Sabtu, 19 Desember 2020

Resensi : Anak Semua Bangsa


Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Genre : Fiksi
Penerbit : Hasta Mitra
Halaman : 413
ISBN : 979-8659-13-9
  
   Buku ini merupakan bagian kedua dari tetralogi Pulau Buru, atau lebih tepatnya lanjutan dari buku Bumi Manusia. Berlatar waktu tak jauh setelah buku pertama selesai, buku pertama sendiri berputar pada usaha Minke, Nyai Ontosoroh dan Annelies dalam menegakkan haknya sebagai pribumi, sedangkan buku kedua “Anak Semua Bangsa” fokus cerita lebih terbagi keberbagai tokoh dan permasalahannya, Minke disini berperan sebagai penghubung satu tokoh ketokoh lainnya, serta perjuangannya dalam lebih mengenal bangsanya sendiri.
   Dibuku ini, latar tempat lebih bervariasi jika dibandingkan buku sebelumnya yang sebagian besar cerita berputar di Wonokromo. Buku ini sendiri dibuka dengan surat Panji Darman yang menceritakan dirinya semasa menuju Nederland, surat tersebut berisi berbagai rasa ketidakberdayaan Panji Darman dan ketidaksukaannya terhadap orang-orang Nederland yang apatis
    Setelah mendapati surat tersebut, Minke kembali ke sehariannya bekerja, membaca dan menulis. Namun, ada kejadian yang berbeda terjadi, tak selang lama setelah kembali pada kesehariannya, terdapat ucapan dari kedua kawannya yang mengganjal dalam dirinya, ucapan tersebut berlawanan dengan apa yang Minke yakini, tetapi berkat ucapan yang dilontarkan oleh mereka akhirnya Minke mulai berusaha mengenal bangsanya sendiri.
     Pada awalnya, Minke berusaha mengenal bangsanya dengan memerhatikan sekelilingnya, ia tersadarkan bahwa hingga hal yang dirasa terkecilpun ia tidak mengetahuinya, akhirnya ia melakukan tindakan dengan mengunjungi sebuah tempat yang cukup jauh, disana ia akhirnya mulai mempelajari apa yang telah dilalui bangsanya sendiri, ia mulai merasakan  ketidak adilan yang selama ini tidak benar-benar ia ketahui, hingga akhirnya iapun penuh rasa percaya diri mulai mengenal bangsanya sendiri, kebenciannya kepada Nederland juga semakin meningkat saat itu.
   Buku ini juga menceritakan Minke yang perlahan mulai menyadari kesombongannya sebagai lulusan H.B.S, matanya akhirnya terbuka akan pengetahuan-pengetahuan yang tidak ia pelajari selama bersekolah di H.B.S pandangannya akan seseorang yang tidak menempuh pendidikan juga berubah, ia tidak lagi terpaku dengan tingkat tingginya seseorang bersekolah, ia Perlahan mulai mendengar perkataan dari seseorang yang dirasa pendidikannya lebih rendah dari dirinya.
   Secara tidak langsung buku ini juga mengajarkan pada para pembaca agar tidak terlalu percaya diri atau terlalu merasa rendah. Serta buku ini juga mengangkat berbagai isu yang hingga saat tulisan ini dibuat masih saja terjadi, seperti isu pernikahan paksa demi kelancaran jabatan, kebanggaan berlebihan terhadap budaya asing, serta kurangnya kesadaran akan lingkungan sendiri.
     Selain ceritanya yang menarik, buku Ini juga memiliki cover yang menarik, berbeda dengan buku sebelumnya versi terbitan Lentera Dipantara yang memiliki cover Berisikan: Minke, Darsam, Annelies dan Nyai Ontosoroh, di cover buku kedua versi Hasta Mitra ini memiliki cover yang hanya berisikan Minke dan latar berbagai pribumi yang sedang berkumpul. Di cover kedua tersebut berkesan bahwa Minke yang berpakaian ala Eropa tersebut mulai memandang kedepan, mengamati bangsanya sendiri seperti yang digambarkan di latar cover tersebut.
   Penerbit dari buku ini, Hasta Mitra juga mencantumkan ulasan internasional terhadap tetralogi Pulau Buru, karya lain dari Pramoedya Ananta Toer dan penghargaan yang telah didapatkannya, yang menurut saya sendiri merupakan tindakan apresiasi yang sangat baik oleh penerbit Hasta Mitra terhadap penulis buku ini Pramoedya Ananta Toer. Selain itu, pada kalimat pembuka juga terdapat ucapan dari penerbit bahwa buku ini diterbitkan pada masa buku ini dilarang terbit oleh pemerintah. Tindakan dari penerbit Hasta Mitra sangat patut diberi apresiasi karena walaupun telah dapat tekanan dari pemerintah, mereka tetap secara berani menerbitkan buku yang dilarang secara sembrono oleh pemerintah.
   Kekurangan dari buku ini sendiri adalah bahasanya yang terkesan kuno, dan dominasi narasi secara berlebihan  mengalahkan dialog yang mana menyebabkan cerita kurang hidup. Serta banyaknya kisah berbagai tokoh dibuku ini mengakibatkan pembaca harus mengingat kembali kisah-kisah tersebut karena nantinya juga akan berhubungan dengan cerita utama, yaitu kisah dari Minke itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar