Jumat, 24 September 2021

Resensi : 1984



Penulis : George Orwell (Eric Arthur Blair)
Genre : fiksi
Penerbit : Bentang Pustaka
Halaman : 390 halaman

1984, merupakan buku dystopia karangan Eric Arthur Blair atau kerap disapa George Orwell. George Orwell merupakan penulis kelahiran India pada tahun 1907 dan wafat pada 1950, walaupun begitu ia cukup mempunyai darah Inggris. Semasa hidupnya George melewati berbagai kejadian dalam skala antar negara, semisal Great Depression dan Perang Dunia 1 serta Perang Dunia 2. Karena pengalaman tersebut tulisannya sarat akan peperangan, seperti pada buku Animal Farm, dan tentunya 1984 pula.

1984 bukanlah buku yang sepenuhnya fiksi, melainkan berisi apa yang ditakutkan Orwell berdasarkan berbagai peperangan yang dilewatinya, oleh karena itu dalam suatu sisi pengisahan dalam buku ini tampak sangat nyata. Begitu pula background George Orwell yang juga berperan sebagai jurnalis membuatnya tahu betul apa yang terjadi di sekitarnya.

Winston, merupakan tokoh utama dalam buku ini, ia adalah seorang anggota partai yang cukup ketat, hal tersebut dikarenakan negara yang tengah dilanda konflik peperangan antar negara. Dalam hal ini, banyak sekali pengekangan dalam berbagai macam bentuk terhadap warga negara tersebut. Cerita bermulai ketika Winston memutuskan menabrak satu persatu larangan yang diberlakukan.

Buku ini, sangat mencerminkan pemerintahan yang otoriter dan dikuasai oleh oligarki, hal ini bukanlah tanpa alasan dikarenakan sang penulis George secara tidak langsung memaksudkan menampilkan partai yang di dalam buku ini sebagai partai komunis. Banyak sekali hal yang menekankan kesan otoriter dalam buku ini, seperti adanya teleskrin yang memantau gerak-gerik setiap masyarakat terutama anggota partai, hingga adanya Ministry of Truth yang bertugas ‘mengubah’ kenyataan sesuai kehendak partai yang berada dalam kekuasaan.

Salah satu hal yang cukup menarik dalam buku ini adalah konsep bahasa di dalamnya yang tidak umum, yang mana dalam buku ini bahasa tersebut disebut New Speak. Bahasa tersebut merupakan bahasa yang dikembangkan oleh partai otoriter tersebut untuk menggantikan Old Speak. Sekilas nampak biasa saja, namun pergantian tersebut memberi dampak yang sangat besar.

Tentu kita sadar, bahwa bahasa sangatlah penting untuk berkomunikasi, hal tersebut dikarenakan untuk mempermudah kita dalam menyampaikan segala sesuatu, namun tanpa kita sadari apa yang kita ungkapkan tergantung oleh bahasa yang kita ungkapkan. Semisal “Free” dan “Freedom” memiliki makna yang berbeda dan sangat penting dibedakan untuk memperjelas apa yang ingin kita ungkapkan.

Dalam New Speak yang terdapat dalam buku ini, bahasa telah dimodifikasi sekian rupa agar dapat membatasi apa yang diungkapkan oleh masyarakat, sehingga kekuasaan partai tersebut tetap bertahan. Contohnya, dalam bahasa New Speak, tidak ada bahasa spesifik untuk mengungkapkan kejahatan seperti korupsi, nepotisme, otoriter dan sebagainya, yang tersedia hanyalah kata kejahatan saja. Tentunya dengan begitu, masyarakat akan semakin sulit untuk menentangnya karena keterbatasan bahasa dalam pengungkapannya. Hal tersebut, berakhir pada bahasa yang seharusnya digunakan untuk menyampaikan apa yang ingin kita ungkapkan dan sarat dengan kebebasan justru menjadi pengekang kebebasan.

Secara penyampaian, George Orwell secara berhasil menyampaikan isi cerita secara mengalir dan mudah dicerna seperti halnya karya Animal Farm. Sayangnya, penokohan dalam buku inu terkesan sangat kurang, dikarenakan George Orwell lebih memfokuskan pada detail kejadian maupun tempat kejadiannya, sehingga karakter-karakter dalam buku ini justru hamya sebagai penunjang kejadian-kejadian tersebut.

Buku ini cocok dibaca oleh mereka yang menggeluti hukum, sejarah maupun sastra, walaupun buku ini memiliki latar yang sepenuhnya fiksi, tetapi kejadian yang terdapat di dalamnya merupakan sesuatu yang realistis dan sangat bisa terjadi, sehingga bisa dianalisis lebih lanjut dan dikomparasikan dengan kondisi berbagai negara saat ini. Apa yang terdapat di buku ini tidak hanya mengenai negara maupun moral, namun juga memikiki hal yang sangat jarang kita temui dalam karya sastra yang berputar pada konflik negara otoritwr, yaitu bahasa. Buku ini memberi gambaran gamblang mengenai bahasa, baik penerapannya dan sebarapa besar dampak bahasa dalam kesejahteraan suatu negara atau peradaban.

Minggu, 29 Agustus 2021

Lintas Adat Jawa dan Madura



Agama Jawa, merupakan buku hasil penelitian yang dilakukan oleh Clifford Geertz. Buku yang terbit pada 1960 ini berisi penelitiannya pada tahun 1952 – 1956 yang dilakukannya di Mojokuto. Penelitian yang dilakukannya berfokus pada unsur adat dan keagamaan terutama pada 3 golongan Jawa yaitu, Priyayi, Santri dan Abangan.

Penyampaiannya pun dipecah bersasarkan 3 golongan tersebut. Dari Abangan yang digambarkan melakukan Slametan, Sunatan dll. Santri yang identik dengan kelompok agama seperti Muhammadiyah, dan Nadhalatul Ulama, dan Priyayi yang lekat dengan gelar-gelar kehormatan.

Penelitian yang berdasarkan tahun 1950an itu jika dibandingkan dengan kejadian antara Mataram dengan Madura pada 1670an terdapat benang merah diantaranya terutama pada 3 golongan Jawa pada tahun 1950an tersebut.

DIkutip dari buku Trunojo karya Ganal Komandoko, yang berisi perjuangan Trunojoyo dalam meruntuhkan kekuasaan Mataram yang dipimpin oleh Sunan Amangkurat, yang mana terdapat banyak penolakan dikarenakan terlalu mengikut campurkan Belanda dalam segala urusan dan melakukan kerjasama, namun didalihkan penguasaan Mataram atas Belanda. Hal tersebut berkebalikan dengan kondisi Mataram sebelumnya yang mana sangat menolak keras kehadiran Belanda.

Karena kondisi Mataram yang menyebabkan rakyat terutama rakyat Madura bersedih, ditambah duka atas tiadanya dua petinggi Madura yang dicintai, yaitu Panembahan Cakraningrat dan Demang Melayukusuma. Tiadanya Raden Demang Kusuma menyebabkan rakyat mengharapkan Trunojoyo selaku anaknya meneruskan kepimimpinannya di Madura.

Trunojoyo yang dipercayai sebagai keturunan raja-raja Majapahit turut memperkuat harapan rakyat. Dalam hal ini, Trunojoyo dapat dikategorikan sebagai Priyayi, seperti yang digambarkan oleh Geertz, yaitu memiliki garis keturunan dan gelar kehormatan.

Sedangkan rakyat kebanyakan disini dapat dikategorikan seperti Abangan, begitu pula dengan golongan yang memberontak terhadap Sunan Amangkurat dapat dikaterogikan sebagai Santri, walaupun berbeda dengan Priyayi yang cukup fleksibel, secara posisi kedua golongan tersebut cukup mirip dengan beberapa golongan di Madura pada 1670an dalam beberapa aspek kecil.

Adat yang dilakukan pada masa penelitian tahun 1950an tersebut juga banyak yang tetap berlaku hingga saat ini, walaupun beberapa dari adat tersebut banyak yang mengalami perubahan maupun nyaris hilang, dan tentunya adat-adat ini merupakan yang umum di Jawa, tapi tidak berarti sepenuhnya berbeda dengan adat di daerah yang berlokasi di luar Jawa.

Adat-adat tersebut seperti Slametan, Sunatan, penggunaan weton, mengubur ari-ari bayi dan semacamnya. Mengubur ari-ari bayi, tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Jawa saja melainkan oleh daerah lain pula, salah satunya adalah di daerah Madura. Prosesnya pun tidak jauh berbeda, yaitu dikubur, diberi penanda atau semacam kurungan/pencegah hewan lain menggalinya, serta disinari oleh lampu setiap malam hingga selama sekitar 35 hari.

Sekilas kebiasaan turun-menurun tersebut tidak nampak sebagai sebuah hal yang logis, namun jika dihubungkan dengan kodrat manusia yang berasal dari tanah, maka tak salah rasanya jika ari-ari sebaiknya dikuburkan, selain bagian dari tubuh manusia, juga karena sudah tak berfungsi pasca seorang bayi dilahirkan. Begitu pula dengan lampu/penerangan, jika dipikir secara logis dapat berfungsi sebagai pencegah adanya hewan yang berusaha menggalinya. 

Begitu pula Slametan, ritual yang diadakan baik ketika ditimpa hal buruk maupun baik tersebut, bahkan hingga sekarang masih dilakukan bahkan bisa dibilang nyaris dipenjuru Indonesia. Slametan, pada awalnya bertujuan untuk mengumpulkan seluruh masyarakat sekitar maupun arwah untuk saling berkumpul bersama untuk mengucapkan doa. Selain itu, diakhir ritual para masyarakat yang datang juga disuguhi dengan makanan. Jika dilihat dari sudut pandang sosial, slametan merupakan ritual yang terlepas dari kedudukan seseorang, baik kaya maupun miskin, yang mana berbagai macam lapisan berduduk bersama dan mendapatkan perlakuan yang sama pula baik tempat maupun suguhan.

Walaupun begitu ada pandangan berbeda dari kalangan Muhammadiyah, yang mana cukup mempermasalahkan Slametan, bukan dari sisi doanya melainkan dari sisi menyuguhkan makanan. Bagi kalangan Muhammadiyah slametan yang didasarkan atas ditimpa hal buruk tidak seharusnya ditambah dengan memberi konsumsi kepada para masyarakat yang menghadiri melainkan sebaliknya, masyarakat lah yang seharusnya memberi konsumsi kepada pengundang.

Yang terakhir adalah Sunatan atau Khitan. Secara sudut agama khitan memang diwajibkan bagi laki-laki Terutama yang sudah dewasa. Khitan merupakan proses pemotongan daging yang berada di ujung alat kelamin laki-laki, jika dilihat dari sisi medis khitan merupakan hal yang baik untuk dilakukan, karena dapat mencegah penyakit atas kotoran yang terakumulasi di daging ujung alat kelamin laki-laki.

Prosesi Sunatan, umumnya adalah melakukan pemotongan daging baik menggunakan alat tajam seperti pisau, gunting maupun metode laser. Pasca melakukan khitan umumnya seseorang tersebut (jika masih anak-anak) akan dikunjungi untuk dijenguk dan diberikan uang atas hal tersebut. Hal ini tentunya akan berdampak berkurangnya rasa takut bagi anak-anak yang akan dikhitan karena terdapat sesuatu hal baik yang menanti mereka.

Sebenarnya khitan tidak dilakukan kepada kaum laki-laki saja melainkan pada kaum perempuan pula. Perbedaannya adalah perempuan bagian yang dikhitan adalah bagian ujung klitoris. Secara medis banyak pihak yang menentang diadakannya khitan kepada perempuan, karena berbeda dengan laki-laki yang membawa dampak positif, khitan pada perempuan justru  dapat menyebabkan efek negatif, antara lain pendarahan maupun turunnya sensitifitas seksual. Di Mesir bahkan terdapat aturan yang melarang diadakannya khitan kepada kaum perempuan karena membahayakan, sedangkan di indonsia sendiri sejauh ini belum ada aturan ketat yang mengatur terkait khitan terutama larangan khitan kepada kaum perempuan.


Sabtu, 21 Agustus 2021

Kejanggalan Pada Arab Spring dan Penguasaan kembali Taliban



  17 Agustus lalu bertepagan dengan hari kemerdekaan Indonesia, Taliban secara berhasil mengambil alih pemerintahan Afghanistan. Kejadian ini tentu menuai banyak pro dan kontra dari berbagai pihak dikarenakan mengingat kondisi pada penguasaan Taliban pada periode sebelumnya (1996-2001) yang dianggap represif. Yang mana pada saat itu diberlakukan berbagai aturan yang mengekang, seperti melarang wanita bekerja dan bersekolah, membatasi pers dan mengatur terkait pakaian.

  Pada periode yang kali ini, cukup banyak dukungan tertuju kepada Taliban jika dibandingkan sebelumnya, hal tersebut dikarenakan janji-janji yang diberikan pada press conference pada 17 Agustus lalu. Beberapa janji yang mendatangkan dukungan adalah janji untuk membebaskan wanita untuk menempuh pendidikan maupun bekerja, serta akan memperbaiki kerjasama antar negara terutama dibidang ekonomi dengan menerapkan ekonomi terbuka. China yang mana merupakan negara yang tidak mengakui berakhir menerima kerjasama tersebut.

  Namun, Amerika sebagai pihak yang sempat menumbas Taliban pada kekuasaan periode sebelumnya menolak mengakui Afghanistan kekuasaan Taliban, dengan dalih kejadian yang terlibat dikekuasaan sebelumnya. Bentuk penolakan dilakukan melalui pemulangan perdana menteri Amerika beserta tentara yang berada disana. Tidak hanya itu bahkan sebelum Taliban mengambil alih kekuasaan Amerika juga turut menekan Taliban dengan berbagai cara kekerasan salah satunya adalah melalui pengeboman.

 Tindakan Amerika yang ikut campur tersebut tidak hanya terjadi di Afghanistan saja, melainkan di berbagai negara Asia lainnya. Salah satu kejadian yang terhangat adalah demonstrasi masyarakat kepada presiden Filipina Duterte terkait tindakan penumpasan bandar narkoba dan tetkait Laut China Selatan pula. Dalam hal ini Amerika tidak berada dalam pihak pemerintahan melainkan masyarakat. Hal ini sekali lagi merupakan suatu keanehan dikarenakan posisi Duterte yang anti-Amerika. Dengan ini Amerika seakan menyetir pandangan masyarakat Filipina yang sebelumnya cendetung anti-Amerika pula.

Salah satu kejadian lainnya yang cukup mirip adalah Arab Spring. Kejadian yang berlangsung sejak 2010 tersebut cukup mirip dengan yang terjadi di Afghanistan baru-baru ini. Tidak hanya karena sama-sama mayoritas islam, namun juga karena keterlibatan Amerika di dalamnya.

Arab Spring merupakan aksi revolusi untuk menumpas kepemimpinan diktator di timur tengah. Yaitu dengan membawa demokrasi. Kejadian ini terjadi di berbagai negara timur tengah, baik Libya, Mesir, Tunisia dan lainnya. Namun, hingga kini aksi-aksi yang berrlangsung sejak 2010 tak kunjung memberikan hasil baik.
Arab Spring berawal dari aksi bakar diri seseorang yang bernama Mohamed Bouazizi di Tunisia sebagai bentuk kekesalan atas pemerintah. Kekesalan yang disampaikannya adalah ketika dirinya dirazia ketika tidak memiliki surat izin berjualan. Berawal dari situ satu-persatu demonstrasi terjadi di Tunisia dan menyebar di negara Arab lainnya.

Korban dari Arab Spring sejauh ini diperkirakan lebih dari 61.000 jiwa. Korban tersebut beberapa ditimbulkan oleh kekerasan kepada demonstran oleh aparat pemerintah. Seperti halnya di Arab saudi.

Pada saat itu di Arab Saudi sendiri terdapat larangan bagi yang melakukan demonstrasi dengan ancaman dipenjara. Namun, yang terjadi justru lebih parah dari hal tersebut, yaitu adanya penyerangan yang bahkan menimbulkan kematian tidak hanya kepada demonstran bahkan terdapat pula kepada jurnalis asal Amerika hingga meninggal.

Anehnya, hal ini tidak mendapat kecaman dari pihak Amerika. Dikutip dari democratics debate di Amerika yang terjadi pada 2018 pemandu debat membawakan hasil bukti dari CIA atas tindakan Arab Saudi kepada jurnalis Amerika tersebut yang bahkan atas persetujuan Raja Salman. Pada saat itu Biden menjanjikan akan memberi tindak keras kepada Arab Saudi.

Pada 2021 di masa kepemimpinannya, Joe Biden mengungkapkan bahwa tidak memberi tindak tegas kepada Arab Saudi, dan bersamaan dengan itu Amerika menyatakan akan melakukan recalibrate dengan Arab Saudi.

Berdasarkan berbagai kejadian diatas kita dapat mengetahui bahwa dalam campur tangan Amerika di suatu konflik tindakan yang diambil kerap bedasar keuntungan pula, seperti halnya pemanfaatan Opium di Afghanistan, campur tangan dalam Laut China Selatan, dan mempertahankan kerjasama dengan Saudi Arabia.

Senin, 09 Agustus 2021

Resensi : Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan


Penulis : Soe Hok Gie
Genre : non-fiksi
Penerbit : Bentang
Halaman : 319 Halaman

Soe Hok Gie  merupakan mahasiswa hingga dosen di Universitas Indonesia, ia dikenal melalui tulisan-tulisannya yang bernuansa sejarah, hal tersebut bukanlah tanpa alasan dikarenakan dirinya merupakan mahasiswa fakultas sastra. 

Buku ini merupakan versi publikasi dari skripsi Soe Hok Gie, yang terbit pada tahun 1997 dengan pengantar Ahmad Syafii Ma’arif, dan tentunya beserta perbaikan dalam tata bahasa pula. Karena buku yang satu ini adalah karya skripsi Soe Hok Gie, oleh karena itu berisikan hal-hal yang bersifat objektif. Dan fokus dari buku ini adalah gejolak dalam tubuh PKI itu sendiri, dari pra-proklamasi hingga peristiwa pemberontakan Madiun.

Pada buku ini konflik berputar pada internal PKI, dan tokoh-tokoh yang paling sering muncul antara lain, Alimin, Musso, Tan Malaka dan lainnya. Salah satunya adalah pada saat peristiwa pra-proklamasi terutama saat Alimin memutuskan melakukan pemberontakan kepada Belanda, yang mana ditolak tegas oleh Tan Makalaka karena terlalu terburu-buru. Tidak hanya Tan Malaka, bahkan pihak Moskow sendiri pada saat itu menolak keras. 

Permasalahan lainnya adalah kesalahan pemuda Indonesia pada saat itu dalam mengartikan revolusi. Hal itu tergambarkan dari sikap-sikap mereka yang terlalu sembrono dan terlalu cepat mengamini hal-hal yang berbau perlawanan. Salah satunya ada ketika para pemuda menuduh seorang wanita mata-mata hanya dikarenakan memukul ibu tua, padahal fakta sebenarnya sangatlah berbeda dari yang mereka duga, hal tersebut merupakan bentuk sikap mengamini terlalu cepat, dan kurang memandang sisi lain. Begitu pula sikap mengartikan seks bebas sebagai bentuk revolusi, hingga paksaan yang mereka lakukan kepada Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan.

Sikap tersebut bukan berarti telah hilang dari pemuda Indonesia saat ini walaupun pada masa dan kondisi yang sangat berbeda, tidak dapat kita pungkiri, bahkan diantara kita sendiri terlalu terburu-buru dalam melakukan “perlawanan” dalam artian mengambil suatu sikap dalam suatu hal. Serta mengamini segala sesuatu dengan mudahnya. Salah satunya adalah Pancasila, tidak hanya pemuda bahkan orang tua sekali pun banyak yang terlalu mengagungkan Pancasila, tentu bukanlah hal yang burung jika dibarengi dengan pengkajian plus minusnya, namun sayangnya yang kerap kali terjadi hanya bagus-bagusnya saja. Pancasila pun perlahan ibarat sesuatu kekuasaan tertinggi yang tidak bisa diganggu gugat, padahal mau sebaik apa pun pasti ada borok di dalamnya.

Seperti kata Fahrudin Faiz, Pancasila itu bukan kanan, bukan kiri serta bukan tengah pula. Pancasila disesuaikan dengan arah yang diinginkan oleh berkuasa saat itu. Oleh karena itu tidak wajar jika dibilang sempurna.

Jika berdasarkan sampulnya, buku ini cukup menarik, dikarenakan didominasi warna hitam dan merah yang cukup identik dengan komunis serta plakat tanda kekiri dan lurus yang cukup menggambarkan judul dan isinya.

Secara isi, Soe Hok Gie menyampaikannya tidak secara kaku, terlihat dari latar waktu kejadian yang tidak ditempatkan melakui sub-judul, melainkan diselipkan sehingga memiliki sensasi yang cukup mirip dengan membaca novel, hal lainnya adalah minimnya detail kejadian justru menjadi nilai plus dalam buku ini. Karena secara berhasil mengurangi kekakuan isi buku. 

Bagi saya sendiri, buku ini sangat layak di baca terutama sejak pelajar menengah atas, dikarenakan  banyak dari kejadian pada buku ini termasuk dalam kurikulum pelajaran Sejarah pada tahap menengah atas, namun tentunya isi dari buku ini berbeda dengan buku paket yang terlalu banyak kejadian kontroversal di dalamnya, sehingga diharapkan melalui buku ini dapat ditemukan hal yang berbeda dan dapat digunakan sebagai pembanding dengan buku paket sekolah.

Karena kurikulum pelajaran sejarah di sekolah menengah pada saat ini cukup miris, dikarenakan ketakutan berlebih serta trauma atas pemberontakan PKI menyebabkan generasi muda saat ini tidak dapat akses sejarah yang sesungguhnya dari yang diajarkan sekolah. Bersama dengan tulisan ini saya turut berharap akan perbaikan kurikulum pelajaran sejarah pada masa kini, alih-alih membatasi pengetahuan pelajar akan lebih baik jika diungkap faktanya saja asalkan harus disertai dengan pengarahan oleh pendidik pula.

Rabu, 07 Juli 2021

Sang Penari



Sang penari, merupakan film yang rilis pada 10 November 2011 disutradarai oleh Ifa Isfansyah. Film ini menceritakan mengenai perjalanan dua tokoh Srintil dan Rasus yang diceritakan dengan alur mundur, tidak seperti film romansa pada umumnya, film yang satu ini lebih condong ke arah romansa kelam, yang mana kedua tokohnya memiliki prinsip dan tujuan yang berbeda, Srintil yang tidak inging berhenti menjadi penari ronggeng dan Rasus yang bergabung ke kemiliteran.

Film ini didasari pada novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, yang terbit pada tahun 1982, masa orde baru. Secara adaptasi banyak yang beranggapan film ini cukup berbeda dengan sumbernya, dari segi penceritaan dan kefrontalan dalam menggambarkan suasana didalamnya, terutama disisi pergerakan partai komunis yang tak digambarkan secara eksplisit di novelnya.

Secara meluas, film ini tidak hanya berkisah mengenai romansa antara penari ronggeng dan seorang tentara, namun juga pergerakaan partai komunis. Jika dilihat berdasarkan latar waktunya, film ini berlatar pada tahun 1960-1975 dan dibagi menjadi 3 bagian, pada tahun 1960, 1965, dan 1975. Film ini cukup menggambarkan pergerakan partai komunis dalam skala kecil yaitu didaerah perdesaan, yang mengambil kejadian pra G30SPKI, saat G30SPKI, dan pasca G30SPKI.

Jika mengambil sisi pergerakan partai komunis, film ini menampilkan partai tersebut lebih secara netral, tidak seperti kebanyakan film terkait partai komunis lainnya yang lebih menekankan pada keburukan partai komunis saja, sedangkan film yang satu ini tidak serta-merta menggambarkan adegan dengan pergerakan tersebut dengan penuh darah, namun juga pergerakan-pergerakan lainnya seperti pada saat upaya memerahkan desa Dukuh Paruk.

Disitu terlihat secara jelas peran Bakar sebagai penyebar ajaran partai komunis, walaupun dirinya melakukannya dengan cara manipulatif, seperti dengan memberikan iming-iming bantuan, hingga menanfaatkan warga desa Dukuh Paruk yang buta huruf.

Di film tersebut juga menampilkan budaya leluhur yang justru dapat berujung destruktif, salah satunya yaitu tari ronggeng itu sendiri, seperti apa yang diucapkan berbagai tokoh di film ini berkali-kali yang mana seorang penari ronggeng juga harus bisa mengontrol laki-laki dalam artian bisa memuaskan hasrat seksual laki-laki secara fisik. Kita akan berkali-kali dihadapi dengan tokoh Srintil yang merasa tidak nyaman dengan kondisinya tersebut, karena apa yang diinginkannya adalah menari bukan memenuhi hasrat laki-laki yang tidak dikenalnya, itulah yang menyebabkan pergolakan batin dalam dirinya disepanjang film.

Bagian lainnya adalah kepercayaan mistik warga desa Dukuh Paruk yang sangat mengagungkan makam leluhurnya, dapat kita lihat dalam berbagai adegan, ketika terdapat masalah yang menimpa desa, apa yang mereka utamakan adalah mengunjungi makam tersebut untuk meminta bantuan. Hal ini juga berhubungan dengan kondisi desa Dukuh Paruk yang cukup terisolasi dari dunia luar, tampak dari warganya yang buta huruf dan tidak adanya sekolah yang tampak di film tersebut.

Dari sisi sinematografis, film ini secara sukses menghidupkan cerita didalamnya nampak seperti halnya Indonesia Pada tahun 60an dan 70an, hal tersebut nampak dari penggunaan filter warna yang nampak mentah seperti rekaman film lawas, yang mana tentu akan menyebabkan penonton terbawa dengan suasana pada tahun itu.

Selain itu, penggunaan bahasa daerah di film ini juga semakin membuatnya tampak lebih natural, perpaduan bahasa Jawa dan Indonesia cukup menggambarkan suasana di desa, walaupub tentunya bagi penonton non-Jawa akan cukup kesulitan mencerna arti dari tiap kata yang diucapkan oleh tokoh dalam film ini.

Yang cukup unik  dari film ini adalah berbeda dengan film terkait komunis yang kerap sempat dilarang tayang lainnya, film ini terbebas dari hal tersebut walaupun sempat beberapa kali menampilkan kekerasan dari tentara kepada orang-orang yang dianggap bagian dari PKI.

Ahmad Tohari sebagai penulis Ronggeng Dukuh Paruk mengapresiasi sutradara film ini karena telah secara berani menampilkan adegan-adegan yang sensitif terkait komunis, dan sutradara dari film ini mengatakan bahwa dengan tidak adanya larangan tayang film ini merupakan sebuah kemajuan, jika kita berkaca pada kejadian-kejadian lalu yang mana kerap kali karya yang menampilkan partai komunis dibredel.

Akhir kata, film ini sangat layak ditonton baik sebagai hiburan maupun secara historis, latar dan pergerakan komunis serta budaya yang terdapat di film ini dapat dibilang akurat, sehingga tidak menimbulkan misinformasi.

Jumat, 02 Juli 2021

Resensi : Dunia Sophie


Penulis : Jostein Gaarder
Genre : Fiksi
Penerbit : Mizan
ISBN : 978-979-433-574-1

Jostein terkenal akan penceritaan dalam novelnya yang menggunakan sudut pandang anak-anak, salah satunya ada novelnya yang satu ini, Dunia Sophie. Pria kelahiran tersebut 8 Agustus 1952 mulai dikebal setelah penjualan nov Dunia Sophie melunjak disertai dengan merebaknya terjemahan dari novel tersebut.

Dunia Sophie merupakan novel yang menceritakan perkembangan filsafat dari zaman Yunani hingga modern, yang dikemas dalam pertualangan si Sophie, anak berusia 14 tahun yang penuh akan rasa penasaran. Sophie mempelajari filsafat di usianya yang masih beli tersebut, salah satunya adalah filsafat ekstensialisme.

Filsafat ekstensialisme dalam novel ini dihadapkan pada sudut pandangan beberap filsuf, seperti Rene Descartes ataupun Jean Paul Sartre. Secara umum, pemikiran ekstensialisme ala Rene Descartes lebih disegani oleh berbagai orang, terutama pada ucapannya yang berbunyi “Aku berpikir maka aku ada”. Sedangkan Sartre berpikirian sebaliknya walaupun secara tersirat, ia meyakini bahwasanya eksistensi mendahului esensi.

Sartre mengungkapkan bahwa ekstensialisme adalah humanisme, ungkapan tersebut sempat disinggung sedikit di buku ini. Apa yang Sartre maksud dengan humanisme disini bukanlah humanisme yang seperti kebanyakan filsuf menjelaskannya. Namun, yang ia anggap humanisme disini adalah humanisme yang sesungguhnya, yang tidak terintervensi dengan hal diluar “human” itu sendiri. Oleh karena itu ia menganut ateisme.

Sartre mempercayai bahwasanya esensi tidak bisa mendahului eksistensi, entah itu bagi ekstensialisme kristen maupun ekstensialisme atheis. Untuk menciptakan esensi tersebut, harus ada pengada terlebih dahulu, yaitu eksistensinya. Esensi tersebut tercipta setelah eksistensi melakukan pengadaan yang mana tentunya juga memerlukan konstribusi dari eksistensi lainnya. Oleh karena itu eksistensi mendahului esensi.

Sartre juga menegaskan bahwasanya eksistensialisme bukanlah filsafat yang berserah pada keadaan, bukan seperti nihilsme. Justru ia menegaskan manusia adalah mahluk yang bebas, namun dibalik kebebasan tersebut terdapat harga yang harus dibayar, yaitu tanggung jawab akan kebebasan yang diambil.

Baik seseorang itu melakukan keputusan apa pun atau tidak mengambil keputusan sama sekali, terdapat pertanggung jawaban yang membebankannya. Oleh karena itu manusia adalah mahluk yang terbelenggu oleh kebebasannya sendiri.

Untuk menjadikan kebebasan tersebut hal yang tidak terlalu memberatkan, adalah dengan menjauhkan diri dari bad faith. Baid faith artinya merupakan kepercayaan yang buruk/korosif. Yang Sartre maksud adalah jangan fanatik pada suatu hal dan bentuklah diri berdasarkan keinginan diri yang murni.

Sartre menganggap, bahwa antara suatu orang dengan orang lainnya selalu terjadi konflik, yaitu saling mengobjekan orang lain. Ketika berbicara dengan orang lain tentunya kita akan memposisikan diri sebagai subjek dan orang lain sebagai objek, begitu juga sebaliknya. Itulah yang Sartre sebut sebagai konflik tak berujung.

Kita akan selalu menekankan apa yang faktual bagi kita secara subjektif, sehingga ketika berhadapan dengan orang yang berbeda, penyikapan kita akan berbeda pula, dengan cara mengusahakan faktual subjektif orang lain kepada kita terpenuhi bagi mereka. Itulah yang Sartre anggap sebagai bad faith.

Buku ini cocok sekali di baca bagi remaja, karena terdapat banyak filsafat yang bisa diterapkan, terutama bagi mereka yang sedang berusaha membentuk esensinya, karen terdapat banyak tokoh filsuf dibuku ini yang akan menjelaskan pembenaran akan suatu kejadian, yang mana bisa digunakan sebagai acuan oleh pembaca, namun tentu saja dengan memilahnya.

Filsafat jika diibaratkan adalah sebuah senjata, yang mana dapat bermakna baik jika digunakan dalam waktu yang tepat, serta begitu juga sebaliknya. Namun di buku ini penjelasan yang disampaikan tidak segamblang sebagaimana filsuf itu sendiri yang menjelaskannya melalui bukunya. Oleh karena itu perlu dilakukan pencarian lebih lanjut mengenai filsafat dalam buku ini.

Sabtu, 19 Juni 2021

Pemahaman Mengenai Ganja di Indonesia


Berdasarkan pemberitaan Tempo.co, beberapa waktu lalu  pada 11 Juni, Anji selaku musisi ternama diamankan dikarenakan dugaan memakai dan menyimpan ganja. Bersamaan sengan diamankannya Anji, barang bukti berupa ganja turut diamankan, beserta buku Hikayat Ganja yang nyaris diamankan pula, walau akhirnya tidak jadi dikarenakan tak dapat dijadikan barang bukti karena bersifat keilmuan sesuai dengan pasal 39 ayat (1) KUHAP

Hal tersebut disampaikan langsung oleh Erasmus Napitupulu, direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Ia menyayangkan hal tersebut, serta berharap ganja tak dipandang sebelah mata semata-mata sebagai narkoba saja melainkan memiliki dampak positif yaitu untuk pengobatan medis.

Berdasarkan kejadian tersebut, kita pada akhirnya mengetahui bahwasanya pengetahuan orang Indonesia mengenai ganja sangatlah, bahkan setingkat kepolisian sekalipun, hal tersebut bukanlah tanpa alasan karena berdasarkan UU saja, penggunaan ganja benar-benar dilarang bahkan untuk medis sekalipun, begitupula untuk sekadar meneliti saja dilarang, hal itu tertuang pada pasal 8 ayat (1) Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika.

Dilarangnya penelitian terhadap ganja tentu menyebabkan minimnya informasi terkait tanaman tersebut, yang mana semakin mengkungkung pengetahuan khalayak umum, sehingga semakin menyulitkan pemanfaatan tanaman tersebut untuk hal yang positif seperti untuk medis. Dengan begitu, yang tersisa hanyalah pengetahuan terkait keberbahayaannya saja yang mana menyebabkan kesalahan dalam penanganannya.
 
Kesalahan penanganannya tersebut kerap kali terjadi, dan hal tersebut baru saja dialami kembali, kali ini oleh BNN dalam melenyapkan bukti ganja, kejadian yang baru saja terjadi pada 6 April lalu. Pada saat itu BNN memutuskan membumi hanguskan ganja untuk melenyapkannya, sekilas akan tampak keheroikan mereka dalam menanganinya, namun sebenarnya cara tersebut bukanlah cara terbaik, karena asap yang ditimbulkan akan terhirup hingga pada akhirnya timbullah efek yang sama seperti pemakai ketika terhirup. Dari situ, timbullah kontradiksi yang mana tujuannya melenyapkan agar tidak dipakai, tetapi justru melenyapkannya dengan cara yang menyebabkan banyak orang mengalami efek yang sama dengan pemakai.

Dengan begitu, dilarangnya penelitian terhadap ganja sama saja dengan membiarkan ketidaktahuan terhadap tanaman tersebut, begitu juga dengan pemakaiannya untuk medis, padahal penggunaan ganja di luar sana untuk medis dilegalkan, namun tidak dengan di Indonesia, yang mana pada akhirnya pelarangan ini pun menimbulkan korban, salah satunya adalah apa yang dialami oleh istri Fidelis Arie Suderwato.

Apa yang dialami Fidelis 2017 lalu merupakan kejadian yang mengiris hati, dirinya pada saat itu mendapati istrinya terjangkit penyakit kronis yang mengharuskannya diobati dengan ganja, namun karena larangan penggunaan ganja untuk medis menyebabkan istrinya tidak mendapatkan pengobatan secara optimal, hingga akhirnya Fidelis pun mengambil jalan yang ilegal secara hukum, yaitu menanamnya sendiri di pekarangannya.

Naas, nasib buruk yang menimpanya, dirinya ditahan dikarenakan menyimpan ganja, walaupun apa yang dilakukannya merupaka  hal positif, namun UU yang berlaku berkata lain, sehingga dirinya mendekam di penjara meninggalkan istrinya yang pada akhirnya wafat karena tidak mendapatkan perawatan secara optimal.

Kejadian-kejadian tersebut tentunya menimbulkan berbagai gerakan legalisasi ganja, karena peraturan yang terdapat pada UU tersebut pada penerapannya justru menimbulkan kerugian, alih-alih mencegah timbulnya korban karena ganja yang terjadi justru sebaliknya, sudah sewajarnya berkaca dengan berbagai kejadian tersebut setidaknya ada pertimbangan untuk perubahan bunyi pasal terkait ganja tersebut, pelegalan di bidang medis beserta penelitian merupakan langkah awal yang seharusnya ditempuh.