merupakan seorang pribumi yang sangat nasionalis, namun ia sering dianggap terlalu mengagunggkan bangsa Eropa. Sepanjang ceritanya ia memperjuangkan haknya sebagai pribumi yang mana dibatasi dan dianggap rendah, secara perlahan berkat perjuangannya dan usahanya ia akhirnya dapat membuktikan bahwa dirinya dapat bersanding dengan para bangsa Eropa. Terdapat pula berbagai tokoh lainnya yang sangat memberi kesan bagi para pembacanya.
   Tokoh yang paling mengesankan bagi saya pribadi adalah Nyai Ontosoroh, ia merupakan gundik yang dijual oleh orang tuanya saat kecil, Nyai Ontosoroh membuktikan walaupun ia seorang Gundik ia dapat membuktikan bahwa dirinya dapat berdiri dengan kakinya sendiri, ucapannya yang paling saya ingat adalah “Jangan sebut aku perempuan sejati jika hidup hanya berkalang lelaki” dapat dilihat di buku tersebut bahwa walaupun ia seorang perempuan sekaligus seorang gundik, ia dapat membangun perusahaannya sendiri dengan jerih payahnya, ia juga telah mematahkan pandangan orang mengenai gundik. Selain itu, sebagai pribumi yang tidak pernah bersekolah, ia merupakan orang yang terpelajar, karena ia membiasakan dirinya membaca setiap saat.
   Buku ini juga telah membuka pandangan saya mengenai masa kolonialisme, di buku ini digambarkan bahwa tidak semua banga Eropa memandang rendah pribumi, ada beberapa diantara mereka yang tidak memandang kedudukan pribumi, dan lebih memandang kemampuan, contohnya adalah guru Minke yang bernama Juffrouw Magda Peters, ia tidak peduli dengan fakta bahwa Minke adalah pribumi, yang ia lihat dalam diri Minke adalah kemampuannya.
    Kelebihan buku ini adalah pembahasannya yang sangat cocok dibaca kalangan remaja, baik Siswa SMA atau Mahasiswa, karena buku ini menggambarkan tokoh pribumi yang nasionalis, dari tokoh tersebut pembaca dapat berkaca dan belajar melalui tokoh tersebut, selain itu buku ini juga berhasil memberikan gambaran baru seorang gundik pada para pembacanya, yang mana umumnya banyak anggapan yang mengatakan bahwa gundik tidak berpendidikan dan tidak dapat berdiri sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar