Jumat, 01 Januari 2021

Resensi : Rumah Kaca


Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Genre : fiksi
Penerbit : Lentera Dipantara
ISBN : 979-97312-6-7

   Buku Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer ini merupakan bagian terakhir dari tetralogi Pulau Buru yang ia tulis selama di penjara. Buku ini memiliki perbedaaan yang sangat nampak jika dibandingkan dengan bagian tetralogi Pulau Buru lainnya, jika dibuku pertama hingga ketiga cerita berpusat pada tokoh Minke dan apa  yang terjadi sekitarnya, di buku keempat atau terakhir ini cerita berpusat pada seorang tokoh yang bernama Pangemanann.
   Pangemanann merupakan tokoh yang sangat berlawanan dengan Minke. Minke adalah tokoh pribumi yang memperjuangkan kehidupan bangsanya sedangkan Pangemanann adalah tokoh pribumi yang justru memihak Nederland, hal tersebut terjadi bukan karena keinginan murninya, lebih tepatnya ia mengalami dilema antara mempertahankan posisinya atau memperjuangkan hak bangsanya. Walaupun begitu, Pangemanann merupakan tokoh yang sangat menarik, bukan karena tindakannya patut kita ikuti namun karena tindakannya patut kita renungi. Tindakan yang Pangemanann lakukan sebenarnya merupakan hal yang umum terjadi di maskyarakat, banyak sekali yang mengerjakan suatu hal walaupun berlawanan dengan hati nurani, semata-mata hanya untuk memperolah jabatan atau uang.
     Buku ini berputar pada berbagai hal yang terjadi selepas banyak organisasi baru yang bermunculan, serta berbagai usaha Pangemanann dalam membendung pemberontakan berbagai tokoh dan organisasi pribumi yang bertentangan dengan Nederland, tidak hanya organisasi dan tokoh yang memberontak kebijakan Nederland, Pangemanann juga berurusan dengan kehidupannya yang seiring waktu semakin berantakan, ia juga semakin mempertanyakan tindakannya terhadap bangsanya sendiri, yang mana dalam hati nuraninya ia sebenarnya merasa kasihan dengan bangsanya sendiri.
   Judul dari buku ini sangat menarik, yaitu “Rumah Kaca” selayaknya tanaman di dalam rumah kaca yang dapat senantiasa di pantau bahkan dari luar. Pangemanann di buku ini memiliki peran seperti “pemilik” rumah kaca, ia dapat senantiasa melihat apa yang ada dan terjadi di dalamnya, yang dalam buku ini penghuni rumah kaca tersebut digambarkan sebagai para organisasi dan pribumi yang bertentangan dengan Nederland. Pangemanann dapat sesuka hati melakukan tindakan terhadap apa yang terjadi di rumah kacanya.
   Cover buku ini versi Lentera dipantara juga cukup menarik, alih-alih menampilkan tokoh utama buku ini Pangemanann, Lentera Dipantara justru menampilkan seorang Pribumi yang sedang mengerjakan lahan dengan latar belakang pagar kawat dan di belakangnya terdapat rumah yang terlihat cukup mewah jika melihat pada masa itu, seperti kantor gubernur. Cover ini seakan-akan menampilkan pejabat kantor Nederland yang dapat senantiasa memantau pergerakan pribumi, sesuai judulnya Rumah Kaca.
   Bagian terakhir dari Tetralogi Pulau Buru ini sangat menarik untuk dibaca, karena buku ini menceritakan perjuangan bangsa namun dari sudut pandang penghambat perjuangan bangsa itu sendiri, cukup berbeda dengan buku perjuangan bangsa umumnya yang kebanyakan menceritakan dari sudut pandang pejuang bangsa itu sendiri. Di buku ini kita dapat memposisikan diri kita sebagai penghambat perjuangan bangsa itu sendiri, serta kita dapat mempelajari apasaja yang menyebabkan terhambatnya perjuangan bangsa secara eksternal maupun internal. Menariknya, buku ini menjabarkan hambatan secara internal dengan sangat baik.
   Terlepas dari berbagai kelebihannya, buku ini juga memiliki berbagai kekurangan : seperti bagian tetralogi Pulau Buru lainnya, bahasa yang digunakan di dalam buku ini juga tidak berbeda jauh, yaitu cukup kuno. Banyak sekali tokoh baru yang susah diingat karena banyak diantaranya yang hanya sekedar disebutkan saja namun tidak kedapatan dialog atau bagian tampil. Selain itu, karena tokoh utama dari bagian terakhir dari tetralogi Pulau Buru berganti, tentunya pasti banyak pembaca yang merasa kecewa, apalagi tokoh utama dari buku ini memiliki watak yang sangat berkebalikan dengan tokoh utama buku sebelumnya. Selain itu, bagi beberapa orang yang merasa berterima kasih dengan jasa tokoh asli dari Pangemanann yang juga turut membantu berkembanganya dunia jurnalistik di Indonesia tentu akan tersinggung dengan gambaran Pangemanann di buku ini yang mana digambarkan sebagai seseorang yang keji dan menelantarkan bangsanya sendiri. 
   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar