Jumat, 25 Desember 2020

Resensi : Jejak Langkah


Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Genre : fiksi
Penerbit : Lentera Dipantara
Halaman : 724
ISBN : 979-97312-5-9

    Buku ini merupakan bagian ketiga tetralogi Pulau Buru. Berbeda dari buku sebelumnya, buku ini lebih menampakkan banyak sosok pejuang yang memang ada, seperti Kartini, Soetomo, dan juga secara tidak langsung membeberkan nama asli Minke, yaitu Tirto Adhi Soerjo. Tirto Adhi Soerjo merupakan bapak pers nasional berkat usahanya dalam membela hak pribumi melalui tulisan dan korannya. Selain itu, dibuku ini juga diceritakan berbagai organisasi yang memang benar-benar ada seperti Boedi Oetomo dan Syarikat Dagang Islam.
    Perjuangan Minke dibuku ini sangat berbeda dengan buku sebelumnya, jika dibuku sebelumnya fokus karakter lebih terbagi, dibuku ini Minke lebih menjadi fokus utamanya. Selain itu, pada akhirnya dibuku ini Minke berhasil berjuang dengan caranya sendiri yang telah lama ia mimpikan, dia tidak lagi berada ditahap mengenal bangsanya sendiri, melainkan telah memasuki tahap memperjuangkan nasib bangsanya sendiri. Tentu saja perjuangan Minke tidak selalu berjalan mulus, tetap ada beberapa hal yang menghambatnya. Namun, kali ini Minke tidak hanya berjuang sendiri, dirinya semakin berubah sehingga ia dapat lebih mempercayai orang lain dan mau meminta bantuan orang lain.
     Perlahan Minke menjadi orang yang lebih berorganisir, dan mulai mengerti cara terbaik untuk membela hak pribumi, apalagi dengan berbagai bantuan yang ia dapatkan dari berbagai orang. Ia juga semakin meninggalkan kekaguman berlebihannya terhadap bangsa eropa dan lebih memperhatikan bangsanya sendiri. Ia juga menjadi semakin berani dan mengambil tindakan yang lebih hati-hati dalam membela bangsanya sendiri, seperti dengan upayanya membuka kolom keluhan-keluhan berbagai pribumi, namun dengan cara tidak terang-terangan menyerang, melainkan secara tersirat.
     Orang-orang yang berada di sekitar Minke juga berubah, tidak hanya pribumi saja, namun juga Indo, maupun totok. Sehingga Minke dapat mengetahui berbagai hal dari berbagai pandangan dan berbagai sisi, sehingga ia dapat melakukan penyelesaian secara lebih baik dan terhormat. Sehingga dirinya semakin dihormati bahkan walaupun ia hanya seorang pribumi.
   Cover versi penerbit Lentera Dipantara dari buku ini juga cukup menarik, dicover tersebut terdapat Minke yang sedang menyusun koran Medan-prijaji yang mana merupakan media yang membantunya dalam membela hak pribumi, serta terdapat segerombolan orang berkumpul yang dapat menggambarkan organisasi di buku ini.
    Seperti buku sebelumnya yang juga versi terbitan Lentera Dipantara, dihalaman belakang terdapat juga berbagai penghargaan dan ulasan dari berbagai media besar untuk Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer ini. Hal tersebut merupakan keputusan yang bagus, terutama sebagai bentuk apresiasi terhadap Pramoedya Ananta Toer.
    Buku ini sangat cocok dibaca bagi kalangan pelajar Sekolah Menengah Atas maupun Mahasiswa, karena dibuku ini terdapat banyak sekali cerita mengenai berbagai organisasi dan dunia jurnalistik, sangat cocok apalagi bagi yang ingin menggeluti atau mempelajari dunia jurnalistik, karena buku ini lumayan menitik beratkan pada perjuangan melalui jurnalistik, serta Minke sendiri merupakan tokoh yang terinspirasi dari Tirto Adhi Soerjo yang mana merupakan bapak pers nasional. Sehingga kita juga dapat mempelajari berbagai organisasi dan tokoh di Indonesia melalui sudut pandang Pramoedya Ananta Toer. Selain itu, karena banyaknya organisasi dan tokih dibuku ini yang berdasarkan organisasi dan tokoh yang benar-benar ada, juga dapat menyebabkan pembaca dapat lebih mengetahui organisasi dan tokoh-tokoh yang terdapat dibuku ini, apalagi buku ini ditulis oleh seseorang yang telah lama menggeluti dunia organisasi dan ikut serta diberbagai organisasi.
   Namun, buku ini juga memiliki berbagai kekurangan, yaitu bahasanya yang masih saja terkesan kuno dan kurang cocok dengan saat ini. Selain itu, dibeberapa bab, cerita lebih didominasi dengan narasi yang panjang dan berbagai surat dari dari berbagai orang yang menyebabkan pembaca harus sangat teliti ketika menbaca surat satu persatu. Serta semakin banyaknya tokoh yang bertambah semakin berjalannya cerita, baik tokoh penting maupun tokoh sekedar lewat menyebabkan pembeca kesusahan setiap tokoh yang sangat banyak tersebut.

Rabu, 23 Desember 2020

Negara dan Masalah Sosial


   Hari ini saya mendapatkan pengetahuan baru mengenai 2 negara yang sebelumnya belum saya ketahui dan ada juga yang tidak saya sadari. Pengetahuan tersebut saya dapatkan dari seolah teman dosen saya yang hari ini dosen saya undang untuk menyampaikan pengalamannya, kebetulan mata kuliah saya ini berhubungan dengan kultur berbagai negara. Teman dosen saya ini pernah tinggal di Jerman selama 9 bulan dengan tujuan menjalankan beasiswa yang ia dapatkan mengenai sastra dan budaya, dan ia juga pernah tinggal di Australia entah seberapa lama.
   Pertama, ia menceritakan pengalamannya saat di Jerman, pada saat itu ia tiba pada musim dingin, dan ternyata perkiraannya  mengenai suhu disana salah besar yang ia rasakan jauh lebih dingin dari yang ia perkirakan padahal ia sudah mengetahui berbagai info mengenai musim dingin di Jerman. Cerita itu membuat saya cukup teringat dengan apa yang saya lakukan beberapa minggu yang lalu saat mengelilingi surabaya. Ternyata memang benar, terdapat perbedaan besar antara sekedar mengetahui dari orang lain serta tidak pernah mengalaminya secara langsung dengan mengetahuinya secara langsung melalui pengalaman sendiri. Karena apa yang kita sekedar ketahui dari orang lain, kita tidak dapat memperkirakannya sendiri melalui berbagai indra tubuh, maksimal mengamati foto atau video saha. Sedangkan jika mengalaminya secara langsung, akan sangat berbeda karena merasakannya sendiri dengan seluruh indra tubuh.
    Pada bulan pertama di Indonesia, ia merasa sangat senang karena dapat menikmati pemandangan jerman terutama bangunannya yang datang dari berbagai zaman bahkan ada yang berasal dari abad ke-17, serta terdapat banyak sekali orang dari berbagai ras, sehingga ia merasa lebin nyaman dan tak merasa terkucilkan, namun pada bulan kedua ia mengalami culture shock, terutama dalam masalah bahasa, berhubung ia tinggal di rumah teman Jermannya yang berada di desa, ia jarang menemui orang yang berbahasa inggris seperti di kota Jerman. Akhirnya, ia terpaksa membuka kamus secara terus menerus dan menyusun kata terlebih dahulu sebelum bertanya mengenai berbagai hal atau membeli sesuatu. Tidak berbeda jauh dengan di Indonesia, yang mana kemungkinan besar pengguna bahasa inggris berada di kota dibandingkan di desa.
   Setelah merasa cukup menceritakan Jerman, ia lanjut bercerita sedikit mengenai Australia, berbeda dengan di Jerman, di Australia ia tidak mengalami kesusahan dalam komunikasi, karena bisa dibilang orang Australia bahasa utamanya bahasa Inggris, walaupun berdasarkan yang saya ketahui bahasa Inggris Australia cukup berbeda dengan bahasa Inggris Amerika atau British. Berbeda dengan Jerman, ia tidak menemui banyak orang dari berbagai ras di Australia. Berdasarkan perkiraannya salah satu penyebabnya adalah karena Australia masih tergolong negara baru seperti Indonesia jadi memerlukan waktu dalam beradaptasi dengan orang dari berbagai ras. Sedangkan Jerman sudah ada sejak lama, dan juga karena banyak orang Jerman yang merasa bersalah dengan apa yang mereka lakukan saat Perang Dunia kedua (contoh : Holocaust) sehingga orang Jerman berusaha menerima berbagai orang dari mana saja tanpa memandang ras. Berbeda juga dengan Indonesia yang masih ada saja beberapa orang yang mengolok-olok ras lainnya, tidak usah jauh-jauh dengan yang di luar negeri, yang berasal dari negeri sendiri saja masih ada yang diolok-olok.
   Sungguh cerita yang menarik, dan juga berisi berbagai pengetahuan baru, bahkan berkat itu saya menjadi lebih tertarik dengan Jerman, saya harap nantinya saya dapat menginjakkan kaki disana juga.

Selasa, 22 Desember 2020

Pandangan Buruk Terhadap Musik Cadas


     Musik cadas kerap kali diasosiasikan dengan pemuja setan dan berbahaya. Saya rasa stereotip tersebut akan terus tertanam selama masih ada yang tidak mau memahami lirik dari berbagai lagu band cadas, mungkin akan lebih lama dari masa jabatan Kim Jong Un. Sebagai seorang penikmat musik cadas, tentu saja saya merasa sangat gelisah dengan stereotip tersebut. Hingga akhirnya saya memutuskan menumpahkan aspirasi saya pada tulisan ini.
   Kecintaan saya sendiri terhadap musik cadas telah berkembang sejak saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Yang mendasari kecintaan saya adalah band  yang saya temukan secara tidak sengaja, yaitu Megadeth. Pernah pada suatu saat saya mendengarkan salah satu lagu Lamb of God yang berjudul Symphony of Destruction, saat itu ada yang berkata bahwa saya mendengarkan lagu satanis. Saya tertawa kecil saat itu, karena lagu yang saya dengarkan  tersebut “Symphony of Destruction” memiliki lirik yang sama sekali tidak ada unsur satanisme, justru lagu tersebut memiliki lirik yang menceritakan seorang pemimpin yang dikendalikan oleh suatu organisasi, serta tidak hanya mengenai pemimpin tersebut tapi juga pengikutnya yang mendewakannya hingga dapat menyebabkan kehancuran, sesuai dengan judul lagunya “Symphony of Destruction. Sehubungan dengan hal tersebut, banyak sekali yang beranggapan musik cadas adalah musik satanis juga karena pengaruh ucapan seseorang yang menyebabkam satu persatu orang ikut beranggapan demikian tanpa mengetahui faktanya.
    Sebenarnya apa sih yang menyebabkan musik cadas mendapatkan stigma negatif?, kemungkinan besar karena nada yang digunakan dan teriakan yang dilontarkan oleh sang vokalis band cadas, teriakan tersebut akan cenderung dianggap buruk bagi bukan penikmat musik cadas. Selain itu, banyak sekali band cadas yang berpenampilan serba hitam dan beratribut dengan berbagai hal yang berhubungan dengan kematian seperti tengkorak dan sebagainya. Padahal, dibalik teriakan-teriakan dan penampilan serba hitam tersebut tersebut terdapat lirik yang penuh arti dan tentunya tidak selalu mengenai pemujaan setan dan hal-hal yang kejam. Berbagai lagu cadas bahkan membahas berbagai hal yang mungkin tidak banyak orang sadari, seperti kritik  yang diungkap oleh Megadeth melalui “ Symphony of Destruction”, Slipknot melalui “Psychosocial”, atau System of a Down melalui “Toxicity” yang menceritakan mengenai pedihnya kehidupan di Armenia. 
    Memang benar ada band musik cadas yang secara terang-terangan menganut satanisme, tapi benarkah dengan demikian musik cadas dapat diasosiasikan dengan satanisme?, saya rasa tidak  karena bisa dibilang hanya sebagian kecil dari band cadas yang menganut satanisme. Bahkan cukup  banyak band cadas yang anti-satanis, seperti band Tengkorak yang justru menyuarakan kecintaan terhadap agama islam, mereka juga kerap memasukkan nuansa-nuansa islami kedalam lagu-lagu mereka.
   Banyak sekali band cadas yang tidak hanya membuat lagu hanya untuk didengarkan saja, namun juga untuk wadah kritik mereka dan kegiatan amal. Seperti Rage Against The Machine,  lagu-lagu yang mereka nyanyikan penuh dengan kritikan terhadap pelaku rasisme terutama polisi. Rage Against The Machine juga pernah mengadakan konser dan menyumbangkan hasil pendapatan tiketnya untuk memerangi kapitalisme. Namun, tetap saja ada yang beranggapan buruk terhadap musik cadas dan penikmatnya.
    Saat para penikmat musik cadas menikmati konser secara langsung pun juga kerap kali ada saja yang merasa takut dan beranggapan buruk, sekumpulan penikmat cadas ketika mendatangi konser cenderung akan dihindari oleh orang lain, karena anggapan sekilas mereka terhadap pakaian penikmat musik cadas yang seakan-akan memberi kesan berbahaya. Begitu juga dengan gerakan-gerakan yang dilakukan penikmat musik cadas saat menikmati konser, seperti headbang. Banyak yang beranggapan gerakan tersebut seperti kesetanan, padahal mereka hanya mengikuti irama dari musik yang mereka dengarkan, tidak ada bedanya dengan penikmat musik dangdut yang menari mengikuti irama musik dangdut. Selain Headbang ada juga crowdsurf, saking buruknya anggapan terhadap gerakan tersebut, sampai-sampai dibeberapa konser gerakan tersebut dilarang keras. Mereka beranggapan bahwa gerakan tersebut sangat membahayakan karena melempar-lempar orang yang melakukan crowdsurf seacara sembarangan. Faktanya, crowdsurf tidak dilakukan dengan melempar-lempar, lebih tepatnya mengoper, entah menuju kepinggir atau kebelakang agar saling bergantian. Saat turun pun juga tidak langsung dijatuhkan, tapi diturunkan secara perlahan melalui kaki terlebih dahulu. Saya sendiri pernah melakukan crowd surf dan saya tidak terluka sedikit pun seusai melakukannya. 
   Sebenarnya banyak sekali penikmat musik cadas yang berkebalikan dengan anggapan orang awam terhadap penikmat musik cadas.  Salah satu contohnya adalah  presiden kita, Jokowi. Pak Jokowi merupakan seorang penikmat musik cadas bahkan jauh sebelum ia menjabat sebagai presiden. Pak Jokowi mengaku menyukai band cadas, seperi Lamb of God, Deep Purple dan Sepultura. Ia bahkan telah menyukai musik cadas semenjak duduk di bangku Sekolah menengah pertama, bahkan saat duduk di bangku sekolah menengah atas ia menggondrongkan rambutnya guna mengikuti tren para penikmat musik cadas saat itu. Lalu, apakah lantas pak Jokowi dapat dikatakan memuja setan dan berbahaya?, tentu saja tidak. Ia merupakan seorang yang agamis dan berpendidikan, sangat berbanding terbalik dengan stereotip orang awam terhadap penikmat musik cadas.
   Pada akhirnya, musik cadas tidak dapat dicap sebagai musik pemuja setan dan berbahaya. Karena realitanya banyak sekali band cadas yang sama sekali tidak menyinggung perihal satanisme, begitupula dengan penikmatnya yang ternyata sangat berkebalikan dengan stereotip tersebut.

Sabtu, 19 Desember 2020

Resensi : Anak Semua Bangsa


Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Genre : Fiksi
Penerbit : Hasta Mitra
Halaman : 413
ISBN : 979-8659-13-9
  
   Buku ini merupakan bagian kedua dari tetralogi Pulau Buru, atau lebih tepatnya lanjutan dari buku Bumi Manusia. Berlatar waktu tak jauh setelah buku pertama selesai, buku pertama sendiri berputar pada usaha Minke, Nyai Ontosoroh dan Annelies dalam menegakkan haknya sebagai pribumi, sedangkan buku kedua “Anak Semua Bangsa” fokus cerita lebih terbagi keberbagai tokoh dan permasalahannya, Minke disini berperan sebagai penghubung satu tokoh ketokoh lainnya, serta perjuangannya dalam lebih mengenal bangsanya sendiri.
   Dibuku ini, latar tempat lebih bervariasi jika dibandingkan buku sebelumnya yang sebagian besar cerita berputar di Wonokromo. Buku ini sendiri dibuka dengan surat Panji Darman yang menceritakan dirinya semasa menuju Nederland, surat tersebut berisi berbagai rasa ketidakberdayaan Panji Darman dan ketidaksukaannya terhadap orang-orang Nederland yang apatis
    Setelah mendapati surat tersebut, Minke kembali ke sehariannya bekerja, membaca dan menulis. Namun, ada kejadian yang berbeda terjadi, tak selang lama setelah kembali pada kesehariannya, terdapat ucapan dari kedua kawannya yang mengganjal dalam dirinya, ucapan tersebut berlawanan dengan apa yang Minke yakini, tetapi berkat ucapan yang dilontarkan oleh mereka akhirnya Minke mulai berusaha mengenal bangsanya sendiri.
     Pada awalnya, Minke berusaha mengenal bangsanya dengan memerhatikan sekelilingnya, ia tersadarkan bahwa hingga hal yang dirasa terkecilpun ia tidak mengetahuinya, akhirnya ia melakukan tindakan dengan mengunjungi sebuah tempat yang cukup jauh, disana ia akhirnya mulai mempelajari apa yang telah dilalui bangsanya sendiri, ia mulai merasakan  ketidak adilan yang selama ini tidak benar-benar ia ketahui, hingga akhirnya iapun penuh rasa percaya diri mulai mengenal bangsanya sendiri, kebenciannya kepada Nederland juga semakin meningkat saat itu.
   Buku ini juga menceritakan Minke yang perlahan mulai menyadari kesombongannya sebagai lulusan H.B.S, matanya akhirnya terbuka akan pengetahuan-pengetahuan yang tidak ia pelajari selama bersekolah di H.B.S pandangannya akan seseorang yang tidak menempuh pendidikan juga berubah, ia tidak lagi terpaku dengan tingkat tingginya seseorang bersekolah, ia Perlahan mulai mendengar perkataan dari seseorang yang dirasa pendidikannya lebih rendah dari dirinya.
   Secara tidak langsung buku ini juga mengajarkan pada para pembaca agar tidak terlalu percaya diri atau terlalu merasa rendah. Serta buku ini juga mengangkat berbagai isu yang hingga saat tulisan ini dibuat masih saja terjadi, seperti isu pernikahan paksa demi kelancaran jabatan, kebanggaan berlebihan terhadap budaya asing, serta kurangnya kesadaran akan lingkungan sendiri.
     Selain ceritanya yang menarik, buku Ini juga memiliki cover yang menarik, berbeda dengan buku sebelumnya versi terbitan Lentera Dipantara yang memiliki cover Berisikan: Minke, Darsam, Annelies dan Nyai Ontosoroh, di cover buku kedua versi Hasta Mitra ini memiliki cover yang hanya berisikan Minke dan latar berbagai pribumi yang sedang berkumpul. Di cover kedua tersebut berkesan bahwa Minke yang berpakaian ala Eropa tersebut mulai memandang kedepan, mengamati bangsanya sendiri seperti yang digambarkan di latar cover tersebut.
   Penerbit dari buku ini, Hasta Mitra juga mencantumkan ulasan internasional terhadap tetralogi Pulau Buru, karya lain dari Pramoedya Ananta Toer dan penghargaan yang telah didapatkannya, yang menurut saya sendiri merupakan tindakan apresiasi yang sangat baik oleh penerbit Hasta Mitra terhadap penulis buku ini Pramoedya Ananta Toer. Selain itu, pada kalimat pembuka juga terdapat ucapan dari penerbit bahwa buku ini diterbitkan pada masa buku ini dilarang terbit oleh pemerintah. Tindakan dari penerbit Hasta Mitra sangat patut diberi apresiasi karena walaupun telah dapat tekanan dari pemerintah, mereka tetap secara berani menerbitkan buku yang dilarang secara sembrono oleh pemerintah.
   Kekurangan dari buku ini sendiri adalah bahasanya yang terkesan kuno, dan dominasi narasi secara berlebihan  mengalahkan dialog yang mana menyebabkan cerita kurang hidup. Serta banyaknya kisah berbagai tokoh dibuku ini mengakibatkan pembaca harus mengingat kembali kisah-kisah tersebut karena nantinya juga akan berhubungan dengan cerita utama, yaitu kisah dari Minke itu sendiri.

Senin, 14 Desember 2020

Individualis = Egois (?)


   Kali ini saya ingin menuliskan sesuatu mengenai individualis, egois dan apatis, pikiran tersebut datang setelah membaca perdebatan sekilas antara seseorang yang berkata bahwa individualis sudah pasti egois dengan seseorang yang menganggap individualis belum tentu egois. Perdebatan mereka berakhir dengan mereka saling memegang teguh pendapat masing-masing. Kira-kira orang mana yang benar?, jika diartikan berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) individualis memiliki 2 arti :

1. Orang yang tetap mempertahankan kepribadian dan kebebasan diri; penganut paham individualisme

2. Orang yang mementingkan diri sendiri; orang yang egois
   
 Arti yang ke 2 membuat saya cukup terkejut, karena kalimat itu datang langsung dari KBBI, jika berdasarkan pengamatan saya terhadap orang-orang individualis, saya lebih setuju dengan arti yang pertama dibandingkan yang kedua, bukan berarti yang kedua sudah  pasti salah, namun menurut saya itu terkesan mencap seluruh orang yang individualis pasti egois. Banyak orang berpendapat bahwa orang individualis tidak dapat bekerja sama dengan orang lain dan susah menerima pendapat orang lain, benarkah begitu?. Berdasarkan pengamatan saya terhadap seorang teman saya yang individualis, ia memiliki caranya sendiri dalam bekerja sama dengan orang lain, ia akan mengambil pekerjaan yang sekiranya bisa dikerjakan sendiri namun dengan persetujuan bersama, normalnya ia akan berusaha sekeras mungkin dengan saling mengemukakan pendapat dengan lainnya agar mencapai keputusan bersama yang akan saling menguntungkan. Apakah hal tersebut dapat Dikatakan egois? saya rasa tidak, karena ia mendapatkan pekerjaan tersebut bukan melalui paksaan atau hanya demi keuntungannya sendiri, melainkan dengan musyawarah dan keputusan bersama.
   Lalu mengapa banyak yang beranggapan seorang individualis pasti egois?, sebenarnya anggapan tersebut merupakan anggapan umum yang terdapat di Indonesia. Beda halnya dengan Jepang, yang mana di negara tersebut banyak sekali yang menjunjung individualisme. Di Jepang sendiri individualisme semakin menyebar pasca perang dunia kedua, disebabkan oleh banyaknya korban perang  cacat yang tidak mau diurus oleh keluarganya karena faktor ekonomi jepang yang saat itu hancur-hancurnya dan ternyata hal tersebut terus berlanjut hingga saat ini, pada awalnya tentu akan berkesan sangat egois, namun jika dilihat hasilnya saat ini Jepang merupakan negara yang maju berkat individualisme tersebut, dan tentunya kali ini individualisme tersebut dipicu oleh yang berbeda dibandingkan pasca perang dunia kedua selesai, kali ini individualisme di Jepang dipicu oleh keinginan setiap orang disana agar dapat berdiri sendiri tanpa merepotkan kerabat mereka, dan ternyata keputusan tersebut menghasilkan individu-individu di jepang yang mandiri, dan siap bekerja bahkan saat masih menempuh pendidikan menengah atas, selain memberikan keuntungan terhadap keluarga hal tersebut juga memberikan keuntungan bagi diri sendiri dan orang lain.
   Contoh lainnya adalah Amerika Serikat, di Amerika nyaris seluruh anak yang telah lulus SMA akan diusir dari rumah, dan diwajibkan memiliki tempat tinggal dan pekerjaan sendiri, keputusan tersebut bukan didasarkan oleh rasa benci, namun agar sang anak tersebut dapat menjadi mandiri, dan ternyata hasilnya memang luar biasa, dapat kita ketahui sendiri bahwa kualitas individu di Amerika berkualitas dan Amerika sendiri menjadi negara yang maju berkat kebiasaan tersebut.
   Bagaimana dengan Indonesia?, Mengapa Indonesia justru terkesan menolak budaya individualisme yang ternyata sebenarnya menghasilkan dampak yang sangat baik bagi diri sendiri, orang lain dan negara?, sampaikan pendapat kalian di kolom komentar mengenai pertanyaan tersebut.

Sabtu, 12 Desember 2020

Les Fleurs du mal


  Kali ini saya ingin membicarakan sedikit mengenai buku yang sedang saya baca dan nikmati akhir-akhir ini buku tersebut adalah buku antologi puisi karya Charles Baudelaire yang berjudul Les Fleurs du mal , pada awalnya saya ingin membaca buku tersebut versi terjemahan bahasa Indonesianya, namun yang saya temukan hanya versi asli yaitu bahasa Prancis dan versi terjemahan bahasa Inggrisnya, akhirnya saya memutuskan membaca versi terjemahan bahasa Inggrisnya.
  Kumpulan puisi yang terdapat di buku ini tergolong unik dan jarang saya temukan, jika ditanya mengapa, jawabannya adalah karena bahasanya yang erotis dan sesuai judulnya yang memiliki arti “bunga bunga kejahatan” bahkan pada saat masa awal diterbitkan, terdapat 6 puisi yang dilarang oleh pemerintah karena dianggap terlalu erotis. Sebagian besar puisi di buku antologi puisi tersebut ditulis oleh Charles Baudelaire saat ia pada masa mudanya yang mana ia merasa banyak hal terjadi disekitarnya yang tidak sesuai dengan keinginannya, akhirnya ia memutuskan menuliskan puisi untuk mengeluarkan hasrat terpendamnya dan imajinasi liarnya yang berkesan jahat.
  Salah satu puisi yang saya sukai di antologi puisi tersebut adalah

The Happy Corpse
In a rich land, fertile, replete with snails
I'd like to dig myself a spacious pit
Where I might spread at leisure my old bones
And sleep unnoticed, like a shark at sea.
I hate both testaments and epitaphs;
Sooner than beg remembrance from the world
I would, alive, invite the hungry crows
To bleed my tainted carcass inch by inch.
O worms! dark playmates minus ear or eye,
Prepare to meet a free and happy corpse;
Droll philosophes* children of rottenness,
Go then along my ruin guiltlessly,
And say if any torture still exists
For this old soulless corpse, dead with the dead!
  
Walaupun saya masih belum benar-benar dapat mengartikan suatu puisi, tapi saya merasakan puisi tersebut sangat indah dan unik. Puisi tersebut seakan menggambarkan keinginan terpendam Charles Baudelaire pada masa mudanya, ia sendiri telah kehilangan ayahnya semasa kecil dan akhirnya ibunya menikah kembali, ia sendiri tidak suka dengan keputusan ibunya sendiri dan akhirnya menjadi pemuda yang individualis dan seakan akan ia bahkan ingin menggali kuburannya sendiri dan mati tanpa disadari seperti yang ditulisnya di puisi yang berjudul “The Happy Corpse” tersebut.
   Saya sendiri pertama kali mendengar nama Charles Baudelaire ketika saya menemukan quotesnya secara tidak sengaja, yang berbunyi “One should always be drunk. That's all that matters...But with what? With wine, with poetry, or with virtue, as you chose. But get drunk.” Berangkat dari situ akhirnya saya mulai mencari mengenai identitas Charles Baudelaire dan ternyata karyanya yang sangat terkenal adalah “Les Fleurs du mal” namun pada saat itu saya tak menemukan bukunya dan justru berujung menemukan komik jepang dengan judul yang serupa dan memiliki kisah yang berawal dari buku tersebut. Setelah sekian lama akhirnya saya mencoba mencari kembali hingga akhirnya menemukannya, hingga tulisan ini dibuat saya belum menyelesaikan membaca buku tersebut, namun saya sudah dapat merasakan keindahan berbagai puisi yang terdapat di buku tersebut.
   Jika nantinya saya selesai membaca buku tersebut dan merasa suka dengan puisi yang dibuatnya, mungkin saya akan berencana membaca bukunya yang lain.

Jumat, 11 Desember 2020

Resensi : Bumi Manusia


Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Genre : fiksi
Penerbit : Lentera Dipantara
Halaman : 551 Halaman
ISBN : 978-979-97312-3-4
   Buku pertama dari tetralogi pulau buru ini menceritakan kisah Minke seorang pribumi siswa HBS yang mengagumi ratu yang cantik, pada suatu kesempatan ia ditantang oleh kawannya yang bernama Robert Suurhof untuk mendatangi seseorang yang cantik bernama Annelies. Pertemuannya dengan Annelies dan Nyainya yang bernama Ontosoroh tersebut mengubah kehidupannya secara sepenuhnya dan  ia menghadapi berbagai masalah yang dihadapi mereka bersama-sama.
    Buku ini ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer saat menjadi tahanan orde baru di pulau buru karena pada saat itu Pram memiliki hubungan dengan Lekra, organisasi yang menganut sayap kiri dan berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mana sangat dilarang saat itu. Pada masa tahanan Pram di pulau buru ia menulis tetralogi buku dan yang pertama adalah Bumi Manusia. Bumi Manusia sendiri pernah dilarang beredar pada masa orde baru oleh Mahkamah Agung karena dianggap menyebarkan ideologi Komunis, sedangkan buku ini sendiri sama sekali tidak menyinggung ideologi Komunis, bisa dibilang keputusan pelarangan tersebut merupakan keputusan yang sangat tidak berdasar. Banyak yang menganggap keputusan pelarangan tersebut karena pemerintah pada saat itu takut dengan pandangan-pandangan Pram yang bisa saja meruntuhkan pemerintahan saat itu.
    Buku ini juga pernah difilmkan pada tahun 2019 dan disutradarai oleh Hanung Bramantyo, Hanung sendiri telah lama memimpikan menyutradarai film yang berdasarkan buku Pram tersebut, ia bercerita bahwa pada saat umur 17 tahun ia membaca buku ini secara sembunyi-sembunyi karena pada saat itu buku tersebut masih dilarang peredarannya. Soesilo Toer sendiri selaku adik Pram mengatakan bahwa Hanung merupakan orang yang pemberani, karena berani mengadaptasi buku Bumi Manusia kedalam format film.
   Tokoh utama buku ini, Minke merupakan seorang pribumi yang sangat nasionalis, namun ia sering dianggap terlalu mengagunggkan bangsa Eropa. Sepanjang ceritanya ia memperjuangkan haknya sebagai pribumi yang mana dibatasi dan dianggap rendah, secara perlahan berkat perjuangannya dan usahanya ia akhirnya dapat membuktikan bahwa dirinya dapat bersanding dengan para bangsa Eropa. Terdapat pula berbagai tokoh lainnya yang sangat memberi kesan bagi para pembacanya.
   Tokoh yang paling mengesankan bagi saya pribadi adalah Nyai Ontosoroh, ia merupakan gundik yang dijual oleh orang tuanya saat kecil, Nyai Ontosoroh membuktikan walaupun ia seorang Gundik ia dapat membuktikan bahwa dirinya dapat berdiri dengan kakinya sendiri, ucapannya yang paling saya ingat adalah “Jangan sebut aku perempuan sejati jika hidup hanya berkalang lelaki” dapat dilihat di buku tersebut bahwa walaupun ia seorang perempuan sekaligus seorang gundik, ia dapat membangun perusahaannya sendiri dengan jerih payahnya, ia juga telah mematahkan pandangan orang mengenai gundik. Selain itu, sebagai pribumi yang tidak pernah bersekolah, ia merupakan orang yang terpelajar, karena ia membiasakan dirinya membaca setiap saat.
   Buku ini juga telah membuka pandangan saya mengenai masa kolonialisme, di buku ini digambarkan bahwa tidak semua banga Eropa memandang rendah pribumi, ada beberapa diantara mereka yang tidak memandang kedudukan pribumi, dan lebih memandang kemampuan, contohnya adalah guru Minke yang bernama Juffrouw Magda Peters, ia tidak peduli dengan fakta bahwa Minke adalah pribumi, yang ia lihat dalam diri Minke adalah kemampuannya.
    Kelebihan buku ini adalah pembahasannya yang sangat cocok dibaca kalangan remaja, baik Siswa SMA atau Mahasiswa, karena buku ini menggambarkan tokoh pribumi yang nasionalis, dari tokoh tersebut pembaca dapat berkaca dan belajar melalui tokoh tersebut, selain itu buku ini juga berhasil memberikan gambaran baru seorang gundik pada para pembacanya, yang mana umumnya banyak anggapan yang mengatakan bahwa gundik tidak berpendidikan dan tidak dapat berdiri sendiri.

Rabu, 09 Desember 2020

Resensi : Gadis Kretek


Penulis : Ratih Kumala
Genre : fiksi
Penerbit : Gramedia
Halaman : 275
ISBN : 978-979-22-8141-5
   Gadis Kretek merupakan novel yang menceritakan perjalanan Lebas bersama saudaranya yang bernama Tegar dan Karim dalam mencari seseorang yang bernama Jeng Yah. orang yang namanya disebut-sebut oleh ayah mereka ketika sakit, mereka menduga Jeng Yah merupakan mantan pacar ayah mereka, dalam perjalanan mereka, mereka mulai menemui satu persatu fakta mengenai Jeng Yah, seseorang yang mereka cari dan perusahaan Kretek Djagad Raja milik ayah mereka . Selain itu novel ini juga menceritakan kisah persaingan bisnis klobot dan kretek antara Idroes Moeria dan Soejagad yang mana merupakan akar segala permasalahan yang terdapat di dalam cerita.
   Ratih Kumala sebagai penulis Gadis Kretek pada awalnya hanya bertujuan membuat cerita tersebut sebagai cerita pendek, namun karena risetnya yang panjang menghasilkan cerita yang panjang pula akhirnya ia menerbitkannya sebagai novel. novel ini merupakan novel ke-5 Ratih Kumala dan ide dasarnya datang dari pabrik rokok milik kakeknya, Ratih kumala sendiri tidak merokok, ia mendapatkan berbagai pengetahuan tersebut dari kakek  dan penelitiannya, salah satu kebiasaan tokoh Ratih Kumala yang bernama Idroes Moeria dalam melinting sari tembakau yang menempel ditelapak tangannya seusai mengolah saos dan merajang  pun datang dari kebiasaan kakeknya yang demikian pula.
    Latar cerita dari novel ini dibagi menjadi 2, kisah persaingan antara Idroes Moeria dan Soejagad pada saat masa akhir penjajahan belanda hingga pasca G30SPKI sedangkan kisah perjalanan Lebas, Karim dan Tegar beberapa tahun pasca Reformasi. Pada cerita perjuangan Idroes Moeria terdapat banyak sekali rintangan yang harus ia hadapi, yang pertama ia harus mengikat hati Roemasia dengan belajar baca tulis, serta ia juga harus mengalami pengasingan oleh Jepang di Surabaya selama 2 tahun lamanya, namun berkat semua itu ia berhasil mendapatkan ide baru dan mulai memasarkan kretek miliknya sendiri yaitu Kretek Merdeka.
   Pada saat Idroes Moeria ditahan oleh Jepang, dicerita tersebut digambarkan perjuangan Roemasia wanita yang di anggap janda oleh masyarakat, melanjutkan usaha klobot milik suaminya Idroes Moeria, ia digambarkan sebagai wanita tangguh yang tidak banyak mengeluh dan berusaha mewujudkan impian suaminya sembari berpikir positif bahwa suaminya akan kembali.
   Adat Jawa yang digambarkan di novel ini sangat terasa nyata dan sesuai dengan apa yang terjadi di masyarakat, seperti mengubur tali pusar bayi dan menjaganya selama seminggu penuh, walaupun di novel ini digambarkan penolakan budaya menjaga bersama tapi pusar bayi oleh para bapak-bapak di desa, penolakan tersebut datang dari mulut Roemasia yang muak dengan suara berisik dan  kepulan asap rokok para bapak-bapak yang menjaga dan akhirnya penolakan juga datang dari Idroes Moeria selaku istri dari Roemasia. Bagian tersebut mungkin merupakan kritik penulis terhadap budaya Jawa yang sebenarnya tidak perlu dilestarikan melalui karakter-karakter di novelnya yang berjudul Gadis Kretek.
   Selain ceritanya yang menarik dengan protagonis yang berganti-ganti dan bahasa yang mudah dipahami, novel ini juga memiliki cover yang menarik, cover dari novel ini menggambarkan ilustrasi Jeng Yah selaku pemilik Kretek Gadis sekaligus anak pertama dari Idroes Moeria dan Roemasia pemilik Kretek Merdeka!, yang mana nama dari kretek yang dimilikinya tersebut menjadi judul novel ini, yaitu Gadis Kretek. Selain itu novel ini kaya akan dialog antar tokoh terutama dialog antara 3 kakak beradik yaitu Lebas, Karim dan Tegar dialog mereka terasa sangat natural dan saya sebagai pembaca dapat merasakan ikatan saudara antara mereka melalui dialog yang ditulis. Selain kaya akan dialog, novel ini juga kaya akan ilustrasi, disetiap penghubung antara suatu bab dengan bab lainnya, selalu disisipi dengan ilustrasi bungkus rokok yang terdapat dalam cerita, dengan ilustrasi tersebut pembaca akan menjadi semakin mudah membayangkan bungkus rokok yang terdapat di novel tersebut. Contohnya Kretek Merdeka! Yang diilustrasikan dengan tokoh proklamator ditengah bungkusnya yang tentu saja akan semakin menarik minat pembaca dalam melanjutkan bab selanjutnya.

Resensi : Saman


 Penulis : Ayu Utami
Genre : fiksi
Penerbit : Gramedia
Halaman : 206 Halaman
ISBN : 978-979-91-0570-7
   Novel karya Ayu Utami ini menceritakan kisah 4 sahabat dan seorang pria misterius yang bernama Saman. Cerita diawali dengan kisah Laila seorang fotografer yang jatuh cinta dengan seorang pria yang sudah beristri bernama Sihar, hubungan terlarang mengalami lika-liku yang rumit bahkan hingga harus berhubungan dengan orang yang pernah disukainya yang kini mengubah namanta menjadi Saman. Laila memiliki 3 orang sahabat, Shakuntala si suka memberontak, Yasmin yang terlihat sempurna namun juga memiliki masalah, Cok yang suka gonta ganti pasangan dan Laila sendiri adalah si perebut suami orang, walaupun tidak berakhir lancar.
   Novel ini juga menceritakan masa lalu Wisanggeni sebelum mengganti namanya menjadi Saman, kejadian yang dialaminya selama di Lubukrantau lah yang mengubah kehidupan Wisanggeni sepenuhnya, disana ia menjadi saksi nyata kekejaman perusahaan sawit, ia juga sempat mengalami dilema ketika dihadapi dengan seorang anak autis yang datang dari keluarga miskin, yang mana mau tak mau harus mengurung anak mereka di kandang, berangkat dari situ Wisanggeni mulai menyatu dengan warga Lubukrantau dan ikut mengatasi berbagai masalah yang dialami warga Lubukrantau.
   Ayu utami seorang penulis novel ini pernah mendapatkan penghargaan Dewan kesenian Jakarta 1998 serta penghargaan dari Belanda yaitu penghargaan Prince Clause Award. Novel ini sendiri merupakan novel pertama Ayu Utami yang terbit 10 hari sebelum pelengseran Presiden Soeharto, pada saat akan mengadakan pesta karena memenangkan penghargaan, Ayu Utami membatalkannya karena pada saat itu bertepatan dengan jatuhnya korban seorang aktivis, yang menurutnya tidak etis berpesta disaat berduka.
   Novel ini dibuat berdasarkan kekhawatiran-kekhawatiran Ayu Utami sejak kecil, dan isi dari novel ini hanya 50%nya yang direncanakan, sisanya berangkat dari imajinasi Ayu Utami, kekhawatiran-kekhawatiran Ayu Utami yang pada akhirnya ikut masuk kedalam novel ini cukup banyak, diantaranya pada saat masih muda, ia pernah memiliki seorang teman yang autis, ia berusaha berteman dengannya, namun ternyata temannya yang autis tersebut ternyata cukup dewasa dan sudah memiliki hawa nafsu seperti remaja pada umumnya, bedanya karena ia autis, ia terkesan tidak menahannya, Ayu Utami akhirnya cukup takut dengannya, pengalamannya tersebut akhirnya membentuk seorang karakter autis yang bernama Upi, seorang gadis autis yang masih memiliki nafsu seksual. Ayu Utami juga pernah meragukan keyakinan pada agamanya, yang akhirnya juga membentuk  karakter Saman. Salah satu alasan lain Ayu Utami menulis novel ini karena pada saat itu, media dibungkam dan akhirnya ia memutuskan menyalurkan protesnya melalui karya sastra yang akhirnya terlahirnya novel Saman yang berisi berbagai perlawanan ini.
   Ketika membaca bagian perjuangan Saman, novel ini terasa sangat nyata, bahkan saya sendiri sempat lupa bahwa ini adalah novel fiksi, karena konflik-konflik yang terjadi di dalamnya terasa sangat realistik, dan memang banyak terjadi saat itu, seperti penggusuran lahan untuk kebun sawit sendiri sampai sekarang masih kerap terjadi, jika dilihat dari keuntungannya, sawit sendiri sebenarnya memberi banyak kontribusi bagi perekonomian Indonesia bahkan juga menjadi salah satu penopang perekonomian, tapi jika dilihat dari jangka panjangnya, tanah yang sempat di tanami sawit cenderung akan kurang subur, sawit sendiri juga memakan lahan yang cukup lebar karena akarnya yang besar dan panjang bahkan berpotensi merusak bangunan sekitar.
   Untuk segi cover, novel ini menggunakan lukisan kaca yang menggambarkan seorang pria dan wanita atau Adam dan Hawa dan judul novel diatasnya, alasan mengapa cover tersebut digunakan antara lain karena hubungan antara Yasmin dan Saman, Yasmin sendiri merupakan wanita yang terus menerus menggoda Saman, bagaikan Hawa menggoda Adam. Dari isinya sendiri novel ini menggunakan alur maju mundur dan beberapa prespektif karakter dari novel tersebut, seperti Laila,Saman,Shakuntala dan Yasmin. Pada bagian awal novel ini memang dirasa sulit dipahami namun semakin berjalannya cerita, cerita berbagai karakter mulai terhubung dan akhirnya mencapai satu hubungan yang jelas antara satu karakter dengan karakter lainnya.

Selasa, 08 Desember 2020

Resensi : Perempuan di Titik Nol



Penulis : Nawal el-Saadawi
Genre : Non-fiksi
Penerjemah : Amir Sutaarga
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia
Halaman : XIV + 156 halaman
ISBN : 979-461-040-2
   Novel yang ditulis oleh Nawal el-Saadawi ini menceritakan kisah seorang wanita bernama Firdaus, Nawal bertemu dengan Firdaus saat kunjungannya kepenjara dimana Firdaus dikurung sembari menunggu masa hukum matinya atas tindakannya membunuh seseorang, Nawal berusaha beberapa kali untuk mewawancarai Firdaus, namun penolakanlah yang ia dapat, hingga akhirnya pada suatu waktu Nawal menyerah dan memutuskan berhenti mencoba mewawancarai Firdaus, namun yang terjadi justru Firdaus akhirnya setuju dan menyuruh Nawal masuk kedalam selnya, di dalam sel penjaga Firdaus, Nawal merasa terkejut dengan suasanya di dalam sel tersebut, hingga akhirnya Firdaus menceritakan masa hidupnya hingga alasan mengapa ia membunuh seseorang.
   Firdaus disini adalah seorang wanita pekerja seksual yang sudah tidak lagi percaya dengan pria, penyebab utama mengapa ia tidak percaya dengan pria adalah lingkungannya sejak kecil, ia memiki ayah yang sangat kasar dan lebih sayang anak laki-lakinya, saudara Firdaus banyak dan satu persatu mati karena penyakit, jika saudara perempuannya mati, ayah akan menyantap makan malamnya, ibu akan membasuh kakinya, kemudian ia akan pergi tidur, seperti setiap malam. Apabila yang mati itu seorang anak laki-laki, ia akan memukul ibu, kemudian makan malam dan merebahkan diri untuk tidur. Pada saat kecil pamannya juga melecehkannya tanpa Firdaus sadari karena usianya saat itu yang masih sangat belia, dan pertemuannya dengan beberapa orang yang berujung memanfaatkan tubuhnya juga menjadi salah satu faktor mengapa ia tidak lagi percaya dengan pria manapun.
    Novel ini sangat menggambarkan kondisi wanita di timur tengah yang mana kedudukannya lebih rendah dari seorang pria, seorang istri digambarkan harus sangat patuh pada suaminya, dan harus mengikuti segala ucapan suaminya, bahkan ketika Firdaus kabur kerumah pamannya ketika mendapati kekerasan fisik dari suaminya, sang pamannya justru berkata bahwa hal tersebut sangatlah wajar, bahkan pamannya berkata juga demikian. Hingga akhirnya Firdaus pun memilih menjadi pelacur yang ia rasa lebih bebas daripada menjadi istri yang dipenjarakan oleh suaminya, sebagai pelacur ia merasa lebih bebas dalam menentukan kapan ia mau bekerja dan mendapatkan pendapatan atas dirinya sendiri.
  Beberapa tahun sebelum merilis Perempuan di Titik Nol, Nawal pada awalnya bekerja sebagai Direktur Pendidikan dan Kesehatan, Pemimpin Redaksi majalah kesehatan, namun ia dipecat dari posisinya ketika merilis “Woman and Sex” pada tahun 1972. Pasca dipecat ia bekerja sebagai psikiater dan sempat bertugas di penjara Qanatir yang pada akhirnya melahirkan buku Perempuan di Titik Nol.
   Perempuan di Titik Nol sendiri pada awalnya banyak mengalami penolakan daro berbagai penerbit karena konten didalamnya, berkat perjuangan Nawal novel tersebut akhirnya bisa terbit, di Indonesia sendiri novel ini di terbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia, sejatinya sastra Arab di Indonesia kurang dikenal dan hanya sedikit yang di terjemahkan kebahasa Indonesia, alasan Yayasan Obor Indonesia menerjemahkan Perempuan di Titik Nol ke bahasa Indonesia selain untuk mengenalkan sastra Arab ke Indonesia, juga karena di Indonesia sendiri permasalahan serupa di novel tersebut juga kerap terjadi, seperti seorang istri masih belum sepenuhnya dapat dilindungi dari poligami tanpa persetujuan sang istri, lembaga-lembaga di Indonesia juga masih didominasi oleh pria. Pembantupun sebagian besar adalah seorang wanita, mereka bahkan kurang mendapat haknya dan menerus bekerja sebagai pembantu hingga penghujung hidup mereka.
   Terlepas dari diskriminasi terhadap kaum wanita, di novel ini penggambaran pria sangatlah digambarkan sebagai mahluk yang serakah dan kejam, novel ini hanya menyorot keburukan pria dan seakan mencuci otak para pembaca agar membenci pria, sangat memojokkan kaum pria yang mana seharusnya digambarkan juga kebaikannya.
   Secara keseluruhan novel ini sangat menarik untuk dibaca dan dapat memberikan gambaran seorang pekerja seksual dari sudut pandangnya sendiri serta kekerasan terhadapt wanita dari sudut pandang korban, namun yang kurang dari novel ini adalah penggambaran pria oleh penulis yang terkesan sangat kejam dan serakah.

Senin, 07 Desember 2020

Resensi : Animal Farm



Pengarang : George Orwell
Genre : satire
Penerbit : Bentang
Penerjemah : Bakdi Soemanto
Penyunting : Ika Yuliana Kurnasih
Halaman : 174 Halaman

   Animal Farm merupakan novel yang ditulis oleh George Orwell saat berlangsungnya Perang Dunia 2, dan rampung pada tanggal 17 Agustus 1945, berdekatan dengan akhir Perang Dunia 2. Buku ini menceritakan kisah pemberontakan hewan peternakan manor, pemberontakan tersebut didasari pidato si tua Major yang merupakan seekor babi putih dihormati oleh semua hewan peternakan, berkat pidato yang diberikan oleh Major tersebut, para hewan peternakan memutuskan untuk menggulingkan kekuasaan pak Jones yang merupakan pemilik peternakan manor tersebut. Pemberontakan dipimpin oleh 2 ekor babi yaitu Snowball dan Napoleon, pemberontakan tersebut membuahkan hasil positif bagi hewan peternakan tersebut, namun seiring berjalannya waktu terjadi perubahan besar yang mana peternakan tersebut justru terkesan dikuasai oleh para babi yang semakin tamak akan kekuasaan dan semakin mirip dengan manusia yang dibenci mereka.
  Novel yang ditulis oleh George Orwell ini merupakan novel yang menggambarkan kondisi pada saat perang dunia 2 terutama kondisi Rusia saat sedang mengalami revolusi. Peran Major disini mirip sekali dengan Lenin saat menggembor-gemborkan ideologi komunisme yang telah ia pelajari dari Karl Marx sebelum revolusi Rusia, Major dan Lenin pun juga meninggal terlebih dahulu sebelum merasakan mimpi mereka atas kebebasan dan kesetaraan tersebut. Begitu pula dengan Snowball dan Napoleon, mereka mirip dengan Trotsky dan Stalin, pada awal masa revolusi Rusia keduanya merupakan kawan seperjuangan, namun setelah revolusi terlaksana terjadi cekcok dan perbedaan pendapat antara mereka, yang berakhir pada dibunuhnya Trotsky oleh bawahan Stalin atas perintah  Stalin, di Animal Farm memang sedikit berbeda, di Animal Farm sendiri Snowball tidak dibunuh, melainkan diancam dan diusir dari peternakan serta dituduh atas segala kegagalan rencana Napoleon.
   Novel ini menggambarkan betul apa yang terjadi jika suatu pemerintahan didominasi oleh satu kaum, jika dinovel ini adalah para babi, hal tersebut menyebabkan perasaan superior oleh kaum mereka, dan tentunya hewan ternak lainnya akan merasa inferior karena tak memiliki kekuasaan. Tergambarkan pula para babi yang buta akan kekuasaan dan lupa pada tujuan awal mereka, janji-janji dan peraturan-peraturan yang mereka buat perlahan mulai dilanggar dan diubah secara diam-diam, para hewan peternakan lainnya pun juga turut dicuci otak dengan ucapan-ucapan mereka yang memanipulasi. Terdapat juga anjing-anjing penjaga yang bagaikan alat bagi Napoeleon sang penguasa peternakan, mereka menjadi alat untuk membungkan hewan peternakan lainnya, serta menjadi penjaga Napoleon sepanjang waktu.
  Novel ini merupakan novel yang sudah sangat lama terbit, namun isi dari novel tersebut masih relevan hingga saat ini, Seperti manipulasi politik, yang digambarkan dengan kemampuan berbicara Napoleon yang mana menyebabkan hewan ternak lainnya kagum dan setuju walaupun pada penerapannya justru amburadul dan banyak gagalnya. Hal seperti ini sering ditemui diberbagai negara maupun ditingkat yang lebih kecil, contohnya seperti rektor kampus, mereka tentu saja akan membicarakan kelebihan-kelebihan kampus tersebut dan akan menyembunyikan Keburukan kampus tersebut, tidak ada bedanya dengan saat Lenin mempromosikan Komunisme.
  Selain ceritanya yang bagus dan bahasanya yang mudah dipahami bagi segala kalangan, novel ini juga memiliki cover yang menarik, jika menilik cover versi penerbit bentang, dapat kita lihat bahwa di cover tesebut terdapat seekor babi yang mengenakan topi dengan bintang di tengahnya, topi tersebut sangat mirip dengan yang sering dikenakan oleh Stalin, perbedaannya adalah di cover tersebut tidak terdapat palu arit di topi babi tersebut, sedangkan milik stalin terdapat gambar palu arit ditengah bintang tersebut, kemungkinan besar babi yang terdapat di cover adalah Napoleon, berhubungan dengan karakternya yang mirip Stalin dan di cover tersebut babi tersebut tampak marah seperti Napoleon yang sering kali merasa emosi. Cover original Animal Farm sejatinya hanya berisi judul, namun seiring cetakan selanjutnya berlanjut, cover Animal Farm menjadi didominasi oleh seekor babi yang menggambarkan Napoleon.