Minggu, 29 Agustus 2021

Lintas Adat Jawa dan Madura



Agama Jawa, merupakan buku hasil penelitian yang dilakukan oleh Clifford Geertz. Buku yang terbit pada 1960 ini berisi penelitiannya pada tahun 1952 – 1956 yang dilakukannya di Mojokuto. Penelitian yang dilakukannya berfokus pada unsur adat dan keagamaan terutama pada 3 golongan Jawa yaitu, Priyayi, Santri dan Abangan.

Penyampaiannya pun dipecah bersasarkan 3 golongan tersebut. Dari Abangan yang digambarkan melakukan Slametan, Sunatan dll. Santri yang identik dengan kelompok agama seperti Muhammadiyah, dan Nadhalatul Ulama, dan Priyayi yang lekat dengan gelar-gelar kehormatan.

Penelitian yang berdasarkan tahun 1950an itu jika dibandingkan dengan kejadian antara Mataram dengan Madura pada 1670an terdapat benang merah diantaranya terutama pada 3 golongan Jawa pada tahun 1950an tersebut.

DIkutip dari buku Trunojo karya Ganal Komandoko, yang berisi perjuangan Trunojoyo dalam meruntuhkan kekuasaan Mataram yang dipimpin oleh Sunan Amangkurat, yang mana terdapat banyak penolakan dikarenakan terlalu mengikut campurkan Belanda dalam segala urusan dan melakukan kerjasama, namun didalihkan penguasaan Mataram atas Belanda. Hal tersebut berkebalikan dengan kondisi Mataram sebelumnya yang mana sangat menolak keras kehadiran Belanda.

Karena kondisi Mataram yang menyebabkan rakyat terutama rakyat Madura bersedih, ditambah duka atas tiadanya dua petinggi Madura yang dicintai, yaitu Panembahan Cakraningrat dan Demang Melayukusuma. Tiadanya Raden Demang Kusuma menyebabkan rakyat mengharapkan Trunojoyo selaku anaknya meneruskan kepimimpinannya di Madura.

Trunojoyo yang dipercayai sebagai keturunan raja-raja Majapahit turut memperkuat harapan rakyat. Dalam hal ini, Trunojoyo dapat dikategorikan sebagai Priyayi, seperti yang digambarkan oleh Geertz, yaitu memiliki garis keturunan dan gelar kehormatan.

Sedangkan rakyat kebanyakan disini dapat dikategorikan seperti Abangan, begitu pula dengan golongan yang memberontak terhadap Sunan Amangkurat dapat dikaterogikan sebagai Santri, walaupun berbeda dengan Priyayi yang cukup fleksibel, secara posisi kedua golongan tersebut cukup mirip dengan beberapa golongan di Madura pada 1670an dalam beberapa aspek kecil.

Adat yang dilakukan pada masa penelitian tahun 1950an tersebut juga banyak yang tetap berlaku hingga saat ini, walaupun beberapa dari adat tersebut banyak yang mengalami perubahan maupun nyaris hilang, dan tentunya adat-adat ini merupakan yang umum di Jawa, tapi tidak berarti sepenuhnya berbeda dengan adat di daerah yang berlokasi di luar Jawa.

Adat-adat tersebut seperti Slametan, Sunatan, penggunaan weton, mengubur ari-ari bayi dan semacamnya. Mengubur ari-ari bayi, tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Jawa saja melainkan oleh daerah lain pula, salah satunya adalah di daerah Madura. Prosesnya pun tidak jauh berbeda, yaitu dikubur, diberi penanda atau semacam kurungan/pencegah hewan lain menggalinya, serta disinari oleh lampu setiap malam hingga selama sekitar 35 hari.

Sekilas kebiasaan turun-menurun tersebut tidak nampak sebagai sebuah hal yang logis, namun jika dihubungkan dengan kodrat manusia yang berasal dari tanah, maka tak salah rasanya jika ari-ari sebaiknya dikuburkan, selain bagian dari tubuh manusia, juga karena sudah tak berfungsi pasca seorang bayi dilahirkan. Begitu pula dengan lampu/penerangan, jika dipikir secara logis dapat berfungsi sebagai pencegah adanya hewan yang berusaha menggalinya. 

Begitu pula Slametan, ritual yang diadakan baik ketika ditimpa hal buruk maupun baik tersebut, bahkan hingga sekarang masih dilakukan bahkan bisa dibilang nyaris dipenjuru Indonesia. Slametan, pada awalnya bertujuan untuk mengumpulkan seluruh masyarakat sekitar maupun arwah untuk saling berkumpul bersama untuk mengucapkan doa. Selain itu, diakhir ritual para masyarakat yang datang juga disuguhi dengan makanan. Jika dilihat dari sudut pandang sosial, slametan merupakan ritual yang terlepas dari kedudukan seseorang, baik kaya maupun miskin, yang mana berbagai macam lapisan berduduk bersama dan mendapatkan perlakuan yang sama pula baik tempat maupun suguhan.

Walaupun begitu ada pandangan berbeda dari kalangan Muhammadiyah, yang mana cukup mempermasalahkan Slametan, bukan dari sisi doanya melainkan dari sisi menyuguhkan makanan. Bagi kalangan Muhammadiyah slametan yang didasarkan atas ditimpa hal buruk tidak seharusnya ditambah dengan memberi konsumsi kepada para masyarakat yang menghadiri melainkan sebaliknya, masyarakat lah yang seharusnya memberi konsumsi kepada pengundang.

Yang terakhir adalah Sunatan atau Khitan. Secara sudut agama khitan memang diwajibkan bagi laki-laki Terutama yang sudah dewasa. Khitan merupakan proses pemotongan daging yang berada di ujung alat kelamin laki-laki, jika dilihat dari sisi medis khitan merupakan hal yang baik untuk dilakukan, karena dapat mencegah penyakit atas kotoran yang terakumulasi di daging ujung alat kelamin laki-laki.

Prosesi Sunatan, umumnya adalah melakukan pemotongan daging baik menggunakan alat tajam seperti pisau, gunting maupun metode laser. Pasca melakukan khitan umumnya seseorang tersebut (jika masih anak-anak) akan dikunjungi untuk dijenguk dan diberikan uang atas hal tersebut. Hal ini tentunya akan berdampak berkurangnya rasa takut bagi anak-anak yang akan dikhitan karena terdapat sesuatu hal baik yang menanti mereka.

Sebenarnya khitan tidak dilakukan kepada kaum laki-laki saja melainkan pada kaum perempuan pula. Perbedaannya adalah perempuan bagian yang dikhitan adalah bagian ujung klitoris. Secara medis banyak pihak yang menentang diadakannya khitan kepada perempuan, karena berbeda dengan laki-laki yang membawa dampak positif, khitan pada perempuan justru  dapat menyebabkan efek negatif, antara lain pendarahan maupun turunnya sensitifitas seksual. Di Mesir bahkan terdapat aturan yang melarang diadakannya khitan kepada kaum perempuan karena membahayakan, sedangkan di indonsia sendiri sejauh ini belum ada aturan ketat yang mengatur terkait khitan terutama larangan khitan kepada kaum perempuan.


Sabtu, 21 Agustus 2021

Kejanggalan Pada Arab Spring dan Penguasaan kembali Taliban



  17 Agustus lalu bertepagan dengan hari kemerdekaan Indonesia, Taliban secara berhasil mengambil alih pemerintahan Afghanistan. Kejadian ini tentu menuai banyak pro dan kontra dari berbagai pihak dikarenakan mengingat kondisi pada penguasaan Taliban pada periode sebelumnya (1996-2001) yang dianggap represif. Yang mana pada saat itu diberlakukan berbagai aturan yang mengekang, seperti melarang wanita bekerja dan bersekolah, membatasi pers dan mengatur terkait pakaian.

  Pada periode yang kali ini, cukup banyak dukungan tertuju kepada Taliban jika dibandingkan sebelumnya, hal tersebut dikarenakan janji-janji yang diberikan pada press conference pada 17 Agustus lalu. Beberapa janji yang mendatangkan dukungan adalah janji untuk membebaskan wanita untuk menempuh pendidikan maupun bekerja, serta akan memperbaiki kerjasama antar negara terutama dibidang ekonomi dengan menerapkan ekonomi terbuka. China yang mana merupakan negara yang tidak mengakui berakhir menerima kerjasama tersebut.

  Namun, Amerika sebagai pihak yang sempat menumbas Taliban pada kekuasaan periode sebelumnya menolak mengakui Afghanistan kekuasaan Taliban, dengan dalih kejadian yang terlibat dikekuasaan sebelumnya. Bentuk penolakan dilakukan melalui pemulangan perdana menteri Amerika beserta tentara yang berada disana. Tidak hanya itu bahkan sebelum Taliban mengambil alih kekuasaan Amerika juga turut menekan Taliban dengan berbagai cara kekerasan salah satunya adalah melalui pengeboman.

 Tindakan Amerika yang ikut campur tersebut tidak hanya terjadi di Afghanistan saja, melainkan di berbagai negara Asia lainnya. Salah satu kejadian yang terhangat adalah demonstrasi masyarakat kepada presiden Filipina Duterte terkait tindakan penumpasan bandar narkoba dan tetkait Laut China Selatan pula. Dalam hal ini Amerika tidak berada dalam pihak pemerintahan melainkan masyarakat. Hal ini sekali lagi merupakan suatu keanehan dikarenakan posisi Duterte yang anti-Amerika. Dengan ini Amerika seakan menyetir pandangan masyarakat Filipina yang sebelumnya cendetung anti-Amerika pula.

Salah satu kejadian lainnya yang cukup mirip adalah Arab Spring. Kejadian yang berlangsung sejak 2010 tersebut cukup mirip dengan yang terjadi di Afghanistan baru-baru ini. Tidak hanya karena sama-sama mayoritas islam, namun juga karena keterlibatan Amerika di dalamnya.

Arab Spring merupakan aksi revolusi untuk menumpas kepemimpinan diktator di timur tengah. Yaitu dengan membawa demokrasi. Kejadian ini terjadi di berbagai negara timur tengah, baik Libya, Mesir, Tunisia dan lainnya. Namun, hingga kini aksi-aksi yang berrlangsung sejak 2010 tak kunjung memberikan hasil baik.
Arab Spring berawal dari aksi bakar diri seseorang yang bernama Mohamed Bouazizi di Tunisia sebagai bentuk kekesalan atas pemerintah. Kekesalan yang disampaikannya adalah ketika dirinya dirazia ketika tidak memiliki surat izin berjualan. Berawal dari situ satu-persatu demonstrasi terjadi di Tunisia dan menyebar di negara Arab lainnya.

Korban dari Arab Spring sejauh ini diperkirakan lebih dari 61.000 jiwa. Korban tersebut beberapa ditimbulkan oleh kekerasan kepada demonstran oleh aparat pemerintah. Seperti halnya di Arab saudi.

Pada saat itu di Arab Saudi sendiri terdapat larangan bagi yang melakukan demonstrasi dengan ancaman dipenjara. Namun, yang terjadi justru lebih parah dari hal tersebut, yaitu adanya penyerangan yang bahkan menimbulkan kematian tidak hanya kepada demonstran bahkan terdapat pula kepada jurnalis asal Amerika hingga meninggal.

Anehnya, hal ini tidak mendapat kecaman dari pihak Amerika. Dikutip dari democratics debate di Amerika yang terjadi pada 2018 pemandu debat membawakan hasil bukti dari CIA atas tindakan Arab Saudi kepada jurnalis Amerika tersebut yang bahkan atas persetujuan Raja Salman. Pada saat itu Biden menjanjikan akan memberi tindak keras kepada Arab Saudi.

Pada 2021 di masa kepemimpinannya, Joe Biden mengungkapkan bahwa tidak memberi tindak tegas kepada Arab Saudi, dan bersamaan dengan itu Amerika menyatakan akan melakukan recalibrate dengan Arab Saudi.

Berdasarkan berbagai kejadian diatas kita dapat mengetahui bahwa dalam campur tangan Amerika di suatu konflik tindakan yang diambil kerap bedasar keuntungan pula, seperti halnya pemanfaatan Opium di Afghanistan, campur tangan dalam Laut China Selatan, dan mempertahankan kerjasama dengan Saudi Arabia.

Senin, 09 Agustus 2021

Resensi : Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan


Penulis : Soe Hok Gie
Genre : non-fiksi
Penerbit : Bentang
Halaman : 319 Halaman

Soe Hok Gie  merupakan mahasiswa hingga dosen di Universitas Indonesia, ia dikenal melalui tulisan-tulisannya yang bernuansa sejarah, hal tersebut bukanlah tanpa alasan dikarenakan dirinya merupakan mahasiswa fakultas sastra. 

Buku ini merupakan versi publikasi dari skripsi Soe Hok Gie, yang terbit pada tahun 1997 dengan pengantar Ahmad Syafii Ma’arif, dan tentunya beserta perbaikan dalam tata bahasa pula. Karena buku yang satu ini adalah karya skripsi Soe Hok Gie, oleh karena itu berisikan hal-hal yang bersifat objektif. Dan fokus dari buku ini adalah gejolak dalam tubuh PKI itu sendiri, dari pra-proklamasi hingga peristiwa pemberontakan Madiun.

Pada buku ini konflik berputar pada internal PKI, dan tokoh-tokoh yang paling sering muncul antara lain, Alimin, Musso, Tan Malaka dan lainnya. Salah satunya adalah pada saat peristiwa pra-proklamasi terutama saat Alimin memutuskan melakukan pemberontakan kepada Belanda, yang mana ditolak tegas oleh Tan Makalaka karena terlalu terburu-buru. Tidak hanya Tan Malaka, bahkan pihak Moskow sendiri pada saat itu menolak keras. 

Permasalahan lainnya adalah kesalahan pemuda Indonesia pada saat itu dalam mengartikan revolusi. Hal itu tergambarkan dari sikap-sikap mereka yang terlalu sembrono dan terlalu cepat mengamini hal-hal yang berbau perlawanan. Salah satunya ada ketika para pemuda menuduh seorang wanita mata-mata hanya dikarenakan memukul ibu tua, padahal fakta sebenarnya sangatlah berbeda dari yang mereka duga, hal tersebut merupakan bentuk sikap mengamini terlalu cepat, dan kurang memandang sisi lain. Begitu pula sikap mengartikan seks bebas sebagai bentuk revolusi, hingga paksaan yang mereka lakukan kepada Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan.

Sikap tersebut bukan berarti telah hilang dari pemuda Indonesia saat ini walaupun pada masa dan kondisi yang sangat berbeda, tidak dapat kita pungkiri, bahkan diantara kita sendiri terlalu terburu-buru dalam melakukan “perlawanan” dalam artian mengambil suatu sikap dalam suatu hal. Serta mengamini segala sesuatu dengan mudahnya. Salah satunya adalah Pancasila, tidak hanya pemuda bahkan orang tua sekali pun banyak yang terlalu mengagungkan Pancasila, tentu bukanlah hal yang burung jika dibarengi dengan pengkajian plus minusnya, namun sayangnya yang kerap kali terjadi hanya bagus-bagusnya saja. Pancasila pun perlahan ibarat sesuatu kekuasaan tertinggi yang tidak bisa diganggu gugat, padahal mau sebaik apa pun pasti ada borok di dalamnya.

Seperti kata Fahrudin Faiz, Pancasila itu bukan kanan, bukan kiri serta bukan tengah pula. Pancasila disesuaikan dengan arah yang diinginkan oleh berkuasa saat itu. Oleh karena itu tidak wajar jika dibilang sempurna.

Jika berdasarkan sampulnya, buku ini cukup menarik, dikarenakan didominasi warna hitam dan merah yang cukup identik dengan komunis serta plakat tanda kekiri dan lurus yang cukup menggambarkan judul dan isinya.

Secara isi, Soe Hok Gie menyampaikannya tidak secara kaku, terlihat dari latar waktu kejadian yang tidak ditempatkan melakui sub-judul, melainkan diselipkan sehingga memiliki sensasi yang cukup mirip dengan membaca novel, hal lainnya adalah minimnya detail kejadian justru menjadi nilai plus dalam buku ini. Karena secara berhasil mengurangi kekakuan isi buku. 

Bagi saya sendiri, buku ini sangat layak di baca terutama sejak pelajar menengah atas, dikarenakan  banyak dari kejadian pada buku ini termasuk dalam kurikulum pelajaran Sejarah pada tahap menengah atas, namun tentunya isi dari buku ini berbeda dengan buku paket yang terlalu banyak kejadian kontroversal di dalamnya, sehingga diharapkan melalui buku ini dapat ditemukan hal yang berbeda dan dapat digunakan sebagai pembanding dengan buku paket sekolah.

Karena kurikulum pelajaran sejarah di sekolah menengah pada saat ini cukup miris, dikarenakan ketakutan berlebih serta trauma atas pemberontakan PKI menyebabkan generasi muda saat ini tidak dapat akses sejarah yang sesungguhnya dari yang diajarkan sekolah. Bersama dengan tulisan ini saya turut berharap akan perbaikan kurikulum pelajaran sejarah pada masa kini, alih-alih membatasi pengetahuan pelajar akan lebih baik jika diungkap faktanya saja asalkan harus disertai dengan pengarahan oleh pendidik pula.