Jumat, 28 Mei 2021

Resensi : To Kill a Mockingbird


Penulis : Harper Lee
Genre : Fiksi
Penerbit : Qanita
Halaman : 396 halaman
ISBN : 978 – 602 – 1637 – 87 – 6 

Novel karya Harper Lee ini menceritakan kehidupan di sekitar suatu keluarga yang berisi Scout sang tokoh sentral dalam novel ini, Jem kakaknya, Atticus ayahnya serta Calpurnia seorang kulit hitam yang menjadi pembantu bagi keluarga tersebut. Scout dalam bagian awal novel ini kerap digambarkan sebagai seseorang yang rasis berkat tindakannya terhadap orang-orang yang dirasanya berbeda. Baik teman sekelasnya, tetangganya bahkan pembantunya sendiri.

Hal tersebut bukanlah tanpa alasan mengingat buku ini berlatar pada tahun 1930 yang mana pada saat itu rasisme sedang marak terutama terhadap ras kulit hitam yang mana kerap diejek dengan sebutan “Nigga” atau “Nigger”. Di novel ini pun kata ejekan tersebut kerap kali muncul sepanjang jalannya cerita, bisa dibilang novel ini cukup menitikberatkan penceritaan di sisi tindakan rasis pada ras kulit hitam saat itu.

1930 merupakan masa dimana Amerika (latar tempat buku ini) mengalami Great Depression, yang mana menyebabkan banyak masyarakat yang merasa stres sehingga mencari kambing hitam untuk disalahkan, yaitu ras kulit hitam, begitu pula dengan di novel ini, ras kulit hitam kerap kali diidentikkan dengan keburukan oleh berbagai karakter di dalamnya hal tersebut memanglah terjadi bahkan di dunia nyata.

Penulisan cerita yang demikian tidak terlepas dari latar belakang penulis sendiri yang mana menjadi saksi hidup terhadap tindakan rasisme disekitarnya, bahkan latar tempat novel ini pun sama dengan asalnya yaitu Alabama. Tidak hanya itu, beberapa hal lainnya juga cukup berhubungan dengan dirinya, seperti nama tokoh Cunningham yang mana memiliki nama sama dengan ayahnya.

Kehebatan Harper Lee dalam menyampaikan cerita tersebut kedalam novel ini berhasil membuatnya mendapatkan penghargaan Pulitzer, serta apresiasi dari berbagai belah pihak. Bahkan buku bagian keduanya yang terbit 54 tahun setelahnya memperoleh penjualan di minggu pertama yang luar biasa bahkan melampaui penjualan novel Harry Potter.

Selain secara isi, judul dari novel ini juga memiliki makna yang mendalam, judul pada novel ini sempat di ucapkan oleh tokoh Atticus dalam novel ini ketika mengatakan sesuatu pada Jem, perkataan tersebut berbunyi “Kau boleh menembak apapun yang ada di langit, kecuali Mockingbird, karena ia hanya bersiul dan tak mengganggumu:”. Sekilas perkataan tersebut berkesan biasa saja dan tidak memiliki arti istimewa, namun hal tersebut akan berubah seusai membaca novel ini, karena akan muncul suatu makna istimewa setelah itu. Oleh karena itu sang penulis  secara sukses membuat judul yang berkesan memorable bagi pembacanya.

Secara sampul novel, novel ini hanya menampilkan seorang gadis yang memainkan ayunan, gadis tersebut adalah Scout. Gambar tersebut tampak tak memiliki banyak arti, namun cukup untuk menggambarkan sang tokoh sentral Scour dalam novel ini yang suka bermain.

Novel ini telah berusia lebih dari 60 tahun, namun isi dari novel ini tetap relevan dalam kehidupan sekarang dalam berbagai sisi, salah satu sisi yang cukup membuat hati teriris adalah sisi rasisme yang mana hingga saat ini tetap marak, begitupun kepada ras kulit hitam yang terdapat dalam novel ini, walaupun setelah sekian tahun isu tersebut tetap tak kunjung usai walaupun telah ditekan dalam berbagai cara. Namun di sisi lain banyak hal yang dapat dipetik dalam novel ini, salah satunya yaitu penyikapan dalam suatu situasi, seperti jika didalam novel ini yang porsinya cukup besar adalah terhadap rasisme dan parenting.

Oleh karena itu buku ini layak untuk dibaca oleh semua kalangan karena nilai-nilai yang bisa dipetik di dalamnya. Walaupun gaya penulisan Harpee Lee yang kerap menggunakan bahasa kasar atau berkesan tabu, hal tersebut tidak mengurangi kualitas dari novel ini, justru karena penulisan yang gamblang tersebutlah buku ini sangat layak dibaca bahkan untuk segala kalangan, karen tentunya akan mengungkapkan berbagai hal tanpa ditutup-tutupi atau sesuai dengan apa yang sebenarnya digambarkan.

Sabtu, 22 Mei 2021

Resensi : Menyingkap Kedok Hegemoni Kuasa Rama


Penulis : Abdul Ghofur dkk
Penerbit : Balai Bahasa Jawa Tengah (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan 2018
Halaman : VIII + 194 Halaman
ISBN : 978 – 602 – 53193 – 3 – 4

Buku ini merupakan buku antologi esai yang berisi sebanyak 18 karangan esai. Ke 18 esai tersebut memiliki esai berkisar antara bahasa hingga pendidikan serta dipilih melalui juri lomba penulisan esia bagi guru Jawa Tengah tahun 2018. Diharapkan melalui buku ini dapat memberi manfaat bagi masyarakat untuk dijadikan bahan atau acuan untuk pembangunan dibidang-bidang tersebut.

Esai di buku antologi esai ini berisi beragam kritikan di setiap esainya, dan yang paling tersorot adalah kritikan dibidang pendidikan di Indonesia, mengingat penulis dari esai ini merupakan guru sehingga kritikan tersebut memberi kesan yang lebih hebat karena ditulis langsung oleh orang-orang yang berkaitan dibidang tersebut.

Salah satunya terdapat di esai kedua yang membahas penerapan kurikulum 2013 di Indonesia dan potensinya di bidang sastra. Esai tersebut berisi kritikan terhadap kurikulum 2013 yang tidak fokus dalam pembelajaran sastra, salah satunya adalah tidak adanya pembedahan karya sastra dalam bentuk novel yang mana menyebabkan peserta didik tidak memeperoleh pengetahuan dan kemampuan di bidang sastra secara optimal dan mumpuni, begitu pula dengan banyaknya tuntutan di kurikulum 2013 menyebabkan guru melakukan cara apapun hanya untuk mencapai tujuan dan kurang terfokus pada prosesnya, hal ini juga menyangkut pada pembelajaran sastra.

TIdak seperti di berbagai negara lainnya, apresiasi sastra kurang di tekankan di Indonesia, hal tersebut terbukti dari para peserta didik yang hanya diberitahukan mengenai karya-karya novel berdampak di Indonesia tanpa mengenalkan lebih jauh bagian-bagian yang perlu diapresiasi dalam karya novel tersebut, contohnya novel Max Havelaar karya Multatuli yang hanya dikenalkan sebagai novel yang mengubah jalannya imperialisme di Indonesia tanpa mengkaji isinya bersama peserta didik bagian-bagian yang menyebabkan hal tersebut terjadi.

Keadaan tersebut membentuk peserta didik yang kurang mengenal tidak hanya karya sastra internasional bahkan karya sastra dari negerinya sendiri.
Esai selanjutnya yang  memberikan kritikan kepada Pendidikan adalah esai kelima dengan judul “Ketika Guru Salah Berbahasa : Sebuah Autokritik” berbeda dengan esai sebelumnya, esai yang satu ini berisi kritikan terhadap pendidik yang hanya memberikan didikan melalui pelajaran yang disampaikan namun secara tindakan justru sebaliknya.

Contoh tindakan tersebut terdapat pada perkataan guru yang kerap kali kita dengar ketika masih menduduki bangku pendidikan wajib, salah satunya adalah kalimat “Yang sudah, silahkan dikumpulin”, kata”dikumpulin” tersebut dapat menjadi pengaruh buruk bagi siswa apalagi jika disampaiikan langsung melalui mulut guru yang mengajarkan Bahasa Indonesia, karena tindakan tersebut tidak mencerminkan posisinya tersebut.

Hal tersebut didasari dari 4 aspek pembelajaran yaitu, menyimak (mendengarkan), berbicara, membaca dan menulis. Tindakan guru diatas sama saja dengan merusak aspek menyimak yang mana cukup fatal karena peserta didik tidak hanya belajar dari satu aspek saja melainkan ke-4 aspek tersebut. Jika dibiarkan dapat merembet pada aspek berbicara karena terbiasa terpapar oleh perkataan guru,pada dasarnya peserta didik belajar melalui meniru apa yang dilakukan pendidiknya.

Buku ini sangatlah cocok dibaca oleh berbagai kalangan terutama yang berkontribusi langsung dibidang pendidikan ataupun bagi mereka yang masih menjadi peserta didik. Buku ini dapat memberikan dampak dari berbagai arah, karena kritikan yang terdapat di buku ini tidak hanya menuju satu arah saja, melainkan berbagai arah, baik pendidik, peserta didik maupun orang tua.

Kumpulan 18 esai di buku ini tidak hanya dapat memberi dampak yang besar diberbagai bidang tersebut, tetapi juga memiliki isi yang menarik dan tergolong mudah untuk membaca, buku yang berbobot bukanlah buku yang hanya memiliki isi yang padat namun juga harus dibarengi dengan kemudahan untuk berbagai pihak, dalam buku ini, bahasa yang digunakan sangat mudah dipahami sehingga dapat ditarget untuk berbagaj pihak sekaligus, diharapkan buku semacam ini dapat terus bermunculan.

Kamis, 20 Mei 2021

Resensi : Kekerasan Budaya Pasca 1965


Penulis : Wijaya Herlambang
Genre : non-fiksi narasi
Penerbit : Marjin Kiri
Halaman : XIV + 334 halaman
ISBN : 978-979-1260-26-8

Buku Kekerasan Budaya Pasca 1965 merupakan buku karya Wijaya Herlambang yang berisi mengenai bagaimana pemerintah Orde Baru melegitimasi anti-komunisme pada saat itu melalui berbagai media, salah satunya melalui sastra. Wijaya membawakan hal tersebut melalui narasi yang menceritakan kejadian hingga terbentuknya hal tersebut secara runtut.

Upaya pemerintah Orde Baru dalam melegitimiasi anti-komunisme merupakan hal yang terjadi karena kejadian 1965 yang menimbulkan trauma hebat bagi masyarakat dan pemerintah Indonesia itu sendiri, pelegitimasian tersebut secara umum dianggap sebagai cara untuk mencegah kejadian serupa terulang kembali. Namun, dibalik kekhawatiran tersebut, terdapat hal negatif yang timbul akibat hal tersebut, yaitu pembenaran atas hal yang tidak seharusnya dibenarkan.

Upaya pemerintah tersebut pada pertama kalinya terjadi ketika Yayasan Obor Indonesia menerbitkan buku terjemahan tulisan-tulisan Albert Camus yang dikemas dengan judul Krisis Kebebasan dengan pengantar Goenawan Muhammad, hal tersebut berhasil membentuk Ideologi anti-komunisme.

Hal lainnya yang semakin mendukung terbentuknya legitimasi tersebut adalah bagaimana pemerintahan pada saat itu memanfaatkan berbagai cerita pendek yang diterbitkan mengenai kejadian 1965 sebagai alat untuk membenarkan perlakuan mereka yang membantai pengikut (dan diduga) komunis secara semena-mena.

Dan yang paling tampak adalah melalui film dan novel Pengkhianatan G30S/PKI yang mana secara terang-terangan mengubah fakta demi memperkuat kesan anti-komunisme dan memperkuat pula posisi pemerintahan pada masa Orde Baru dengan membuat PKI sebagai setan dan pemerintah Orde Baru sebagai pahlawannya, salah satu hal yang nampak kecil namun memberi kesan yang besar adalah penggambaran Aidit sebagai perokok yang mana sebenarnya Aidit bukanlah seorang perokok, bahkan cukup anti dengan rokok. Namun, film tersebut mengubahnya agar memberi kesan Aidit sebagai tokoh pemikir dan kotor.

Penggambaran lainnya yaitu beberapa bagian baik pada novel dan film yang menampilkan PKI seburuk-buruknya dengan secara implisit menggambarkan PKI sebagai penyebab kemiskinan, hingga menggambarkan PKI yang merobek-robek Al-Quran yang mana berkesan bertujuan untuk menarik perhatian pembaca ataupun penonton beragama Islam, hal tersebut merupakan tindakan yang sangat buruk karena memperalat agama untuk kepentingan politik.

Hal lainnya adalah dengan memposisikan pihak militer saat itu sebagai pihak pahlawan yang sangat patriotis, salah satunya adalah dimana adegan pencuilakan yang mana sebenarnya juga dilakukan oleh pihak militer pula diubah seakan-akan segala penculikan merupakan hal yang dilakukan oleh PKI atau simpatisan PKI dan tidak ada campur tangan dari pihak militer.

Buku ini secara isi memiliki isi yang sangat layak untuk dibaca, karena berisi sejarah yang sering diungkit namun dari sisi yang berbeda, ketakutan yang berlebih pada komunisme di buku ini dijelaskan secara rinci apa saja yang menyebabkan dan dampak apa yang ditimbulkan karenanya, penulis juga secara berani membeberkan fakta-fakta yang tidak banyak diketahui namun sulit untuk dipublikasikan karena ketakutan berlebih pada komunisme yang mana bisa saja menimbulkan hal yang berbahaya bagi penulis, namun upayanya dalam menulis dan mempublikasikan hal tersebut sangat layak untuk diapresiasi.

Selain itu, sang penulis berhasil membawakan cerita tersebut secara rinci dan nyaman untuk dibaca dengan gaya narasinya. Walaupun mencantumkan berbagai nama tokoh dan berbagai organisasi, penulis berhasil menuliskan nama-nama tersebut tanpa menyebabkan pembaca kebingungan, hal tersebut juga didukung oleh pihak penerbit yang juga menuliskan berbagai singkatan dari berbagai nama-nama dibuku ini disekitar halaman awal.

Buku ini sangat cocok dibaca oleh mahasiswa, karena buku ini akan menampilkan hal yang tidak banyak diketahui, sehingga sangat cocok untuk dibaca mereka-mereka yang sedang dalam masa rekontruksi pemikiran, yang mana buku ini sangat cocok untuk hal tersebut. Diharapkan dengan dibacanya buku ini dapat memperluas dan menimbulkan pemikirin kritis bagi pembacanya, terutama mahasiswa yang sedang dalam masa-masa penuh kebebasan dan dapat memberi dampak besar di masyarakat melalui tindakan-tindakan mereka yang beragam, baik secara gerakan fisik maupun non-fisik.


Minggu, 09 Mei 2021

Resensi : Max Havelaar

Penulis : Multatuli (Eduard Douwes dekker)
Penerbit : Qanita
Halaman : 579 halaman
ISBN : 978-602-1637-45-6

Max Havelaar merupakan novel karya Multatuli merupakan seorang asal Belanda yang bekerja sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda selama 18 tahun. Novel ini merupakan ringkaian pengalamannya selama menjabat di Hindia Belanda, yang mana tecipta karena keresahaannya pada kondisi Indonesia saat itu dengan mengemasnya melalui tokoh Max Havelaar.

Cerita diawali melalui karakter Droogstoppel yang menemukan tulisan milik Sjalman berpotensi untuknya karena banyak berisi mengenai kopi, karena usaha kopi miliknya. Namun, apa yang ditemukannya tidak hanya pembahasan tentang kopi, tapi juga kekajaman tanam paksa yang diterapkan di Hindia Belanda, yang mana meenyebabkan kemelaratan yang tampak menyedihkan.

Novel karya multatuli satu ini dipercaya telah mengubah alur kolonialisme di Indonesia, hal tersebut diucapkan langsung oleh salah satu penulis pamor di Indonesia yaitu Pramoedya Ananta Toer, karena berkat adanya novel ini akhirnya kondisi Indonesia pada saat itu tereekspos di dunia, dan Belanda pun mau tidak mau harus melaksanakan politik balas budi. Berawal dari situ muncul satu persatu pejuang berintelektual Indonesia.

Sayangnya, walaupun sangat bersinggungan langsung dengan perjuangan bangsa, buku ini tidak menjadi kajian wajib di setiap sekolah dan hanya cenderung dikutipkan saja dalam mata pelajaran sejarah sebagai buku yang membantu perjuangan. Berbeda dengan berbagai negara lainnya diluar sana yang mana buku setipe seperti ini dijadikan sebagai kajian wajib di beberapa tingkat pendidikan, bahkan buku yang tidak bersinggungan langsung dengan perjuangan pun banyak pula yang menjadi kajian wajib.

Bahkan buku Max Havelaar ini sendiri selain tidak menjadi kajian wajib, secara sisi penerjamahan juga tidak dilakukan secara optimal, terbukti dari hanya sedikit versi terjemahan bahasa Indonesia dari buku ini dan seluruhnya juga tidak diterjemahkan secara optimal, terbukti dari beberapa bagian yang kurang pas ketika dibaca. Seperti  pada bagian puisi yang  terasa kurang nyaman dibaca karena diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan ala kadarnya, saat dibaca pun terasa kurang  pas.

Secara cerita, buku ini memiliki memiliki cerita menarik dan runtut, namun secara  penokohan terdapat kekurangan  ketika  transisi antara Droogstoppel menuju Max Havelaar yang kemungkinan besar akan  menyebabkan pembaca kebingungan atas transisinya signifikan.

Secara eksternal, Multatuli dapat dipuji keberaniannya dalam mempublikasikan kekejaman yang terjadi di Hindia Belanda, cara penulisannya pun juga tidak dilebih-lebihkan dan berkesan seimbang dengan  menyampaikan fakta apa adanya dari kedua sisi, hal tersebutlah yang menyebabkan buku  ini  secara berhasil diyakini oleh berbagai pihak saat itu, ditambah dengan keberanian Multatuli yang menantang segala pihak jika ada yang merasa apa yang ditulisnya berisi kebohongan, pada akhirnya pun tidak ada satu pihak pun yang menentang keaslian isinya.

Novel  ini sangat layak dibaca oleh siapapun walaupun di luar Indonesia pula, selain karena isinya yang tak lekang oleh waktu, novel ini juga berisi sejarah yang perlu diketahui oleh berbagai pihak karena berisi kekejaman kolonialisme yang mana tidak hanya terjadi di Indonesia saja, melainkan berbagai negara di dunia. Oleh karena itu diharapkan dengan membaca buku ini, pembaca dapat mengetahui keburukan yang ditimbulkan dari kolonialisme secara nyata.

Walaupun hingga saat ini belum menjadi bacaan wajib dan diterjemahkan secara baik di Indonesia, bukan berarti kita harus menghindari novel ini, karena novel ini sendiri  merupakan bagian sejarah penting bagi bangsa kita, yaitu titik balik dari proses kebangkitan bangsa (walaupun hingga saat ini belum mencapai titik kebangkitan), oleh karena itu kita harus mengetahui hal apa yang menjadi pemicunya.

Secara sampul, versi terbitan Qanita ini tampak kurang efektif karena bukan menyorot tokoh utama dari novel ini melainkan tokoh yang tidak memegang peran sentral dalam novel ini, selain itu sampul tersebut kurang memberi gambaran mengenai kondisi Hindia Belanda saat itu, walaupun begitu versi asli dari novel ini juga tak memberikan gambaran jelas mengenai Hindia Belanda saat itu sehingga hal tersebut bukanlah masalah besar.

Minggu, 02 Mei 2021

Resensi : Orang Asing


Penulis : Albert Camus
Genre : fiksi
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Halaman : 124 halaman
ISBN : 978-979-461-862-2

Novel karya Albert Camus sastrawan asal Perancis yang satu ini merupakan novel yang menggambarkan konsep absurdisme melalui kisah karakter utamanya, Mersault. Kisah diawali dengan Mersault yang mendapati kabar bahwa ibunya telah wafat dari panti jompo tempat ibunya dititipkan olehnya, mendapati kabar tersebut, reaksi yang aneh muncul dari Mersault, tidak seperti kebanyakan ia justru tidak merasa berduka dan menganggap kematian ibunya biasa saja, dari situlah mulai cerita dimulai dimana pandangan orang lain terhadapnya semakin menganggapnya aneh sepanjang jalannya cerita.

Tokoh Mersault yang Albert Camus tulis dalam cerita ini merupakan sosok gambaran dari absurdisme itu sendiri, terlihat dari caranya menyikapi  sesuatu yang berbeda dengan orang secara umum. Begitu pula dengan diri Mersault yang merasa dirinya sebagai pengamat kehidupan orang-orang lain, yang menyebabkannya merasa seperti menjadi orang asing yang menolak kehidupan sebagaimana umunnya, dengan tindakan-tindakannya yang berbeda dan penyikapan terhadap kehidupan yang dianggapnya tidak berharga.

 Albert Camus juga secara implisit menulis bahwa nilai moral yang terdapat dimasyarakat tidak selamanya dapat digunakan untuk seluruh orang. Seperti Mersault yang dihakimi dengan oleh orang-orang dengan dalih moralitas.

Pemikiran Albert Camus yang unik  juga berhasil menjadikan novel Orang Asing sebagai novel pertamanya penghargaan nobel berkat pemikirannya mengenai absurdisme. Begitu pula gaya penulisan Albert Camus yang cukup berbeda dengan kebanyakan penulis pada masanya, yang mana kebanyakan penulis Prancis pada masa itu lebih dominan yang menceritakan tokoh yang bourjois tidak seperti Albert Camus yang menceritakan tokoh dengan keterbatasan ekonomi.

Sayangnya, cerita yang hanya terbungkus dalam 124 halaman saja ini menyebabkan cerita dari novel kurang tereksplor, seperti kisah Mersault yang terasa kurang komplit dan meluas sehingga cerita berkesan tergesa-gesa karena seharusnya masih bisa dieksplor lebih jauh, begitu pula dari tokoh lainnya yang hanya mendapat porsi sedikit seperti tetangga-tetangga mersault, Marie dan Ibunya sendiri yang mana hanya diceritakan sedikit dari sudut pandang beberapa karakter saja.


Sampul dari novel ini juga tidak kalah absurdnya dengan kisah yang disajikan, dengan pewarnaan yang sangat cerah dan gambaran abstrak dapat menyebabkan pembaca lebih tertarik dengan isinya. Gambar sesosok yang terletak di tengah sampul tampak mirip dengan Sishypus yang mana merupakan simbol dari absurdisme, namun bedanya yang terletak di sampul merupakan versi abstraknya.

Penggunaan simbol absurdisme sebagai sampul merupakan hal yang tepat, karena kisah Sishypus sendiri merupakan bentuk absurdisme, Sishypus merupakan tokoh mitologi yang mendapati hukuman mendorong batu kepuncak gunung secara berulang-ulang karena pada akhirnya jatuh kembali. Tindakannya yang sia-sia merupakan hal yang mirip dengan apa yang dipikirkan Mersault bahwa hidup tidak bermakna dan hanya kesia-siaan saja.

Novel ini sangat layak dibaca selain karena sampulnya, isi dari novel ini juga dapat memberi dampak besar terhadap pembaca mengenai berbagai hal, salah satunya yaitu konsep moralitas itu sendiri, berbagai kejadian yang terdapat di novel ini dapat menyebabkan pembaca mempertanyakan kebenaran dari konsep moralitas yang diterapkan secara umum tersebut, karena penerapannya yang justru dapat menjadi alat untuk menjerumuskan orang lain seperti apa yang dialami Mersault yang mana dituduh segala macam hal karena tidak merasa berduka ketika menghadiri kematian ibunya.

Walaupun begitu, novel ini kurang cocok dibaca bagi mereka yang sedang merasa tertekan atau ditik buruk dalam hidupnya, karena kisah yang disampaikan dalam novel ini berkesan kelam sehingga dapat menyebabkan pembaca yang sedang dalam kondisi demikian mengambil langkah yang salah setelah membaca novel ini.

Target pembaca yang paling cocok dengan novel ini adalah mahasiswa atau pekerja, selain karena isinya yang terlalu sensitif bagi pelajar yang masih mengenyam pendidikan wajib, novel ini juga dapat memberikan pembacanya pandangan baru mengenai penyikapan terhadap konsep moral dan hidup. Namun, karena penyampaiannya yang terkesan kelam menyebabkannya pemahaman yang cukup untuk mengartikannya.

Sabtu, 01 Mei 2021

Resensi : Candide


Penulis : Voltaire
Genre : fiksi
Penerbit : Liris Publishing
Halaman : 244
iSBN : 978-602-95978-0-6

Candide merupakan novel klasik karya Voltaire, seorang penulis berdarah Prancis yang terbit dipertengahan abad pencerahan, yaitu pada tahun 1759 . Sesuai judulnya, buku ini menceritakan kisah seorang laki-laki yang bernama Candide yang memegang keras ajaran gurunya bahwa dunia adalah versi terbaik dan  untuk terus bersikap optimis dan berpikir positif, sepanjang perjalanannya ia diterpa oleh berbagai kejadiaan naas terhadap dirinya dan orang disekitarnya yang menyebabkannya berkali-kali harus berusaha mempertahankan optimsime dan positivismenya.

Voltaire dalam novelnya yang satu ini menyampaikan kritikan kerasnya terhadap kondisi saat itu dari berbagai sisi, salah satunya yaitu agama. Ia berkali-kali menyinggung beberapa agama di dalam novelnya yang satu ini, novel ini seakan merupakan bentuk sindiran Voltaire terhada kepercayaan agama yang meyakini bahwa dunia adalah versi yang terbaik karena ciptaan tuhan secata tersirat.

Singgungan tersebut berhubungan  dengan kondisi Perancis pada saat Voltaire menulis novel ini, yang mana banyak memegang teguh hal tersebut, sehingga pada akhirnya Voltaire memutuskan menyampaikan sindirannya melalui novel satirenya ini yang berjudul Candide.

Voltaire dalam novel ini berkali-kali berusaha menekankan bahwa dunia sebenarnya adalah distopia melalui kisah yang ditulisnya yang mana berbagai kejadian buruk yang ditimpa oleh tokoh-tokohnya di novel ini, terutama Candide. Voltaire seakan berusaha meyakinkan pembacanya untuk berpikir bahwa dunia sebenarnya adalah distopia dan berkebalikan dengan apa yang disampaikan dalam agama, melalyi kisah-kisah yang dirancangnya untuk menggiring pembaca berpikir demikian pula.

Hal tersebut dapat kita cermati dari caranya memberikan gambaran terhadap berbagai kisah tokoh yang terdapat di novel ini, salah satunya yaitu sang tokoh utama itu sendiri Candide. Voltaire menggambarkan Candide sebagai tokoh yang bernasib sial dan kejadian buruk terus-menerus menimpa dirinya dan orang-orang yang ia anggap dekat, Candide yang awalnya sangat berpikir positif dan optimis perlahan Karena berbagai kejadian tersebut menjadi semakin goyah untuk mempertankan kedua sifatnya dan kepercayaan bahwa dunia adalah versi yang terbaik.

Begitu pula dengan optimisme dan positivisme yang selama ini kita anggap sebagai sifat yang baik, justru digambarkan sebagai hal yang berakhir mengkhianati dalam novel ini. Memang benar pada dasarnya kedua sifat tersebut umunya merupakan sifat baik, namun dapat menjadi pisau bermata dua jika berakhir pada ketergantungan dengan keduanya. 

Dari segi sampul, novel ini memiliki sampul yang berkesan klasik karena menggambarkan sekumpulan orang dengan pakaian ala abad-18 dan penggunaan cat air juga semakin memperkuat kesan tersebut. Sampul depan dari buku ini menggambarkan beberapa orang serta dicondongkan pada dua orang yang terdapat ditengah sampul, yaitu Candide dan Cunegonde tokoh sentral dalam novel ini. Penggunaan warna yang kelam turut dan ekspresi Candide yang digambarkan turut memperkuat isi dalam novel ini.

Secara isi, novel ini memiliki kisah yang menarik dan sedikit berkesan candaan walaupun kisah yang disampaikan di daĺamnya cukup kelam, hal tersebut terwujudkan berkat gaya penulisan yang klasik Voltaire serta versi terjemahan yang berkesan kurang bisa menjelaskan beberapa bagian dalam novel ini, ditambah dengan banyaknya referensi asing yang dituliskan Voltaire semakin mempersulit pembaca untuk memahami beberapa bagian dalam novel ini.

Kisah kelam yang terlalu cepat berganti-ganti antara satu tokoh dengan tokoh lainnya turut mengurangi kenyamanan dalam pembaca, karena kurang lebarnya penjembatan antara kisah satu sama lain sehingga justru berkesan seperti kisah “adu nasib” antara satu tokoh dengan tokoh lainnya.  Serta alur waktu  yang berantakan turut dapat menyebabkan pembaca kebingungan dengan kejadian  yang sedang  berlangsung

Terlepas dari keburukannya, novel karya Voltaire yang satu ini sangat layak untuk dibaca, terutama bagi mereka yang baru saja memasuki usia matang, karena novel ini dapat memberikan pandangan lain mengenai sifat optimisme, postivisme dan kepercayaan bahwa dunia adalah versi terbaik, melalui kisah panjang yang dialami Voltaire sehingga pada akhir cerita pembaca dihadapi dengan dua pilihan mempertahankan atau melepaskannya.

Resensi : Rezim Mao : Mao Zedong dan Dinasti Kekuasaannya

Penulis : Rizem Aizid
Genre : Sejarah
Penerbit : Palapa
Halaman : 244 Halaman
ISBN : 978-602-279-096-9

Buku karya Rizem Aizid ini merupakan buku yang menceritakan masa pemerintahan Mao Zedong serta dinasti-dinasti yang terdapat di China. Walaupun judulnya menakankan pada rezim Mao Zedong (RRT), buku ini tidak hanya berisi mengenai rezim tersebut, bisa dibilang sekitar 60% dari isi buku ini menceritakan mengenai dinasti-dinasti yang sempat ada di China. Dari masa dinasti Xia hingga Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Buku ini tidak hanya menceritakan kebijakan dan perilaku Mao Zedong, tetapi juga beberapa kejadian yang terjadi selama rezimnya berjalan. Salah satu kejadian besar saat rezim Mao Zedong yang tertulis dibuku ini yaitu ketika Mao Zedong melakukan Kampanye Seratus Bunga yang dilakukan sekitar tahun 1956.

Digerakan tersebut, Mao Zedong membuka ruang kritik terhadap pemerintah baik untuk pihak manapun. Pada saat itu, ia menyampaikan bahwa kritik terhadap pemerintahan merupakan hal yang baik. Hingga akhirnya karena hal tersebut terdapat banyak pihak yang menyampaikan kritikan pedasnya.

Kritikan tersebut pada akhirnya menjadi kritikan pedas. Kritikan pedas tersebut justru ditanggapi sebagai hal yang mengancam rezim bagi Mao Zedong, hal tersebut tampak dari tindakan Mao Zedong yang memutuskan membantai pihak-pihak kritis yang baginya mengancam.

Kejadian yang serupa dengan kejadian tersebut tidak hanya terjadi sekali saat itu saja, melainkan cukup banyak kejadian demikian terjadi selama rezim Mao Zedong.

Sebenarnya kejadian diatas tidak hanya terjadi direzim Mao Zedong, namun juga direzim-rezim lainnya. Bahkan, kejadian tersebut juga terjadi diluar RRT, tetapi bedanya kejadian serupa cenderung ditutupi-tutupi sehingga yang tampak di permukaan hanya sedikit. Tidak dapat kita pungkiri kejadian serupa juga tejadi di negeri kita sendiri.

Perilaku Mao Zedong juga cukup banyak ditulis dalam buku ini, dari penggambaran penulis yang menggambarkan beberapa perilaku menyimpang Mao Zedong, hingga tindakan yang diambil Mao Zedong dalam menyikapi suatu hal.

Sampul dari buku ini cukup menggambarkan isi dari buku ini sendiri, selain menampakkan gambar dari Mao Zedong itu sendiri, postur tubuh Mao Zedong yang tegak dan mengangkat salah satu tangannya seperti memposisikan salam fasis pada buku ini juga menampakkan posisinya sebagai pemimpin RRT.

Warna dari judul serta backgroundnya juga tampak sesuai, judul yang berwana kuning dan backgroundnya yang berwarna merah seakan menyimbolkan bendera RRT itu sendiri. Yang mana sesuai dengan judul dan isi dari buku ini.

Secara isi, buku ini memiliki isi yang layak untuk dibaca karena menceritakan rezim Mao Zedong secara padat dan jelas, informasi yang disampaikan mengenai rezim Mao Zedong dalam buku ini disampaikan apa adanya tanpa melebih-lebihkan. Walaupun begitu, Rizem Aizid selaku penulis buku ini secara sukses menggiring pembacanya untuk lebih terfokus pada sisi kebobrokan yang terjadi di RRT, baik dalam rezim Mao Zedong ataupun diluarnya.

Tidak hanya disampaikan melalui tulisan saja, buku ini juga memiliki gambar didalamnya untuk menguatkan isi dari buku ini sendiri, karena kebanyakan dari gambar yang digunakan dalam buku ini sangat bersinambung dengan tulisan disekitarnya, seperti penggunaan gambar peta untuk memperjelas yang terdapat di salah satu halaman dibuku ini.

Terlepas dari segala kelebihan tersebut, buku ini juga memiliki beberapa kekurangan yang dapat memperlemah buku ini sendiri. Kelemahan terbesar dari buku ini adalah hubungan antara judul dengan isinya.

Tidak seperti buku secara umum dan sewajarnya, isi dari buku ini kurang sesuai dengan judulnya, hal tersebut terlihat dari isinya yang kurang berfokus pada judulnya yaitu Rezim Mao Zedong. Alih-alih langsung berfokus pada Rezim Mao Zedong dan menekankan pembahasan dalam buku kesisi ReIm Mao Zesong secara sedalam mungkin, sepertiga bagian buku ini justru menceritakan mengenai sejarah RRT dari masa dinasti hingga terbentuknya RRT.

Hal tersebut bisa dibilang menjadi kekurangan buku karena usaha penulis dalam memasukkan kronologi tersebut justru menyebabkan posisi Rezim Mao Zedong sebagai inti menjadi melemah.


Resensi : Catatan Perang Korea




Penulis : Mochtar Lubis
Genre : non-fiksi
Penerbit  : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Cetakan : Edisi 2 Cetakan 1
Halaman : xxviii + 154 halaman        
ISBN : 978-979-461-771

Catatan Perang Korea merupakan buku yang dihasilkan berdasarkan pengalaman Mochtar Lubis selama masa penugasannya untuk meliput Perang Korea pada tahun 1950 yang mana ditugaskan langsung oleh PBB. Mochtar Lubis merupakan seorang wartawan asal Indonesia yang bahkan telah berperan dalam dunia tersebut semenjak masa pendudukan Jepang di Indonesia, bahkan kualitasnya dapat disandingkan dengan wartawan asing, terbukti dari penghargaan Masgsaysay yang diterimanya berhasil mengantarkannya ke Korea hingga akhirnya terbentuklah buku Catatan Perang Korea.

Buku Catatan Perang Korea merupakan buku yang menceritakan perjalanan Mochtar Lubis selama meliput perang yang terjadi di Korea pada tahun 1950. Ia menceritakan berbagai hal, dari pengalamannya bersama tentara dan wartawan yang ditugaskan disana, hingga dampak terhadap masyarakat yang terdampak perang. Dari buku ini pada akhirnya Mochtar Lubis sampai pada kesimpulan bahwa perang bukanlah suatu solusi yang baik, perang merupakan hal yang dapat mengiris kemanusiaan, terbukti dari sekumpulan rakyat Korea yang ia temui saat itu.

Penekanan Mochtar Lubis di buku Catatan Perang Korea terhadap kemanusiaan merupakan hal yang unik, karena pada umumnya yang di liput pada masa peperangan merupakan propaganda atas sekumpulan pasukan yang bertugas disana, sedangkan Mochtar Lubis mengambil dari sisi yang berbeda dan jarang terjamah oleh wartawan lainnya.

Dampak dari perang yang diberitakan umumnya mengenai kerusakan secara fisik serta tentara yang ditugaskan itu sendiri. Jarang sekali berita mengenai perasaan rakyat ataupun kondisi non-fisik ditekankan. Media kerap kali menekankan apa yang nampak secara visual, hal yang terus berlangsung tersebut akan menyebabkan audiens hanya berfikir mengenai visualnya saja dan mengesampingkan yang non-visual.

Oleh karena itu, buku yang disampaikan oleh Mochtar Lubis ini dapat dibilang unik, karena ia mencampur aduk sesuatu secara yang nampak (visual) serta yang tidak nampak (non-visual), sehingga pembaca buku ini dapat lebih merasakan kejadian-kejadian yang disampaikan oleh penulis.

Sampul yang terdapat di buku ini juga nampak cukup menarik, selain menampilkan sang penulis Mochtar Lubis itu sendiri, sampul dari buku ini juga menampilkan backgound dibalik foto Mochtar Lubis yang mana menampilkan bangunan yang hancur serta gosong karena dampak perang, serta seseorang yang tampak kumal dan tertutup oleh debu. Sampul yang digunakan dalam buku ini semakin menguatkan isi dari buku ini sendiri yang mana sebagian besar menceritakan mengenai dampak dari perang.

Gaya penulisan yang digunakan Mochtar Lubis dibuku ini dapat dibilang mudah dipahami, selain dari runtutnya peristiwa yang ia jabarkan dalam buku ini, Mochtar Lubis juga secara berhasil menyulap kejadian sejarah yang notabene tidak dapat dengan mudah dipahami karena berbagai latar belakang tiap tokoh serta lokasi dan runtutan peristiwa yang tidak banyak diketahui menjadi mudah dipahami dengan caranya yang menyelipkan informasi beserta fakta-fakta mengenai berbagai tokoh dan lokasi isepanjang tulisan dibukunya ini.

Sayangnya Mochtar Lubis memberi akhir yang berkesan anti-klimaks dibukunya yang satu ini, karena ia tidak benar-benar menceritakan konflik perang Korea hingga tuntas, bahkan tidak sampai Mochtar Lubis itu nenyelesaikan tugasnya disana dan  kembali ke Indonesia. Selain itu apa yang disampaikan di buku Catatan Korea ini terlalu padat serta tidak berisi banyak informasi, sehingga pembaca akan merasa ada sesuatu yang kurang dari buku ini.

Secara keseluruhan, walaupun terlalu padat dan tidak menceritakan secara komplit, buku ini tetap sangat layak dibaca terutama bagi kalangan pelajar, karena buku ini sendiri menampilkan sisi lain dan pemicu dari Korea selatan dan Korea utara saat ini, yang mana kedua negara tersebut memiliki ciri khasnya tersendiri, Korea Selatan dengan industri hiburannya, dan Korea Utara dengan negaranya yang tertutup. Di buku ini kedua hal tersebut akan terbedah dan nampak kepada pembaca hal-hal yang memicu serta sisi lain dari kedua sisi negara tersebut yang jarang diketahui.