Jumat, 08 Januari 2021

Resensi : Gadis Pantai


Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Genre : Fiksi
Penerbit : Hasta Mitra
Halaman : 206
    Gadis Pantai merupakan novel fiksi karangan Pramoedya Ananta Toer yang ia tulis sekitar tahun 1965, seperti novel Pramoedya lainnya, Gadis Pantai juga sempat dilarang beredar atas tudingan berisi ajaran komunisme, bahkan pada saat penangkapan Pramoedya pada oktober 1965, bagian ke-dua dan ke-tiga dari novel ini dibakar tanpa sisa, Pramoedya sendiri pada awalnya memohon agar naskahnya tidak dibakar. Ia bahkan sempat berkata bahwa mereka boleh menyita semua barangnya asal tidak naskahnya, ia memohon agar setidaknya naskah tersebut sekedar disita negara, sayangnya permintaannya tidak digubris sama sekali.
 novel ini menceritakan seorang gadis pantai yang harus menerima nasibnya dinikahkan secara paksa dengan seorang bendoro bupati Jepara oleh kedua orang tuanya, alasan pernikahan tersebut dengan tujuan meningkatkan derajat keluarga dan agar si Gadis Pantai beserta keluarga dapat lebih hidup sejahtera.
   Novel ini berisi berbagai permasalahan yang masih relevan bahkan hingga saat ini. Yang paling menarik bagi saya adalah mengenai keinginan sejati si Gadis Pantai, sepanjang jalannya cerita berkali-kali diceritakan bahwa Gadis Pantai lebih menyukai kehidupannya semasa di pantai, ia ingin hidup lebih bebas dan tanpa dikekang. Pramoedya sendiri juga memiliki prinsip yang demikian, ia pernah berkata pada adiknya Soesilo untuk melakukan apa yang disukainya asal tidak meminta-minta pada orang lain.
   Pramoedya Ananta Toer menulis novel ini berdasarkan hayalannya mengenai sosok neneknya yang ia sendiri tidak tahu kisah hidup bahkan namanya, ia hanya tahu sedikit kehidupannya dari cerita berbagai orang. Saya rasa, tokoh Gadis Pantai ini seperti gambaran ideal seorang tokoh bagi Pramoedya. Selain itu, saya justru merasakan ada sedikit kemiripan antara si Gadis Pantai dengan adik kandung Pramoedya yang bernama Soesilo. Mereka memiliki kemiripan yang mana keduanya sama-sama berusaha mengenal diri mereka sendiri dan memutuskan melakukan apa yang benar-benar mereka inginkan. Jika si Gadis Pantai memutuskan berkelana, Soesilo memutuskan memulung pada masa tuanya.
   Cover dari novel ini juga menarik, yang mana terdapat potret seorang gadis pantai yang sedang duduk dengan latar belakang pantai dan kedua orang tuanya yang berdiri sembari memegang payung. Sangat cocok dengan isinya yang memang ceritanya berputar pada Gadis Pantai dan hubungannya dengan kedua orangtuanya. Pakaian Gadis Pantai juga terlihat lebih mewah jika dibandingkan dengan pakaian kedua orang tuanya, yang semakin memggambarkan kedudukannya sebagai wanita terhormat istri bendoro bupati Jepara.
    Selain covernya, novel ini juga memiliki cerita yang sangat menarik, pembaca disuguhkan dengan perkembangan karakter Gadis Pantai yang semakin berjalannya cerita semakin mengerti apa yang ia inginkan, selain itu terdapat pula berbagai konflik yang terjadi di sekitar Gadis Pantai yang menyebabkan dirinya secara tidak langsung ikut berkembang. Penamaan tokoh di novel ini juga menarik dan menyebabkannya lebih mudah diingat, seperti penamaan Gadis Pantai yang dapat menyebabkan para pembaca mengimajinasikan tokoh tersebut lebih mudah karena namanya, ataupun si dul pendongeng atau yang sering dipanggil dul gendeng oleh berbagai warga sekitar, dul pendongeng memiliki nama yang sangat sesuai dengan kebiasannya, walaupun perannya tergolong kecil, Pramoedya berhasil membuatnya menjadi tokoh yang berkesan dan dapat diingat betul oleh para pembaca.
    Sayangnya, novel ini juga memiliki berbagai kekurangan yang fatal, salah satunya adalah akhir cerita dari novel ini yang cukup menggantung dan beberapa bagian yang terasa kurang, yang mana seharusnya novel ini memiliki bagian ke-dua dan ke-tiga. Nahasnya, salinan dari bagian ke-dua dan ke-tiga dari novel ini sudah tidak tersisa karena sewenang-wenangan yang terjadi pada Pramoedya, salinan dari novel ini dibakar habis oleh para Angkatan Darat pada masa itu, dengan alasan bermuatan ajaran komunis, walaupun bagian pertama ini salinannya selamat, beberapa salinan dari bagian pertama juga hilang sehingga ada beberapa bagian cerita yang terasa kurang, sehingga menyebabkan para pembaca akan merasa cerita di novel ini tidak komplit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar