Kamis, 21 Januari 2021

Demokrasi


    Saat ini di Amerika sedang hangat-hangatnya pelantikan presiden teranyar Joe Biden, yang menggantikan Trump yang hanya mendapatkan porsi 1 periode. Joe Biden nenjadi presiden setelah memenangkan pemilihan umum dengan selisih suara yang cukup jauh dengan saingannya Trump. Tidak hanya memenangkan lebih banyak suara dari dewan pemilih, Joe Biden juga mendapatkan lebih banyak suara dari rakyat jika dibandingkan dengan Trump.
  Kemenangan yang diperoleh oleh Joe Biden cukup berbeda dengan kemenangan yang diperoleh oleh Trump sebelumnya saat berhadapan dengan Hillary Clinton. Pada saat itu Trump kalah dalam total jumlah suara rakyat, namun menang dari sisi suara dewan pemilih. Kejadian tersebut bukanlah hal yang langka, karena pada tahun 2000 kejadian serupa juga pernah terjadi, namun bagi beberapa warga negara Indonesia sistem tersebut cukup membingungkan, karena tidak mengutakan suara rakyat namun suara dewan pemilih sedangkan Amerika merupakan negara demokrasi, lantas apa yang mengilhami sistem pemilihan umum Amerika saat ini?.
   Mari kembali ke sekitar tahun 400 SM, masa dimana demokrasi sedang jaya-jayanya. Pada saat itu, demokrasi dianggap sebagai sistem terbaik oleh masyarakat Yunani, karena melibatkan seluruh rakyat Yunani dalam pemilihan pemimpinnya, namun ada seseorang yang beranggapan berbeda mengenai demokrasi, yaitu Socrates. Pada saat itu Socrates justru beranggapan berkebalikan, ia menganggap demokrasi memiliki kekurangan yang fatal. Socrates pernah memiliki obrolan dengan Adeimantus seseorang yang mendukung sistem republik, Socrates bertanya kepada Adeimantus,”jika kau memutuskan untuk menaiki kapal dan pada saat itu dibutuhkan kapten kapal, serta dihadapkan dengan dua pilihan, menyerahkannya keputusan pemilihan pada seluruh orang di kapal, atau orang-orang yang memahami mengenai perkapalan jalur yang ditempuh. Siapa yang menurutmu yang paling ideal untuk memimpin kapal?”.
Adeimantus secara cepat menjawab “tentu saja yang kedua”. Socrates pun mengatakan “lalu mengaoa seluruh orang diperbolehkan menjadi pemimpin suatu negara?”. Perbandingan yang Socrates berikan tersebut memberi gambaran akan kekurangan sistem demokrasi.
    Socrates juga pernah membandingkan pemenang pemilihan umum dengan penjual permen, ia berkata bahwa masyarakat awam cenderung akan memilih yang terlihat indah dipermukaan, tanpa memperhatikan secara mendalam. Menurutnya seseorang yang benar-benar berniat memajukan suatu negara akan kalah dengan yang pintar bersilat lidah, bagaikan antar penjual permen dan seorang dokter. Socrates membandingkannya dengan perdebatan penjual permen dan seorang dokter. Penjual permen akan dengan lantangnya mengatakan bahwa dokter tersebut memberikan banyak kesengsaraan, seperti memberikan obat yang rasanya tidak enak dan melarang memakan ini dan itu, tidak seperti dirinya yang memberikan kesenangan dengan permennya yang enak dan beragam. Sedangkan sang dokter akan beralasan bahwa tindakannya demi tujuan yang baik. Namun apakah pemirsa debat tersebut akan lebih memilih seseorang yang tidak langsung memberi kesenangan kepada mereka secara langsung?, kemungkinan besar tidak.
    Kembali lagi ke sistem pemilihan umum di Amerika. Sistem pemilihan umum di Amerika bagaikan bentuk yang jauh lebih baik dari sistem pemilihan umum yang digunakan Yunani dimasa lampau dan yang digunakan Indonesia saat ini. Sistem pemilihan umum di Amerika tidak hanya menyerahkan sepenuhnya pada rakyat awam, namun juga melibatkan orang-orang ahli yaitu para perwakilan dewan pemilih dan dewan pemilih tersebut juga memiliki posisi suara yang lebih tinggi dibandingkan suara rakyat awam. Sayangnya di Indonesia sendiri kekuatan suara dari seluruh rakyat setara, baik masyarakat awam maupun yang telah ahli dalam dunia politik. Yang mana hal tersebut bagaikan memilih kapten kapal melalui penumpang awam seperti yang dikatakan Socrates

Tidak ada komentar:

Posting Komentar