Sabtu, 23 Januari 2021

Resensi : Cerita dari Jakarta


Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Genre : fiksi
Penerbit : Hasta Mitra
Halaman : 206 halaman
ISBN : 979-8659-25-2
    Cerita dari Jakarta merupakan antologi cerita pendek dari Pramoedya Ananta Toer, buku ini berisi sebanyak 12 cerita pendek didalamnya, antara lain : Jongos dan Babu, Ikan-ikan yang Terdampar, Berita dari kebayoran, Rumah, Keguguran Calon Dramawan, Nyonya Dokter Hewan Suharko, Tanpa Kemudian, Makhluk di Belakang Rumah, Maman dan Dunianya, Kecapi, Biangkeladi, dan Gambir. Kumpulan cerita pendek tersebut memiliki kesamaan menceritakan mengenai kehidupan orang-orang di Jakarta. Cerita yang pertama mengenai keturunan hamba turun menurun hingga titik penghabisan, cerita kedua mengenai Idulfitri dan Namun yang sedang kelaparan dan mencari ilham agar bisa makan, cerita ketiga mengenai kehidupan Aminah selepas kabur dari rumah, cerita keempat mengenai obrolan dengan orang Arab, cerita kelima mengenai Hamid sang dramawan, cerita keenam mengenai Suharko dan istrinya, cerita ketujuh mengenai Nana dan pelaku yang menggarongnya, cerita Kedelapan mengenai kehidupan babu, cerita kesembilan mengenai kehidupan Maman selepas kepergian adiknya, cerita kesepuluh mengenai seorang pria dan kehidupannya di masa lampau, cerita kesebelas mengenai Tuan Kariumum yang populer, cerita keduabelas mengenai Hasan si tukang angkut.
     Pramoedya melalui buku ini menunjukkan kemampuannya sebagai penulis cerita pendek, secara umum Pram lebih dikenal melalui karya besarnya, seperti tetralogi pulau buru, namun dengan adanya buku ini dapat menunjukkan bahwa tidak hanya hebat dalam menulis novel namun juga seorang yang ahli dalam menulis cerita pendek. Selain itu, cerita pendek yang terdapat di buku ini juga merupakan karya yang telah ia buat jauh sebelum ia merilis berbagai karya besarnya yang telah banyak dikenal saat ini, dengan kata lain cerita pendek yang terdapat di buku ini merupakan karya yang telah dibuat oleh Pram bahkan sebelum dirinya dikenal secara luas. Salah satu cerita pendek di buku ini yang menarik perhatian saya adalah Maman dan Dunianya, di cerita pendek tersebut digambarkan apa yang mendasari bisnis yang Maman dirikan dan bagaimana hal tersebut berpengaruh terhadapnya. Di cerita tersebut, pengalaman tragis dan kesedihan yang Maman rasakan sejak lama disulap oleh Maman menjadi sesuatu yang membantunya bergerak lebih lanjut, kebaikan yang ia lakukan karena rasa kehilangannya mengarah kembali padanya.
   Cerita Nyonya Dokter Hewan Suharko juga cukup menarik, menceritakan mengenai kehidupan Suharko beserta barang-barang kunonya yang penuh akan kenangan dengan mendiang istrinya. Suharko di cerita ini digambarkan sebagai seseorang yang tidak ingin mengikuti perkembangan zaman dari segi perabotan, yang ternyata ia memiliki alasannya tersendiri mengapa tidak ingin mengganti perabotannya.
    Buku antologi cerita pendek milik Pramoedya ini tidak hanya memiliki cerita mengenai berbagai karakter namun juga berbagai kondisi manusia yang dikemas menjadi 12 cerita pendek tersebut, tidak hanya bercerita mengenai kondisi namun juga alasan mengapa hal tersebut bisa terjadi melalui gaya narasi Pram. Bahkan hingga saat ini pesan yang terkandung dalam berbagai cerita yang terdapat di buku ini masih relevan. Seperti perjalanan bisnis yang dijalani oleh Maman, kecintaan Dokter Suharko terhadap perabotannya yang penuh kenangan, dan kehidupan Hasan sebagai tukang angkut.
   Sayangnya buku yang penuh dengan kosa kata ini juga cukup menyulitkan pembacanya dalam memahami cerita, untuk memahami setiap cerita terkadang pembaca perlu membaca berkali-kali dan mengecek arti dari setiap kosa kata yang belum dikenali. Cover veris Hasta Mitra dari buku ini juga terlihat tidak menarik, karena hanya terdapat tulisan judul dan sub-judul saja dengan latar belakang putih serta tidak diikuti dengan ilustrasi dari berbagai cerita dan sebagainya. Untungnya Hasta Mitra  telah merevisi buku ini dengan mengganti ejaannya agar sesuai dengan ejaan EYD yang berlaku saat ini sehingga memudahkan pembaca dalam memahami cerita, selain itu Hasta Mitra juga memberi apresiasi yang cukup baik dengan menuliskan berbagai karya milik Pramoedya yang pernah diterbitkan serta berbagai penghargaan yang diperolah oleh Pramoedya melalui berbagi karyanya yang pernah diterbitkan.

Kamis, 21 Januari 2021

Demokrasi


    Saat ini di Amerika sedang hangat-hangatnya pelantikan presiden teranyar Joe Biden, yang menggantikan Trump yang hanya mendapatkan porsi 1 periode. Joe Biden nenjadi presiden setelah memenangkan pemilihan umum dengan selisih suara yang cukup jauh dengan saingannya Trump. Tidak hanya memenangkan lebih banyak suara dari dewan pemilih, Joe Biden juga mendapatkan lebih banyak suara dari rakyat jika dibandingkan dengan Trump.
  Kemenangan yang diperoleh oleh Joe Biden cukup berbeda dengan kemenangan yang diperoleh oleh Trump sebelumnya saat berhadapan dengan Hillary Clinton. Pada saat itu Trump kalah dalam total jumlah suara rakyat, namun menang dari sisi suara dewan pemilih. Kejadian tersebut bukanlah hal yang langka, karena pada tahun 2000 kejadian serupa juga pernah terjadi, namun bagi beberapa warga negara Indonesia sistem tersebut cukup membingungkan, karena tidak mengutakan suara rakyat namun suara dewan pemilih sedangkan Amerika merupakan negara demokrasi, lantas apa yang mengilhami sistem pemilihan umum Amerika saat ini?.
   Mari kembali ke sekitar tahun 400 SM, masa dimana demokrasi sedang jaya-jayanya. Pada saat itu, demokrasi dianggap sebagai sistem terbaik oleh masyarakat Yunani, karena melibatkan seluruh rakyat Yunani dalam pemilihan pemimpinnya, namun ada seseorang yang beranggapan berbeda mengenai demokrasi, yaitu Socrates. Pada saat itu Socrates justru beranggapan berkebalikan, ia menganggap demokrasi memiliki kekurangan yang fatal. Socrates pernah memiliki obrolan dengan Adeimantus seseorang yang mendukung sistem republik, Socrates bertanya kepada Adeimantus,”jika kau memutuskan untuk menaiki kapal dan pada saat itu dibutuhkan kapten kapal, serta dihadapkan dengan dua pilihan, menyerahkannya keputusan pemilihan pada seluruh orang di kapal, atau orang-orang yang memahami mengenai perkapalan jalur yang ditempuh. Siapa yang menurutmu yang paling ideal untuk memimpin kapal?”.
Adeimantus secara cepat menjawab “tentu saja yang kedua”. Socrates pun mengatakan “lalu mengaoa seluruh orang diperbolehkan menjadi pemimpin suatu negara?”. Perbandingan yang Socrates berikan tersebut memberi gambaran akan kekurangan sistem demokrasi.
    Socrates juga pernah membandingkan pemenang pemilihan umum dengan penjual permen, ia berkata bahwa masyarakat awam cenderung akan memilih yang terlihat indah dipermukaan, tanpa memperhatikan secara mendalam. Menurutnya seseorang yang benar-benar berniat memajukan suatu negara akan kalah dengan yang pintar bersilat lidah, bagaikan antar penjual permen dan seorang dokter. Socrates membandingkannya dengan perdebatan penjual permen dan seorang dokter. Penjual permen akan dengan lantangnya mengatakan bahwa dokter tersebut memberikan banyak kesengsaraan, seperti memberikan obat yang rasanya tidak enak dan melarang memakan ini dan itu, tidak seperti dirinya yang memberikan kesenangan dengan permennya yang enak dan beragam. Sedangkan sang dokter akan beralasan bahwa tindakannya demi tujuan yang baik. Namun apakah pemirsa debat tersebut akan lebih memilih seseorang yang tidak langsung memberi kesenangan kepada mereka secara langsung?, kemungkinan besar tidak.
    Kembali lagi ke sistem pemilihan umum di Amerika. Sistem pemilihan umum di Amerika bagaikan bentuk yang jauh lebih baik dari sistem pemilihan umum yang digunakan Yunani dimasa lampau dan yang digunakan Indonesia saat ini. Sistem pemilihan umum di Amerika tidak hanya menyerahkan sepenuhnya pada rakyat awam, namun juga melibatkan orang-orang ahli yaitu para perwakilan dewan pemilih dan dewan pemilih tersebut juga memiliki posisi suara yang lebih tinggi dibandingkan suara rakyat awam. Sayangnya di Indonesia sendiri kekuatan suara dari seluruh rakyat setara, baik masyarakat awam maupun yang telah ahli dalam dunia politik. Yang mana hal tersebut bagaikan memilih kapten kapal melalui penumpang awam seperti yang dikatakan Socrates

Selasa, 19 Januari 2021

Pentingnya Memahami Bahasa Inggris


    Bahasa Inggris merupakan bahasa yang telah lama dijadikan sebagai bahasa internasional, hal tersebut bukanlah tanpa alasan. Jika dibandingkan dengan berbagai bahasa lainnya, bahasa Inggris memiliki kosa kata yang luar biasa banyaknya, hal tersebut membuatnya sangat cocok dalam mengekspresikan sesuatu, karena pilihan kata yang tersedia banyak sekali dan tidak itu-itu saja. Selain karena kosa katanya yang luar biasa banyaknya, bahasa Inggris juga memiliki penutur yang lebih banyak dari bahasa lainnya, karena bisa dibilang bahasa Inggris merupakan bahasa yang cukup tua. Tidak hanya selesai disitu, bangsa Inggris terkenal akan bangsa jajahannya yang banyak, kebanyakan dari bangsa bekas jajahan tersebut pada akhirnya menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa utamanya.
   Di Asia, bahasa Inggris cenderung kurang diminati karena kebanyakan dari negara di Asia memiliki bahasa nasionalnya sendiri sebagai bahasa utamanya. Sebagai contoh Jepang dan Indonesia. Di Jepang sendiri, penutur bahasa Inggris sangatlah sedikit, karena banyak dari masyarakat di Jepang yang lebih puas dengan bahasanya sendiri, bahkan kebanyakan film asing yang tayang di bioskop Jepang akan diisi dengan dub Jepang. Faktor lain dari sedikitnya penutur bahasa Inggris di Jepang adalah aksen dari lidah orang jepang yang kurang cocok dengan aksen bahasa inggris. Bahasa Jepang terkenal akan “r”nya, yang mana karena banyaknya kata yang menekankan huruf “r” menyebabkan orang jepang memiliki lidah yang kaku dan kesusahan dalam melafalkan huruf “l” yang banyak terdapat dalam kata di bahasa Inggris.
   Kalau di Indonesia sendiri karena kondisi Indonesia yang masih tergolong negara “baru” yang menyebabkannya belum sampai pada tahap beradaptasi dengan bahasa inggris. Yang saya maksud adalah karena masih baru, bangsa asing yang lalu lalang entah untuk berlibur atau menetap masih sedikit karena kurang dikenalnya Indonesia di Mancanegara. Tidak seperti negara-negara yang telah terbentuk sebelum perang dunia seperti Jerman dan sebagainya yang telah dikenal di Mancanegara. Selain itu banyak juga yang menganggap bahasa Inggris tidak penting untuk dipelajari jika tidak bertujuan bekerja atau bersekolah di luar negeri.
    Bahasa Inggris penting untuk dipelajari bukan hanya untuk melancarkan komunikasi saja, tapi juga untuk menunjang kegiatan belajar, hiburan bahkan pekerjaan. Seperti yang telah kita ketahui, karena posisi bahasa Inggris yang menjadi bahasa Internasional menyebabkannya menjadi sasaran utama untuk digunakan dalam berbagai hal seperti film, buku, promosi dan sebagainya. Hal tersebut bertujuan untuk membuatnya menjadi lebih dikenal dan mudah diakses. Dengan memahami bahasa Inggris, kita akan mendapatkan berbagai keuntungan dalam berbagai hal diatas.
    Untuk belajar bahasa Inggris sendiri sebenarnya tidak sesulit yang banyak orang pikirkan, jika masuk keranah profesional memang benar akan cukup sulit, namun jika untuk ranah dasar dengan tujuan sekadar agar dapat memahami saja,bahasa Inggris tidak memakan cukup waktu lama untuk dipelajari, bahkan dengan metode otodidak juga bisa. Bagaimana cara paling efektiknya?, yaitu cukup dengan membiasakan diri terpapar oleh hiburan-hiburan yang menggunakan bahasa Inggris, bisa dengan mendengar podcast, menonton film, bermain game atau membaca. Selain belajar kita juga dapat menikmatinya, untuk podcast, film atau game sendiri perlahan-lahan bisa dengan menggunakan sub Indonesia terlebih dahulu. Jika sudah merasa memiliki banyak kosakata, bisa dilanjutkan dengan menggunakan sub Inggris hingga dapat memahami sepenuhnya. Sedangkan untuk bacaan bisa dengan sembari membuka kamus, dan mengartikan setiap kata yang tidak dipahami satu persatu.

Senin, 18 Januari 2021

Fandom Garis Keras


   Akhir-akhir ini semakin banyak fandom garis keras yang bermunculan, fenomena yang sedang berlangsung ini juga terpengaruhi oleh pandemi yang kunjung usai. Kebosanan tak tertahankan yang mereka rasakan menyebabkan mereka mencurahkannya melalui bergabung dengan suatu fandom. Celakanya, tidak semua fandom berisi fans yang melakukan kegiatan dengan wajar, ada banyak fandom pula yang berisi dengan orang-orang idiot yang bahkan justru menyebabkan idola mereka kelelahan. Salah satu fandom yang terkenal akan garis kerasnya adalah fandom yang berasal dari barat dan Korea.
   Masalah terkait fandom yang sedang panas-panasnya saat ini adalah masalah yang menyangkut dua youtuber yang sedang naik daun yaitu Sykkuno dan Corpse. Keganasan fandom barat kedua youtuber tersebut menyebabkan hubungan pertemanan mereka meregang. Mereka mulai berteman karena permainan Among Us. Permainan yang memerlukan banyak pemain tersebut telah banyak mempertemukan berbagai Youtuber, salah satunya Sykkuno dan Corpse. Karena kombinasi permainan mereka di game tersebut, karir youtube mereka menjadi naik daun, Sykkuno terkenal akan kepribadiannya yang malu-malu dan Corpse terkenal akan suaranya yang manly. Karena kedua hal tersebut, banyak anggota fandom dari keduanya memfantasikan mereka dalam hubungan gay. Dan terus menerus membanjiri kolong komen mereka dengan fantasi-fantasi aneh para anggota fandom. Hal tersebut perlahan menyebabkan hubungan keduanya meregang. Pada awalnya mereka dengan lantang menyatakan diri sebagai seorang pria straight, tetapi yang terjadi bukanlah penyelesaian masalah, justru ucapan mereka tidak digubris.
   Permasalahan serupa pernah dialami Jacksepticeye (Sean) dan Markiplier. Mereka juga pernah mengalami kegilaan fantasi dari anggota fandom mereka. Yang menyebabkan mereka merasa tidak nyaman dan pertemanan mereka mulai meregang. Sean juga pernah menyuarakan ketidaksukaannya terhadap apa yang anggota fandom mereka lakukan, ia berkata bahwa dirinya straight dan ingin para anggota fandom mereka menghentikan fantasinya. Sayangnya yang terjadi justru kemarahan dari kedua anggota fandom, mereka menyebutkan Sean sebagai Homophobic karena menyatakan ketidaksukaannya.
   Berbeda dengan fandom barat, permasalahan yang lebih umum mengenai fandom Korea adalah kefasisannya terhadap idolanya. Sebagai contoh adalah apa yang terjadi dengan fandom boyband *sensor*. Fandom tersebut terkenal akan kelakuannya yang suka merendahkan fandom lain, mereka sering menyebarkan ujaran kebencian terhadap boyband lain. Tindakan yang mereka lakukan tersebut justru menyebabkan boyband yang mereka idolakan mengalami banyak masalah. Penjualan dan popularitas yang menurun. Satu persatu penggemar boyband tersebut mulai meninggalkan fandom karena tindakan idiot anggota fandom lainnya.
   Permasalahan fandom garis keras bukanlah masalah yang sepele, karena hal tersebut dapat berhujung pada hilangnya karir idola mereka. Bahkan fandom karakter 2 dimensi juga dapat berhujung pada masalah serius. Contohnya adalah apa yang sempat dialami oleh Hajime Isayama. Dirinya dikenal akan karyanya yang saat ini banyak digemari, yaitu Attack on Titan. Pada suatu titik, ia mulai membunuh karakter penting pada komiknya satu persatu. Hal tersebut menyebabkan kegeraman dari berbagai penikmat komiknya. Bahkan suatu fandom dari karakter yang belum ia bunuh melakukan teror terhadap dirinya melalui berbagai cara. Seperti dengan melalui sosial media dan mengirim surat ancaman pembunuhan menuju rumahnya. Mereka memaksanya agar tidak membunuh karakter yang mereka cintai tersebut.
    Fandom tidak selamanya berdampak positif, seperti yang saya tulis diatas, fandom juga justru dapat menyebabkan berbagai masalah terhadap idola mereka, seperti kehilangan karir, mematikan karya, bahkan skenario terburuknya adalah bunuh diri.

Sabtu, 16 Januari 2021

Metamorfosa


    Metamorfosa atau yang lebih dikenal dengan “The Metamorphosis” dan “Die Verwandlung”  merupakan novela karya Franz Kafka, seorang novelis Jerman pada abad 19. Franz Kafka pada dasarnya bukanlah novelis yang terkenal, namun novelanya yang berjudul Metamorfosa ini menyebabkan namanya melejit. Metamorfosa merupakan karya masterpiece yang banyak dikenal oleh orang bahkan di abad 21 ini. Metamorfosa merupakan novela yang mencerminkan kehidupan personal keluarga Franz Kafka. Franz Kafka memang dikenal sering menulis sesuatu yang mencerminkan kehidupan personalnya, bahkan rumornya Franz Kafka telah membakar 90% karyanya karena terlalu personal baginya.
    Metamorfosa menceritakan kehidupan seorang tokoh yang bernama Gregor Samsa. Pada suatu hari ia mendadak berubah menjadi serangga menjijikkan ketika terbangun dari tidurnya. Anehnya, yang pertama terlintas dipikirannya adalah bagaimana cara ia berangkat kerja nanti?.
    Penggambaran mengenai berubah menjadi serangga apa Gregor Samsa masih belumlah jelas, ketika calon sampulnya menggambarkan serangga, Franz Kafka menolak. Kemungkinan besar mengapa Franz Kafka menyatakan ketidak setujuan terhadap hal tersebut karena novela ini tidaklah berfokus pada bentuk serangga Gregor Samsa, namun kompleksifitas yang dialami Gregor Samsa dan keluarganya setelah dirinya berubah menjadi serangga.
     Novela ini benar-benar menggambarkan kondisi seseorang ketika mereka merasa tidak diinginkan atau menjadi beban keluarga. Gregor Samsa yang awalnya menjadi tulung punggung ketiga anggota keluarganya mendadak menjadi beban keluarganya dan menyaksikan mereka perlahan-lahan menuju kesengsaraan dalam kondisi tidak berdaya dan menjadi beban mereka.
    Gregor Samsa digambarkan sangat menderita karena ketidakberdayaannya. Novela ini tentu akan sangat relevan jika dibaca oleh seseorang yang pernah atau sedang mengalami keadaan serupa, penderitaan Gregor Sama akan menyebabkan rasa sedih dan simpati oleh para pembaca yang merasa relevan kepada tokoh tersebut.
     Permasalahan juga terdapat pada sikap keluarga Gregor Samsa yang perlahan tidak suportif. Di Novela ini juga diceritakan bahkan saat Gregor Samsa masih menjadi tulang punggung keluarga, keluarganya tidak mempedulikannya, terutama Ayahnya, hanya Adiknyalah yang memberikan perhatian. Pada masa awal bekerja keluarganya selalu berterimakasih kepadanya, namun perlahan-lahan mereka menjadi terbiasa dan tidak peduli. Begitu juga saat Gregor Samsa berubah menjadi serangga yang menjijikkan, keluarganya perlahan tidak mempedulikannya bahkan ingin menyingkirkannya.
   Apa yang dialami Gregor Samsa sebenarnya merupakan hal yang umum terjadi di masyarakat. Yang saya maksud adalah, ketika seseorang diberikan kebaikan yang serupa berkali-kali mereka cenderung akan lupa berterima kasih dan menganggap perlakuan baik tersebut sudah biasa dan tidak perlu diberi ucapan terimakasih lagi. Begitupula ketika seseorang berhenti melakukannya, jasanya akan perlahan terlupakan, dan ketergantungan akan kebaikan tersebut akan menyebabkan mereka tersiksa dan mengharapkan hal tersebut terus berlanjut. Keadaan diatas tidak hanya terjadi secara sadar namun seringkali juga terjadi secara tidak sadar. 
      Alsan menngapa Franz Kafka menggambarkan Gregor Samsa yang berubah menjadi serangga karena menurutnya manusia sejatinya rindu pada kebebasan, selayaknya binatang yang bebas. Di novela ini Gregor Samsa digambarkan sebagai seseorang yang ingin membebaskan dirinya dari pekerjaan yang memberatkannnya, yang pada akhirnya Gregor Samsa berubah menjadi serangga. Sayangnya  kebebasan yang Gregor Samsa impikan justru menghancurkan dirinya dan keluarganya. Bukan kebahagiaan yang ia dapatkan melainkan kesedihan dan ketidakberdayaan. Keinginan untuk bebas dari pekerjaan yang membebankan memang banyak dirasakan olah banyak orang, namun apa yang tersisa bagi mereka ketika satu-satunya hal yang membuat mereka berguna menghilang?.
    

Jumat, 15 Januari 2021

Resensi : 86


Penulis : Okky Madasari
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Genre : fiksi
Halaman : 256 halaman
ISBN : 978-979-22-6769-3
    Penulis novel ini, Okky Madasari lahir pada 30 Oktober 1984 di Magetan, Jawa Timur. Ia merupakan lulusan Universitas Gajah Maja (UGM) prodi Hubungan Internasional, yang berarti ia memiliki gelar Sarjana Ilmu Politik. Pada awalnya ia berkarir di sebagai wartawan dan mulai menggeluti dunia penulisan. Buku pertamanya (Entrok) diterbitkan pada tahun 2010 saat usianya telah memasuki 26. Yang mana bagi Okky cukup tua karena ia sendiri telah banyak menemui penulis yang telah menerbitkan novelnya bahkan sebelum memasuki kepala dua. Contohnya 18 tahun. Ia juga pernah menemui penulis yang bahkan telah menerbitkan banyak novel di usia yang masih 22 tahun. Novelnya yang berjudul “86” ini muncul akibat pada berbagai keprihatinannya pada negeri ini, ia sendiri berkata tulisannya memang selalu memasukkan apa yang ia prihatinkan, dia berkata bahwa menulis untuk dinikmati saja tidak cukup. Terbuktikan dari seluruh novelnya yang selalu menyajikan berbagai isu baik yang umum maupun jarang dibicarakan.
   Novel 86 ini menceritakan kehidupan Arimbi yang terombang ambing karena berbagai keputusan yang ia buat. Berawal dari tahun 2004 hingga 2007. Arimbi mengalami berbagai konflik yang perlahan merubah dirinya menuju kehancuran. Arimbi yang awalnya hidup seadanya mulai menghalalkan segara cara untuk mencapai apa yang diinginkannya, apa yang biasanya ia anggap tabu perlahan ia anggap biasa saja. Perubahannya menuju kehancuran ini diikuti dengan pengaruh dari orang sekelilingnya, seperti Bu Danti, Ananta, Tutik dan lainnya.
     Novel ini membawa berbagai isu yang sebenarnya tidak berhubungan namun dikemas secara rapi sehingga dapat terhubung antara satu dengan lain secara hebat dan nyaman untuk dibaca. Berbagai isu tersebut merupakan keprihatinan dari Okky Madasari terhadap berbagai hal. Seperti, isu suap, korupsi, LGBT bahkan feminisme.
Okky menyulap berbagai isu tersebut menjadi cerita yang sangat menarik untuk dibaca. 
    Cover versi terbitan PT Gramedia Pustaka Utama untuk novel ini juga sangat menarik, rancangan cover karya Restu Ratnaningtyas ini menyimpan banyak makna tersirat, tulisan judul dari novel ini “86” terbentuk dari gambaran-gambaran apa yang terdapat di dalam novel, sebelum membaca gambaran-gambaran tersebut seolah-olah tidak memiliki makna, namun setelah melihat kembali setelah membaca terdapat berbagai makna dari gambaran-gambaran tersebut yang dapat disadari. Seperti, susunan tangan yang memegang uang yang menggambarkan praktik suap, tangan yang penuh akan cincin mewah dan muka yang tertutup oleh tangan serta dikelilingi oleh uang dan perhiasan yang memberi kesan “tutup mata”. Perpaduan warna putih dan biry pada judul “86” juga seakan-akan menggambarkan kondisi Arimbi sepanjang cerita yang mana warna biru sendiri memiliki makna tenggalam dalam kesedihan.
     Isu yang dibawa oleh Okky di dalam novel ini juga sangat menarik untuk dibaca, seakan-akan pembaca disadarkan akan kebusukan-kebusukan yang terjadi di tanah air. Serta memberikan gambaran kepada pembaca mengenai seseorang yang terlibat dalam kebusukan tersebut. Judul dari novel ini “86” merupakan ungkapan di kepolisian yang memiliki makan sudah beres, tahu sama tahu. Namun, ungkapan “86” lebih sering digunakan sebagai penyelesaian berbagai hal melalui uang, atau yang lebih sering dikenal dengan kata “suap”. Judul dari novel ini sangat sesuai dengan isinya, yang mana novel ini sejak awal hingga akhir banyak sekali kejadian yang berkaitan dengan suap menyuap di dalamnya.
     Sayangnya Okky hanya menceritakan dari sudut pandang dari tokoh yang terlibat saja, namun tidak memberikan gambaran dari sudut pandang dari tokoh yang menolak terlibat, seakan-akan Okky hanya memberi tahu tanpa memberi solusi, serta Okky sendiri kurang memberikan detail pada berbagai hal seperti, apa yang dirasakan Arimbi saat berhubungan seksual dengan Tutik, apa yang dirasakan pengguna narkoba ketika sedang mengonsumsi narkoba, bentuk fisik berbagai tokoh dan lainnya. Yang mana menyebabkan pembaca sulit membayangkan perawakan berbagai tokoh dan juga gambaran latar tempat berbagai kejadian di novel.

Kamis, 14 Januari 2021

Pohon dan Sampah


   Pohon dan sampah, permasalahan besar yang datang dari hal kecil. Mengapa begitu? Perihal sampah seringkali dianggap sepele oleh berbagai orang, ada yang beranggapan cukup dibuang semua beres, ada juga yang membuang ala kadarnya/membuang sembarangan semau mereka. Diantara kedua anggapan diatas, tentu saja lebih baik yang diatas walaupun memang begitu saja belum cukup. Begitupula dengan pohon, daripada sebagai pemasok udara bersih, air ataupun pencegah longsor, pohon lebih sering dianggap sebagai hiasan jalan atau hanya untuk dimanfaatkan nilai ekonlmisnya. Yang menjadi pertanyaannya apa yang menjadi permasalahan dan bagaimana solusinya?.
   Permasalahan dari kedua hal diatas bisa dibilang besar. Yang pertama sampah, jika sampah dibiarkan dibuang sembarangan, tetany akan semakin menumpuk dan menimbulkan berbagai permasalahan, jika dibuang di pinggir jalan tentu akan semakin merembet ke jalanan jika terus menerus dibiarkan, jika di dekat sungai ataupun daerah hutan akan mengganggu ekosistem yang ada, bahkan di beberapa tempat di temukan hewan memakan sampah seperti sapi atau kambing. Yang kedua pohon, seperti yang saya tulis diatas, jika pohon hanya berfungsi sebagai hiasan atau hanya dimanfaatkan secara ekonomis juga tidak bagus. Seperti pohon bakau yang sering ditebang berlebihan karena kayunya yang kokoh, padahal dampak yang di timbulkan jika ditebang berlebihan dapat menyebabkan longsor yang mana sangat merugikan.
    Sebenarnya solusi untuk permasalahan diatas tidaklah sulit, itu jika setiap individu sadar dan mau berkontribusi, sayangnya tidak setiap indvidu mau atau bisa melaksanakannya, bahkan walaupun ada penggeraknya. Contohnya apa yang dialami oleh Sandi Adam atau akrab dipanggil Kang Sandi. Dia merupakan pejuang lingkungan serta salah satu pengurus Bank sampah. Banyak permasalahan yang telah dia hadapi dalam menjaga lingkungan, salah satunya adalah dalam mengelola Bank sampah, untung menjalankan bank sampahnya ia perlu kontribusi masyarakat sekeliling agar memisahkan sampah organik dan non-organik. Sekilas terlihat mudah, namun ada saja yang masih enggan memilah sampahnya sendiri. Permasalahan lainnya adalah ketika dia dan beberapa orang yang membantunya memutuskan menanam 5000 pohon lebih disuatu daerah dekat sungai yang sampahnya telah menumpuk, mereka menanam di atas sampah yang menumpuk yang bahkan hingga melebiha 3 meter tumpukannya, sekilas terdengar aneh, namun mereka benar-benar menanam diatas tumpukan sampah yang ternyata memang berhasil tumbuh berkat campuran organik yang terdapat di dalam sampahnya, sayangnya yang menjadi permasalahannya adalah penolakan dari warga yang tidak terima “tanah mereka” (yang sebenarnya tanah milik pemerinrah daerah) ditanami pohon yang mana tujuannya mencegah tanah longsor menimpa perumahan mereka dan juga untuk menahan air agar dapat mendapat pasokan air ketika dibangun sumur. Yang mana berujung pada pohon-pohon yang tidak terawat dan ditebang sembarangan.
   Untuk mewujudkan permasalahan lingkungan memang memerlukan peran antara pemerintah dan masyarakat, yang sayangnya hingga saat ini keduanya masih minim tindakan. Sosialisasi berperan penting dalam hal ini, untuk mengajak masyarakat mulai sadar akan lingkungannya, namun itu saja masih belum cukup, karrena masih saja ada yang kolot dan sebagainya. Terdapat pula solusi unik yang pernah saya dengar, yang mana cukup ampuh. Yaitu dengan mencap daerah perpohonan atau beberapa tempat yang menjadi target pembuangan sampah secara liar dengan sebutan “angker”. Hal tersebut akan mengurangi penebangan liar dan pembuangan sampah secara liar di daerah yang di cap “angker” tersebut.

Jumat, 08 Januari 2021

Resensi : Gadis Pantai


Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Genre : Fiksi
Penerbit : Hasta Mitra
Halaman : 206
    Gadis Pantai merupakan novel fiksi karangan Pramoedya Ananta Toer yang ia tulis sekitar tahun 1965, seperti novel Pramoedya lainnya, Gadis Pantai juga sempat dilarang beredar atas tudingan berisi ajaran komunisme, bahkan pada saat penangkapan Pramoedya pada oktober 1965, bagian ke-dua dan ke-tiga dari novel ini dibakar tanpa sisa, Pramoedya sendiri pada awalnya memohon agar naskahnya tidak dibakar. Ia bahkan sempat berkata bahwa mereka boleh menyita semua barangnya asal tidak naskahnya, ia memohon agar setidaknya naskah tersebut sekedar disita negara, sayangnya permintaannya tidak digubris sama sekali.
 novel ini menceritakan seorang gadis pantai yang harus menerima nasibnya dinikahkan secara paksa dengan seorang bendoro bupati Jepara oleh kedua orang tuanya, alasan pernikahan tersebut dengan tujuan meningkatkan derajat keluarga dan agar si Gadis Pantai beserta keluarga dapat lebih hidup sejahtera.
   Novel ini berisi berbagai permasalahan yang masih relevan bahkan hingga saat ini. Yang paling menarik bagi saya adalah mengenai keinginan sejati si Gadis Pantai, sepanjang jalannya cerita berkali-kali diceritakan bahwa Gadis Pantai lebih menyukai kehidupannya semasa di pantai, ia ingin hidup lebih bebas dan tanpa dikekang. Pramoedya sendiri juga memiliki prinsip yang demikian, ia pernah berkata pada adiknya Soesilo untuk melakukan apa yang disukainya asal tidak meminta-minta pada orang lain.
   Pramoedya Ananta Toer menulis novel ini berdasarkan hayalannya mengenai sosok neneknya yang ia sendiri tidak tahu kisah hidup bahkan namanya, ia hanya tahu sedikit kehidupannya dari cerita berbagai orang. Saya rasa, tokoh Gadis Pantai ini seperti gambaran ideal seorang tokoh bagi Pramoedya. Selain itu, saya justru merasakan ada sedikit kemiripan antara si Gadis Pantai dengan adik kandung Pramoedya yang bernama Soesilo. Mereka memiliki kemiripan yang mana keduanya sama-sama berusaha mengenal diri mereka sendiri dan memutuskan melakukan apa yang benar-benar mereka inginkan. Jika si Gadis Pantai memutuskan berkelana, Soesilo memutuskan memulung pada masa tuanya.
   Cover dari novel ini juga menarik, yang mana terdapat potret seorang gadis pantai yang sedang duduk dengan latar belakang pantai dan kedua orang tuanya yang berdiri sembari memegang payung. Sangat cocok dengan isinya yang memang ceritanya berputar pada Gadis Pantai dan hubungannya dengan kedua orangtuanya. Pakaian Gadis Pantai juga terlihat lebih mewah jika dibandingkan dengan pakaian kedua orang tuanya, yang semakin memggambarkan kedudukannya sebagai wanita terhormat istri bendoro bupati Jepara.
    Selain covernya, novel ini juga memiliki cerita yang sangat menarik, pembaca disuguhkan dengan perkembangan karakter Gadis Pantai yang semakin berjalannya cerita semakin mengerti apa yang ia inginkan, selain itu terdapat pula berbagai konflik yang terjadi di sekitar Gadis Pantai yang menyebabkan dirinya secara tidak langsung ikut berkembang. Penamaan tokoh di novel ini juga menarik dan menyebabkannya lebih mudah diingat, seperti penamaan Gadis Pantai yang dapat menyebabkan para pembaca mengimajinasikan tokoh tersebut lebih mudah karena namanya, ataupun si dul pendongeng atau yang sering dipanggil dul gendeng oleh berbagai warga sekitar, dul pendongeng memiliki nama yang sangat sesuai dengan kebiasannya, walaupun perannya tergolong kecil, Pramoedya berhasil membuatnya menjadi tokoh yang berkesan dan dapat diingat betul oleh para pembaca.
    Sayangnya, novel ini juga memiliki berbagai kekurangan yang fatal, salah satunya adalah akhir cerita dari novel ini yang cukup menggantung dan beberapa bagian yang terasa kurang, yang mana seharusnya novel ini memiliki bagian ke-dua dan ke-tiga. Nahasnya, salinan dari bagian ke-dua dan ke-tiga dari novel ini sudah tidak tersisa karena sewenang-wenangan yang terjadi pada Pramoedya, salinan dari novel ini dibakar habis oleh para Angkatan Darat pada masa itu, dengan alasan bermuatan ajaran komunis, walaupun bagian pertama ini salinannya selamat, beberapa salinan dari bagian pertama juga hilang sehingga ada beberapa bagian cerita yang terasa kurang, sehingga menyebabkan para pembaca akan merasa cerita di novel ini tidak komplit.

Jumat, 01 Januari 2021

Resensi : Rumah Kaca


Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Genre : fiksi
Penerbit : Lentera Dipantara
ISBN : 979-97312-6-7

   Buku Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer ini merupakan bagian terakhir dari tetralogi Pulau Buru yang ia tulis selama di penjara. Buku ini memiliki perbedaaan yang sangat nampak jika dibandingkan dengan bagian tetralogi Pulau Buru lainnya, jika dibuku pertama hingga ketiga cerita berpusat pada tokoh Minke dan apa  yang terjadi sekitarnya, di buku keempat atau terakhir ini cerita berpusat pada seorang tokoh yang bernama Pangemanann.
   Pangemanann merupakan tokoh yang sangat berlawanan dengan Minke. Minke adalah tokoh pribumi yang memperjuangkan kehidupan bangsanya sedangkan Pangemanann adalah tokoh pribumi yang justru memihak Nederland, hal tersebut terjadi bukan karena keinginan murninya, lebih tepatnya ia mengalami dilema antara mempertahankan posisinya atau memperjuangkan hak bangsanya. Walaupun begitu, Pangemanann merupakan tokoh yang sangat menarik, bukan karena tindakannya patut kita ikuti namun karena tindakannya patut kita renungi. Tindakan yang Pangemanann lakukan sebenarnya merupakan hal yang umum terjadi di maskyarakat, banyak sekali yang mengerjakan suatu hal walaupun berlawanan dengan hati nurani, semata-mata hanya untuk memperolah jabatan atau uang.
     Buku ini berputar pada berbagai hal yang terjadi selepas banyak organisasi baru yang bermunculan, serta berbagai usaha Pangemanann dalam membendung pemberontakan berbagai tokoh dan organisasi pribumi yang bertentangan dengan Nederland, tidak hanya organisasi dan tokoh yang memberontak kebijakan Nederland, Pangemanann juga berurusan dengan kehidupannya yang seiring waktu semakin berantakan, ia juga semakin mempertanyakan tindakannya terhadap bangsanya sendiri, yang mana dalam hati nuraninya ia sebenarnya merasa kasihan dengan bangsanya sendiri.
   Judul dari buku ini sangat menarik, yaitu “Rumah Kaca” selayaknya tanaman di dalam rumah kaca yang dapat senantiasa di pantau bahkan dari luar. Pangemanann di buku ini memiliki peran seperti “pemilik” rumah kaca, ia dapat senantiasa melihat apa yang ada dan terjadi di dalamnya, yang dalam buku ini penghuni rumah kaca tersebut digambarkan sebagai para organisasi dan pribumi yang bertentangan dengan Nederland. Pangemanann dapat sesuka hati melakukan tindakan terhadap apa yang terjadi di rumah kacanya.
   Cover buku ini versi Lentera dipantara juga cukup menarik, alih-alih menampilkan tokoh utama buku ini Pangemanann, Lentera Dipantara justru menampilkan seorang Pribumi yang sedang mengerjakan lahan dengan latar belakang pagar kawat dan di belakangnya terdapat rumah yang terlihat cukup mewah jika melihat pada masa itu, seperti kantor gubernur. Cover ini seakan-akan menampilkan pejabat kantor Nederland yang dapat senantiasa memantau pergerakan pribumi, sesuai judulnya Rumah Kaca.
   Bagian terakhir dari Tetralogi Pulau Buru ini sangat menarik untuk dibaca, karena buku ini menceritakan perjuangan bangsa namun dari sudut pandang penghambat perjuangan bangsa itu sendiri, cukup berbeda dengan buku perjuangan bangsa umumnya yang kebanyakan menceritakan dari sudut pandang pejuang bangsa itu sendiri. Di buku ini kita dapat memposisikan diri kita sebagai penghambat perjuangan bangsa itu sendiri, serta kita dapat mempelajari apasaja yang menyebabkan terhambatnya perjuangan bangsa secara eksternal maupun internal. Menariknya, buku ini menjabarkan hambatan secara internal dengan sangat baik.
   Terlepas dari berbagai kelebihannya, buku ini juga memiliki berbagai kekurangan : seperti bagian tetralogi Pulau Buru lainnya, bahasa yang digunakan di dalam buku ini juga tidak berbeda jauh, yaitu cukup kuno. Banyak sekali tokoh baru yang susah diingat karena banyak diantaranya yang hanya sekedar disebutkan saja namun tidak kedapatan dialog atau bagian tampil. Selain itu, karena tokoh utama dari bagian terakhir dari tetralogi Pulau Buru berganti, tentunya pasti banyak pembaca yang merasa kecewa, apalagi tokoh utama dari buku ini memiliki watak yang sangat berkebalikan dengan tokoh utama buku sebelumnya. Selain itu, bagi beberapa orang yang merasa berterima kasih dengan jasa tokoh asli dari Pangemanann yang juga turut membantu berkembanganya dunia jurnalistik di Indonesia tentu akan tersinggung dengan gambaran Pangemanann di buku ini yang mana digambarkan sebagai seseorang yang keji dan menelantarkan bangsanya sendiri.